Senin 04 Jul 2016 16:37 WIB

Mempraktikkan Islam

M Arief Rosyid Hasan*
M Arief Rosyid Hasan*

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: M Arief Rosyid Hasan*

Pengalaman berharga saya dapat sekitar dua bulan terakhir ini, tiga minggu di Amerika Serikat dan dua minggu di Arab Saudi. Dua negara adidaya di wilayahnya masing-masing. Sebutan adidaya karena mereka begitu kaya dan dapat melakukan apa saja yang diinginkannya. 

Di Amerika dalam rangka menghadiri International Visitor Leadership Program (IVLP) undangan dari Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat. Konon program ini sudah dimulai sejak 75 tahun yang lalu dan telah melahirkan 344 kepala negara (presiden maupun perdana menteri). Dalam konteks Indonesia, Megawati dan Gus Dur adalah produk program ini. 

Dari jutaan pengalaman berharga di 5 Negara Bagian Amerika Serikat (Washington DC, New York, Minnesota, New Orleans, dan San Diego California), teringat pesan berapi-api beberapa imigran dari Somalia, Aljazair, bahkan Indonesia bahwa Amerika Serikat lebih Islami dari negaranya sendiri. Laku jahat meski tak punah, tapi tak menghantui orang-orang untuk melakukan aktivitas sehari-hari.

Inipun kami buktikan sendiri ketika baru tiba di bandara Minnesota, koper salah satu teman seangkatan kami yang berisi banyak barang berharga jatuh dari bus. Sekembalinya ketempat semula, posisi kopernya bergeser tapi tak satupun barang di dalamnya yang bergeser apalagi hilang. 

Berbeda dengan ketika berkunjung ke Arab Saudi, kunjungan kami ke sana bersama keluarga untuk menunaikan ibadah di kota suci Medinah dan Mekkah. Di awal sambutannya,  pembimbing umrah kami berulang-ulang menyampaikan bahwa di kota ini meski suci dan baik tapi belum tentu orang-orang yang ada di dalamnya suci dan baik juga. 

Lanjutan cerita pembimbing umroh kami tersebut, tidak sedikit jemaah umrah maupun haji yang sudah didampinginya kehilangan dompet, hp atau barang berharga lainnya padahal barang-barang tersebut terproteksi dengan baik. Dia yang mencopet suatu waktu kedapatan adalah perempuan memakai jubah hitam dan bercadar. 

Dua hari berselang, salah satu rombongan umrah kami yang berasal dari Patih, Jawa Tengah juga kehilangan dompet yang berisi sejumlah uang dan surat-surat berharga lainnya. Padahal sebelumnya dia bersama saya dan jemaah lainnya baru mendengar tentang kisah jemaah haji yang kecopetan tersebut diatas. 

Tentu pahitnya pengalaman tersebut tak membuat seluruh pengalaman lain di Tanah Suci menjadi kelam. Tak sedikit pengalaman berharga lainnya kami temui, misalnya semangat berbagi yang begitu besar menjelang saat berbuka puasa. 

Islam Timur dan Barat

Perbedaan yang kita temukan antara Islam di timur dan di barat sudah tidak asing lagi. Sekitar tiga abad yang lalu, Syaikh Muhammad Abduh sepulang kunjungannya ke Prancis mengatakan "I went to the west n saw Islam, but no Muslims; I got back to the east n saw just Muslims, but no Islam". Abduh menemukan cerminan Islam di Prancis tapi tak menjumpai Muslim atau pemeluk Islam di sana.

Apa yang dirasakan Syaikh Muhammad Abduh juga telah dibuktikan secara ilmiah dalam sebuah judul penelitian "How Islamic are Islamic Countries" dalam Global Economy Journal (Berkeley Electronis Press, 2010) oleh Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washingtom University. 

Peneliti menggunakan indikator dari Al Quran dan hadis yang kemudian dikelompokkan dalam lima aspek yakni, hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia, sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik serta kehidupan sosial, sistem perundang-undangan dan pemerintahan, hak asasi manusia dan politik, dan hubungan internasional dan masyarakat non-Muslim. 

Dari 208 negara yang di survei menampilkan hasil yang jauh dari eksektasi kita sebagai ummat Islam. Dari 56 negara anggota OKI, tak ada yang masuk 10 besar. Berturut-turut dari yang peringkatnya tertinggi Malaysia (urutan ke 38), Kuwait (48), Uni Emirat Arab (66), Maroko (119), Arab Saudi (131), Indonesia (140), Pakistan (147), Yaman (198), dan terburuk adalah Somalia (206).

Menurut Prof Komaruddin Hidayat, penelitian ini menyimpulkan bahwa perilaku sosial, ekonomi, dan politik negara-negara anggota OKI justru berjarak lebih jauh dari ajaran Islam dibandingkan negara-negara non-Muslim yang perilakunya lebih islami. Lanjutnya, tampak keberagamaan negara-negara tersebut lebih senang di level dan semarak ritual untuk mengejar kesalehan individual, tetapi menyepelekan kesalehan sosial. 

Beberapa pengalaman langsung saya, juga apa yang disampaikan Abduh dan hasil penelitian Rehman dan Askari menyisakan pertanyaan yang serius. Jika benar Islam sebagai penyempurna agama yang lain (QS Almaa'idah:3 & 48) dan sebagai rahmat untuk seluruh alam (QS Alanbiya: 107), kenapa peradaban negara-negara dengan penduduk mayoritas Islam begitu tertinggal dengan negara-negara lain yang penduduk Islamnya minoritas?

Menjadi Lilin

Berjumpa dengan imigran dari negara-negara Islam di Amerika Serikat memberikan pelajaran betapa gigih dan kerja kerasnya mereka menyalakan api Islam. Cerita minoritas di tempat mayoritas selalu bergerak melampaui segala keterbatasan yang mereka miliki. Rata-rata dari Imigran tersebut menyatakan sangat betah tinggal di Amerika ketimbang di negaranya sendiri. Mereka tergerak untuk menjadi bagian dari American Dream.  

Pengalaman menyaksikan langsung beberapa perkembangan ummat Islam di Amerika Serikat begitu pesat, tak sedikit bangunan yang dulunya gereja berubah fungsi menjadi Mesjid. Bahkan di hampir setiap kampus, akan selalu ada ruangan untuk melaksanakan shalat ketika waktunya tiba. 

Juga di salah satu kota kecil Sumrall di negara bagian Mississippi, terdapat sebuah kampung Muslim yang mereka beri nama New Medinah. Kampung ini berdiri sejak tahun 1987 dengan luas 32 hektar, adalah Imam Warith Deen Muhammad yang memimpikan terciptanya komunitas Muslim di Amerika yang kehidupannya berlandaskan nilai-nilai Islam. Dalam sebuah kesempatan berpidato, Imam tersebut dengan berapi-api menantang ribuan Muslim yang saat itu hadir untuk menjadikan Islam tidak sekedar pengakuan, tapi bagaimana Islam dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi Alm Cak Nur, sistem ajaran apapun termasuk agama, tidak akan berfaedah dan membawa perbaikan hidup jika tidak dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan dalam salah satu ayat Al Quran sangat jelas Allah SWT memperingatkan betapa besar dosanya mereka yang mengatakan sesuatu (termasuk mengatakan menganut sistem ajaran tertentu) namun tidak melaksanakannya (QS As Shaff: 3).

Islam yang menjanjikan kebahagiaan dunia dan akhirat akan sepenuhnya terwujud jika setiap ummat Muslim menyadari betapa sempurna ajaran agamanya dan mau mempraktekkannya setiap saat. Bagaimana tidak sempurna mulai dari hal yang besar seperti jihad hingga hal yang kecil seperti masuk ke kamar mandi juga kita dibekali oleh aturan. Aturan tersebut selain agar setiap saat kita membangun relasi vertikal kepada Allah SWT, juga selalu memiliki konsekuensi membangun relasi horizontal kepada Manusia.

Akhirnya, Ramadhan yang hampir habis ini bertujuan menghasilkan manusia unggul dengan gelar takwa (QS Albaqarah: 183). Sebagai konsekuensi manusia dengan gelar takwa tersebut yakni menyadari betapa pentingnya Islam tidak sekedar menjadi bahan ceramah tapi juga berkonsekuensi terhadap kehidupan sosial dimanapun kita berada. Dalam konteks keindonesiaan, kita harus menjadi lilin-lilin penerang demi mewujudkan Indonesia yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat.

*Alumni IVLP 2016, DN Pergerakan Indonesia Maju

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement