REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rudi Agung (Pemerhati Masalah Sosial)
Seiring PHK massal, jumlah pengangguran di Indonesia terus meningkat. Sedikitnya tercatat 7 juta anak-anak bangsa menganggur. Belum termasuk suplai penganggur tiap tahun dari lulusan baru di universitas. Ternyata, menurut Grienda Qomara, penganggur terbanyak bukan SMA ke bawah, melainkan sarjana!
Ironinya, di tengah kondisi sosial ekonomi yang suram, pemerintah membuka lebar pintu kedatangan warga Cina. Apa pun dalihnya, hal itu telah berhasil menimbulkan keresahan sosial di masyarakat.
Meski ditutup pelbagai isu pengalihan, masyarakat tetap menyoroti maraknya pendatang Cina ke Indonesia. Di media sosial ramai istilah: Swasembada Cina. Rasialis? Itu hanyalah standar ganda, sekaligus propaganda memuluskan impor buruh dan imigran gelap asal Cina.
Pasal 27 Ayat 2 dan 3 UUD 1945: Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (2). Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara (3). Ini adalah hak dan kewajiban warga negara sesuai UUD 45.
Mengapa rezim sangat dekat dengan Cina sampai mendatangkan warga Cina? Mengapa pula bermesraan dengan Partai Komunis Cina? Demikian pertanyaan yang banyak mengemuka di media sosial. Publik tidak lupa penangkapan imigran Cina yang mengebor tanah di area Bandara Halim. Juga maraknya temuan imigran gelap Cina tanpa identitas resmi, tanpa bisa berbahasa Indonesia dan Inggris.
Masyarakat protes keras: ketika ekonomi terpuruk, rakyat tetap dicekik. Ketika PHK massal terjadi di mana-mana, pemerintah malah mempermudah impor tenaga kerja Cina. Saat rakyat dipaksa membayar pajak, pemerintah membuat UU untuk mengampuni pengemplang pajak kelas kakap.
Kala anak-anak bangsa berkeyakinan terhadap agama, pengerdilan dan penghinaan agama makin terasa. Ketika rakyat punya trauma besar terhadap komunis, pemerintah justru akrab dengan Cina dan partai komunis di sana. Bahkan puluhan tahun lalu, baru kali ini begitu mudahnya melihat orang menggunakan kaus palu arit di depan umum. Mengapa?