REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Wendi Wijarwadi*
Pelaksanaan Lebaran di Amerika menyajikan sesuatu yang jauh berbeda dengan suasana Lebaran di Indonesia. Dua hal yang paling dominan adalah malam takbiran yang sunyi dan perayaan Lebaran dalam nuansa multikultural.
Amerika Serikat memang dikenal sebagai titik pertemuan banyak budaya atau melting pot. Populasi umat Islam sendiri cukup tinggi dan mewakili berbagai suku dan bangsa dari seluruh penjuru dunia. Sebuah lembaga penelitian yang berbasis di Washington DC, Pew Research Center, bahkan menyebut jumlah pemeluk agama Islam di Amerika mencapai 3,3 juta orang di tahun 2015. Mayoritas merupakan imigran dari kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.
Saya memilih untuk merayakan Lebaran tahun ini di Ann Arbor, Michigan. Jaraknya sekitar 1,000 Kilo Meter atau 15 jam perjalanan darat dari Minneapolis, Minnesota, tempat tinggal saat ini. Keragaman budaya umat Islam di Michigan menjadi daya tarik tersendiri untuk merasakan suasana lebaran yang berbeda. Kota Dearborn adalah salah satu contohnya. Kota yang juga merupakan lokasi kantor pusat perusahaan mobil Ford ini biasa disebut sebagai Dearbornistan. Kata ‘nistan’ merujuk kepada Afganistan karena banyaknya populasi umat Islam dari wilayah Afganistan dan Timur Tengah di kota tersebut.
Perbedaan paling mencolok antara suasana Lebaran di Indonesia dan Amerika adalah keheningan malam Idul Fitri. Tak ada suasana meriah layaknya malam takbiran di Indonesia. Banyak masjid tidak menyelenggarakan kegiatan takbiran dan bahkan tidak ada kepadatan aktivitas masjid dibandingkan hari-hari biasa. Mayoritas umat Islam lebih memilih untuk menghabiskan malam hari raya bersama keluarga dan handai tulan.
Untuk saya yang tumbuh dan besar dalam kultur keIslaman ala Indonesia, suasana yang 180 derajat berbeda ini terasa sangat aneh. Di kampung saya, sebuah dusun kecil di Kabupaten Cianjur, kami bahkan menyebut baju lebaran sebagai ‘baju dulag’. ‘Dulag’ merupakan bahasa sunda dari ‘dedug’. Baju dulag merujuk kepada baju yang digunakan untuk takbiran dan menabuh dulag. Istilah itu menunjukkan betapa istimewanya malam takbiran bagi kami.
Obrolan dengan beberapa teman Muslim di Amerika menyiratkan beberapa alasan di balik keheningan malam takbiran. Pertama, aturan untuk tidak membuat kebisingan di malam hari. Sebagian kecil masjid tetap menggelar acara takbiran tapi dalam suasana yang hening dan tidak lama.
Alasan lainnya adalah pendekatan pelaksanaan takbiran yang berbeda. Teman-teman Muslim asal Timur tengah dan Afrika Utara memang tidak mengenal tradisi takbiran seperti yang biasa dilakukan di Indonesia. Perbedaan budaya tersebut sangat mempengaruhi suanana malam takbir di Amerika. Seumpama umat Islam di Amerika didominasi oleh pendatang dari Indonesia, suasana takbiran mungkin akan lebih meriah dan unik.
Menjelang pelaksanaan solat Ied, suasana meriah dan syahdu mulai menyeruak. Umat islam mulai tumpah ruah memenuhi sebuah lapangan American Football milik sebuah sekolah negeri di Ann Arbor. Para petugas dari kepolisian dikerahkan untuk membantu kelancaran pelaksanaan solat Ied tersebut.
Yang menarik, pelaksanaan solat Ied tak ubahnya seperti festival budaya. Umat Islam di Ann Arbor mengenakan pakaian tradisional dari berbagai negara. Mereka seolah berlomba-lomba untuk memperkenalkan budaya dengan asal melalui busana idul fitri yang mereka kenakan. Harmonisasi keragaman budaya tampak terbalut indah dalam pilihan busana yang dipilih.
Muslim dari Pakistan mengenakan Syarwar Kameez, busana panjang lengkap dengan syalnya. Muslim dari Ethiopia mengenakan busana berwarna cerah dilengkapi pola khas daerahnya. Muslim dari Timur Tengah menggunakan Kaftan, Jubah dan surban yang dililit di kepalanya. Muslim dari Afganistan menggunakan peci tradistional bernama Pakol. Beberapa memilih menggunakan busana formal karena harus langsung bekerja selepas shalat Ied. Saya sendiri memilih untuk mengenakan busana tradisional ala Indonesia; baju koko, sarung, dan kopiah hitam.
Menyaksikan langsung aneka ragam busana tradisional ketika solat Ied ini terasa sangat istimewa. Saya dan mungkin masyarakat Indonesia pada umumnya lebih terbiasa dengan busana lebaran yang sama. Selain itu, gaya busana Indonesia juga lebih didominasi oleh nuansa budaya Timur Tengah seperti jubah panjang berwarna putih dan surban yang dililitkan di kepala. Hal yang wajar karena banyak ulama Indonesia yang menuntut ilmu di Timur Tengah secara turun temurun.
Penggunaan atribut budaya asal ini tentunya bukan tanpa alasan. Beberapa orang mengatakan bahwa mengenakan busana terbaik saat idul Fitri adalah manifestasi dari sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, “Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan”. Pakaian yang indah adalah bentuk penghormatan atas datangnya hari raya Idul Fitri. Selain itu, mempopulerkan busana yang beraneka ragam juga penting untuk memberikan pesan positif kepada Amerika tentang Islam yang menghargai perbedaan.
Beberapa orang yang saya temui percaya bahwa lebaran juga merupakan saat yang tepat untuk memperkenalkan budaya masing-masing negara. Mereka juga harus tetap menjaga warisan budaya asal meski sudah tinggal dan beralih menjadi warga Negara Amerika.
Aneka ragam busana ini juga seolah memberi pesan penting tentang bagaimana Islam berjabat erat dengan budaya, bagaimana Islam menghargai keberagaman berbagai budaya. Islam mengajarkan umatnya untuk berpakaian bersih, indah, dan menutup aurat. Umat Islam kemudian menggunakan pendekatan budaya tentang busana apa yang mereka gunakan, busana apa yang sesuai dengan kebudayaan masing-masing.
Mengalami lebaran multikultural juga membuka khasanah pemahaman saya akan keragaman budaya yang ada di dalam umat islam. Perbedaan menyatu indah dalam harmoni dan kebersamaan tanpa ada pihak tertentu yang merasa benar dan memaksakan kebenaran. Wallahu A’lam Bisshowab
*Alumni Pondok Pesantren Cipasung
Mahasiswa Pasca Sarjana University of Minnesota Twin Cities (UMTC)