REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syarifah Namira Fitrania (Peneliti dari CReco Research and Consulting)
Pada dasarnya kehadiran TKA (Tenaga Kerja Asing) di sebuah negara bukan suatu hal yang perlu dikhawatirkan. Khususnya pada era globalisasi dan di sebuah negara yang telah berkomitmen untuk membuka perekonomiannya.
Mobilisasi manusia (dalam hal ini pekerja) tentunya akan beriringan dengan pergerakan outflow-inflow barang dan jasa, serta kapital. Dengan demikian, masuknya TKA dari suatu negara merupakan hal yang wajar apalagi dengan masuknya investasi asing (FDI) ke Indonesia dari negara tersebut.
Misalnya saja Cina. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan bahwa selama kuartal 1 2016 realisasi investasi dari negara tersebut mencapai 465 juta dolar AS. Apabila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya, angka ini meningkat 519 persen dari realisasi investasi asal Negeri Tirai Bambu sepanjang 2015 yang tercatat 75 juta dolar AS.
Sehingga, bisa dikatakan bahwa banyaknya TKA asal Cina yang menurut Kementerian Tenaga Kerja selama Februari 2016 sebanyak 5.339 orang merupakan hal yang sebenarnya masuk akal. Sebab, total pekerja Indonesia per bulan tersebut mencapai 120,65 juta jiwa.
Sehingga jumlah 5.339 orang sebenarnya hanya sekian persennya saja. Lantas bagaimana dengan masuknya TKA yang tergolong buruh kasar dari satu negara tetangga ke Indonesia?
Keadaan ekonomi Indonesia memang sedang sulit (catatan: tapi bukan hanya Indonesia, negara lain pun begitu, dan jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang mengandalkan komoditas lainnya, Indonesia masih lebih baik), dan kebutuhan terhadap lapangan pekerjaan merupakan tantangan yang ada di depan mata.
Berdasarkan data SAKERNAS Februari 2016, dibandingkan dengan tahun sebelumnya di periode yang sama, total penciptaan lapangan kerja justru berkurang sebesar 0,2 juta. Di samping itu persentase mereka yang bekerja di sektor informal meningkat menjadi 58,28 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat 57,94 persen.
Fenomena commodity boom beberapa tahun silam agaknya membuat Indonesia terlena. Kita terlalu bergantung pada komoditas sehingga lupa memperbaiki dan melakukan industrialisasi sehingga sektor industri kita tidak kompetitif.
Padahal, sektor industri manufaktur merupakan sektor dengan efek pengganda pekerja yang tinggi, terutama tentunya industri padat karya (yang sayangnya pun juga kurang kompetitif). Sementara itu, bonus demografi (demographic dividend) berpotensi berubah menjadi demographic bomb, jika Indonesia tidak mampu menyiapkan lapangan kerja untuk mereka yang ada di dan akan masuk dalam kategori usia produktif.
Dengan kata lain, Indonesia is in a desperate need in creating a lot of jobs. Terutama pekerjaan dengan produktivitas yang tinggi.
Kira-kira selama 15 tahun ke depan, Indonesia perlu fokus pada penciptaan tenaga kerja, sambil menyiapkan amunisi untuk setelah itu naik tingkat ke penciptaan pekerjaan dengan produktivitas yang tinggi (kehadiran revolusi industri 4.0 bukan sesuatu yang bisa dibendung). Hadirnya FDI (investasi asing langsung) sebenarnya merupakan salah satu media yang baik untuk menyiapkan tenaga kerja lokal yang lebih terampil dan selanjutnya mengiringi Indonesia untuk bisa dapat naik tingkat.
Masuknya FDI, bukan hanya menguntungkan dari segi finansial bagi Indonesia, tapi juga dari tambahan penciptaan lapangan kerja dan transfer pengetahuan yang akan bermanfaat untuk pekerja lokal dalam meningkatkan produktivitasnya. Transfer pengetahuan ini selanjutnya akan menciptakan sejenis spillover effect yang terus disebarkan dari satu pekerja ke pekerja lainnya.
Idealnya, TKA yang paling berpotensi menggerakkan transfer pengetahuan adalah mereka dengan keterampilan khusus, yang rata-rata adalah mereka yang menduduki jabatan tertentu di suatu perusahaan. Namun, bukan berarti TKA kasar tidak bisa memberikan dampak yang sama, meskipun mungkin memang lebih minim.
Salah satu alasan mengapa klasterisasi atau lokalisasi memberikan manfaat, selain karena potensi efisiensi yang bisa diciptakan, juga karena interaksi para pekerja yang bisa menjadi media tukar informasi dan transfer knowledge. Contohnya, dikumpulkannya bank-bank di satu lokasi di sebuah kota (misal di kawasan Sudirman-Thamrin di Jakarta), memungkinkan pekerja masing-masing bank untuk berinteraksi lebih sering di kala jam istirahat.
Seperti halnya di Wall Street New York, bar biasanya menjadi tempat mereka berinteraksi, bertukar informasi satu sama lain. Hal yang sama bukan tidak mungkin terjadi di level pekerja blue collar. Sekalipun dengan kendala bahasa, mereka bisa memperhatikan cara kerja satu sama lain.
Kekhawatiran publik akan masuknya TKA kasar di tengah perlambatan ekonomi Indonesia dan kebutuhannya atas lapangan pekerjaan memang dapat dimaklumi. Kejadian Brexit kemarin dan kedongkolan rakyat Amerika Serikat terhadap imigran yang rela dibayar dengan upah yang lebih rendah sehingga mengganggu struktur pasar tenaga kerja memang menjustifikasi kekhawatiran atas masuknya TKA buruh kasar.
Tapi yang terjadi saat ini di Indonesia agaknya berbeda. Misalnya TKA kasar asal Cina.
Upah minimum Cina pada dasarnya lebih tinggi dari upah minimum Indonesia. Rata-rata upah minimum China 2016 per bulan di 31 provinsi adalah 206 dolar AS.
Sementara rata-rata upah minimum Indonesia 2016 per bulan di 33 provinsi adalah 145 dolar AS (menggunakan nilai tukar 19 Juli 2016). Dengan demikian kasus yang dihadapi Indonesia berbeda dengan Inggris dan AS dimana pendatang dibayar lebih rendah.
Pada intinya, publik perlu diingatkan bahwa yang perlu digarisbawahi adalah transfer teknologi, transfer pengetahuan, transfer keterampilan. Indonesia harus naik tingkat. Dan masuknya FDI beserta TKA-nya merupakan salah satu media untuk itu.