REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy
"Papa Minta Saham." Mungkin istilah ini sudah banyak dilupakan. Isu si Papa kini justru diredam oleh pihak yang melahirkan istilahnya. Maklum yang dulu kencang menyuarakannya kini sudah mesra di satu perahu.
Ya, kasus Papa Minta Saham dulu pernah membelit seorang Setya Novanto saat masih menjadi Ketua DPR. Kasus ini mencengkram erat Setya saat statusnya masih bagian dari oposisi Jokowi.
Kasus ini sontak jadi bahan hujatan luas pengamat serta aktivis. Mereka bahkan ingin proses hukum bagi politikus ulung Golkar itu segera digelar.
Tapi, lagi-lagi semua itu adalah cerita lalu. Sebab seperti disinggung pada tulisan di atas, Papa kini sudah masuk perahu yang sama dengan yang dahulu menghujatnya.
Setya yang didepak dari DPR malah berhasil menjadi ketua umum Golkar yang akhirnya diakui pemerintah Jokowi. Lepas jadi ketua umum, Setya membawa Golkar masuk sebagai pendukung pemerintahan.
Ibarat bola yang berbalik 180 derajat, Setya pula membawa Golkar masuk dalam koalisi yang mengusung Ahok di Pilkada DKI. Menariknya, di barisan pendukung Ahok ini ada banyak aktivis dan pengamat yang waktu itu wara-wiri di televisi menghujat si Papa.
Ya, saya jadi teringat kasus Papa Minta Saham ini selepas menyaksikan deklarasi majunya Ahok lewat jalur partai. Sebab di deklarasi ini, partai Golkar pimpinan Setya juga berkolaborasi bersama Nasdem dan Hanura.
Saya pun jadi teringat seorang kader Nasdem menggebrak-gebrak meja saat sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR dalam kasus Papa Minta Saham. Anggota itu bahkan meminta penegak hukum segera bergerak.
Lantas ke mana kini anggota dewan yang begitu vokal dalam kasus Papa Minta Saham itu? Faktanya anggota dewan itu kini sudah berangkulan mesra dengan orang yang dahulu ingin dipenjarakannya.
Semua perubahan peran lakon ini sudah bisa diprediksi sejak awal. Saat kasus Papa Minta Saham pertamakali mencuat, sempat saya menuliskan sebuah artikel berjudul Antara Hitler dan Setya Novanto (http://m.republika.co.id/berita/kolom/fokus/15/12/18/nzixpr257-antara-hitler-dan-setya-novanto).
Dalam tulisan itu, saya sejak awal pesimistis bahwa Papa Minta Saham akan berujung kepada sebuah niat mencari keadilan. Dalam tulisan itu pula disebutkan bahwa nilai keadilan dan kebenaran di negeri ini sudah terdegradasi.
"Selama dia satu kubu, maka dia selalu benar. Sebaliknya, dia yang ada di kubu lawan pasti salah." Begitulah kira-kira inti dari tulisan kala itu.
Nyatanya hal itu terbukti kini. Papa dulu dihujat dan bersalah karena oposisi. Papa benar kini karena ikut koalisi. Begitu kira-kira fenomena ini saya potret dalam dua buah kalimat.
Tapi, saya tak mau larut membahas persoalan Papa Minta Saham. Yang lebih menarik perhatian saya justru adalah bagaimana kelihaian seorang Setya Novanto sebagai seorang politisi.
Terlepas dari segala kontroversi, harus diakui Setya Novanto adalah tokoh politik yang punya 'sembilan nyawa.' Saat orang memprediksi kariernya sudah mati ketika dicopot dari Ketua DPR, dia malah mampu bertahan, malah semakin perkasa.
Tak sekadar bertahan, kariernya justru terus meroket setelah menjadi Ketua Umum Golkar. Hebatnya lagi, dia kini mampu membuat para musuhnya dahulu menjadi berada dalam satu kubu dalam pengusung Ahok. Pengamat yang dulu menghujat kini berubah jadi penjilat.
Fenomena ini tercermin nyata saat Golkar masuk dalam koalisi Ahok. Pengamat yang dahulu menghujat Setya, malah kini balik memuji langkah politiknya. Ya, sebab per 27 Juli, Golkar pimpinan Setya adalah salah satu kendaraan Ahok menuju kursi pimpinan Jakarta.
Tak pelak kini, setiap suara untuk Ahok juga berarti suara bagi seorang calon gubernur Golkar. Kemenangan Ahok akan menjadi kemenangan Golkar. Terlebih kader Golkar, Nusron Wahid, disebut telah ditunjuk sebagai kepala Tim Pemenangan Ahok. Dan jika Ahok menang, maka pamor politik seorang Setya Novanto dipastikan juga akan semakin meroket.
Sebagai ketua umum dia akan dikenang sukses dalam memenangkan pemilu di daerah paling krusial di republik ini, yakni ibu kota Jakarta.
Dengan kegemilangan ini, bukan hal yang tak mungkin pula spanduk yang berisi dukungan Setya untuk maju menjadi cawapres Jokowi di 2019 akan menjadi kenyataan. Sebab faktanya hal yang nyaris mustahil di perpolitikan Indonesia sudah bisa diwujudkan si Papa, alias Setya.
Walhasil, inilah fakta yang terbentang di persimpangan jalan politik Indonesia ke depan. Terserah anda kini mau berada di sisi mana......