REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nur Efendi (CEO Rumah Zakat (RZ), Ketua Umum Forum Zakat)
Pembangunan komunitas (community development) ditopang sejumlah modal (capital), yaitu: modal insani (human capital), modal alam (natural capital), modal uang dan alat (financial and constructed capital), serta modal sosial (social capital). Pembangunan komunitas itu mencakup sistem lingkungan yang sehat, perekonomian yang kuat, dan keadilan sosial.
Postulat naqliyah dari khazanah ajaran Islam, mendokumentasikan dengan baik pada lima belas abad silam, bagaimana masyarakat muslim ketika itu dididik membangun modal sosial yang kuat. Banyak hadits menekankan pentingnya ukhuwah, saling tolong menolong dan jejaring dalam masyarakat Islam.
Tidak kalah pentingnya, dan ini pun amat masyhur, yakni soal hak muslim. Abu Hurairah ra. berkata: Bersabda Rasulullah SAW,”Hak seorang Muslim terhadap sesama Muslim ada lima, menjawab salam, menengok orang sakit, mengantarkan jenazah, mendatangi undangan dan mendoakan orang bersin apabila mengucapkan Alhamdulillah dengan ucapan Yarhamukallaah.”
Pesan kuat juga tertuju pada isu yang serta kaitannya dengan interaksi sosial muslim. Formulasi lengkap haditsnya: Abu Hurairah r.a. berkata : Bersabda Nabi SAW,”Barangsiapa melapangkan suatu kesukaran dunia pada seorang Mukmin, Allah akan melapangkan baginya kesukaran hari kiamat. Dan barangsiapa meringankan kemiskinan seorang miskin, Allah akan meringankan baginya di dunia dan di akhirat.
Dan barang siapa menutupi aib seorang Muslim, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah selalu menolong hambaNya, selama hamba itu menolong saudaranya. Dan barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. (Baca: Modal Sosial bagi LAZ Membangun Komunitas (Bagian Pertama)
Dan tiada berkumpul suatu kaum dalam Baitullah (masjib) untuk membaca dan mempelajari kitab Allah, melainkan diturunkan kepada mereka ketenangan dan diliputi rahmat, dikerumuni malaikat dan disebut-sebut oleh Allah di depan para malaikatNya. Dan siapa yang lambat amal perbuatannya, tidak dapat dipercepat oleh nasab.”
Pegiat LAZ juga takkan asing dengan hadits “keras” ini, bahwa Rasulullah SAW mengecam orang yang dapat tidur nyenyak sementara tetangganya tidak dapat tidur karena kelaparan. Orang jenis ini oleh Rasulullah SAW disebut sebagai tidak beriman.
Konsep Sinergi ala Assiba’i
Potensi modal sosial sebagaimana diajarkan Islam, cuma menjadi kutipan sakral di forum majelis taklim atau mimbar ceramah bila tanpa kehadiran agen perubahan yang bergerak menghidupkannya di tataran nyata.
LAZ adalah agen perubahan itu, saat kepemimpinan formal selama berbilang tahun belum mampu menggerakkan potensi ini. Kepemimpinan yang dibangun dan dikembangkan oleh masyarakat muslim dalam wujud kelembagaan, termasuk LAZ, harus berperan aktif mengisi kekosongan ini. Sinergi dan ta’awun lintas LAZ dan lembaga seperjuangan lainnya merupakan keharusan sekaligus kebutuhan (simak QS 5: 2; QS 9:71, dan QS 61:4).
Menggali potensi besar ini bersama-sama, saling dukung saling menguatkan, insyaAllah akan melahirkan at-takaaful al ijtimaa’i (saling menanggung antar berbagai masyarakat), hal yang menurut Mustafa As-Siba’i , sedikitnya mencakup sepuluh bidang.
Pertama, at-takaaful adabi, yaitu menumbuhkan keikhlasan dan mencintai sesama umat dalam wujud persaudaraan yang solid. Sabda Rasulullah,”Cintailah sesama manusia sebagaimana engkau mencintai diri sendiri” (HR. Hakim, Tabrani dan Ibn Sa’ad);
Kedua, at-takaful ilmi, saling memberi ilmu pengetahuan. Sabda Rasulullah,” Barangsiapa selalu menyembunyikan ilmu pengetahuannya, maka di akhirat kelak akan dikalungi api neraka” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Hakim)
Ketiga, at-takaaful siasi, bersama-sama dalam membangun kehidupan sosial kemasyarakatan atas dasar amar ma’ruf nahyi munkar (QS 9:71). Empat, at-takaaful difaai, bersama-sama dalam mempertahankan keamanan, ketenangan, dan kedaulatan masyarakat dari gangguan musuh (QS 9:41);
Kelima, at-takaaful jinaa’i, bersama-sama dalam menegakkan hukum demi terjaminnya kepastian hukum (QS 2: 178-179);
Keenam, at-takaaful akhlaki, bersama-sama dalam menjaga akhlak dan moral masyarakat. Sabda rasul,”Barangsiapa yang melihat kemunkaran, maka perbaikilah dengan tangannya (kekuasaannya), jika tidak mampu, lakukanlah dengan lisan. Dan jika tidak mampu juga, lakukan dengan hati. Dan ini merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Imam Bukhari dan Tirmidzi);
Ketujuh, at-takaaful i’tishaadi, bertanggungjawab dalam kegiatan ekonomi bersama (QS 59:7);
Kedelapan, at-takaaful ibadah, bertangungjawab dan bersama-sama dalam menegakkan ibadah mahdhah, seperti shalat berjamaah dan shalat Jum’at;
Kesembilan, at-takaaful hadhari, bertanggungjawab secara bersama-sama dalam menegakkan peradaban/kebudayaan (secara lebih khusus) yang bermanfaat bagi kehidupan umat dan menjauhkan dari kebudayaan yang merusak;
Kesepuluh, at-takaaful ma’asyi, bertanggungjawab secara bersama-sama dalam menanggulangi kehidupan orang-orang yang mendapatkan berbagai kesulitan hidup, seperti fakir-miskin, orang-orang sakit, anak-anak jalanan, orang-orang jompo, para pengungsi, dan sebagainya.
Bisa dianggap sunnatullah kalau muncul kesadaran pentingnya modal sosial, sesuatu yang sudah menjadi keharusan muslim mengoptimalkannya dalam kehidupan bermasyarakat. LAZ – dengan para amil sebagai agen perubahan – menjadi sentral penting proses optimalisasi bekerjanya modal sosial mencapai kehidupan umat yang lebih baik.