Sabtu 30 Jul 2016 06:07 WIB

Catatan Kritis BEM UI Terhadap Reshuffle Kabinet

Red: M.Iqbal
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) didampingi Wapres Jusuf Kalla (kanan), Mensesneg Pratikno (kedua kiri) dan Seskab Pramono Anung (kiri) berjalan menuju podium untuk memberikan keterangan pers di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (27/7).
Foto: Antara/ Widodo S. Jusuf
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) didampingi Wapres Jusuf Kalla (kanan), Mensesneg Pratikno (kedua kiri) dan Seskab Pramono Anung (kiri) berjalan menuju podium untuk memberikan keterangan pers di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (27/7).

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Arya Adiansyah, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia

Pada 12 Agustus 2015, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) melakukan reshuffle kabinet pertamanya. Hal ini terulang kembali hampir setahun kemudian. Tepatnya pada Rabu (28/7), perombakan kabinet telah selesai silakukan.

Sampai saat ini, tercatat sudah dua kali Jokowi-JK melakukan perombakan kabinetnya. Kondisi ini berbeda jika dibandingkan dengan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya yang jarang melakukan perombakan signifikan dengan waktu yang relatif singkat seperti yang dilakukan oleh Jokowi-JK. Perombakan ini tak lepas dari berbagai macam permasalahan dan kegaduhan yang timbul di pemerintahan Jokowi-JK.

Berbagai respon muncul terhadap kebijakan reshuffle di kalangan masyarakat. BEM UI sebagai elemen yang peduli akan jalannya roda pemerintahan merasa perlu memberikan sikap kritis dengan memberikan beberapa catatan terkait langkah terbaru Jokowi-JK.

Meninjau reshuffle kabinet

Pergantian menteri sejatinya adalah hak prerogatif presiden atas hasil evaluasinya terhadap kinerja pemerintahan. Namun, hal yang harus menjadi perhatian bahwa bongkar-pasang kabinet yang dilakukan dalam umur pemerintahan yang relatif singkat menjadi sebuah indikasi bahwa pemerintahan Jokowi-JK hingga sekarang belum dapat menemukan komposisi yang tepat dalam menjalankan roda pemerintahannya secara efektif.

Tentu saja, regenerasi pucuk pimpinan dalam kementerian maupun lembaga memiliki banyak konsekuensi logis yang harus dibayar. Logika sederhana yang bisa kita ajukan bahwa pergantian pucuk pimpinan di kementerian tentunya membutuhkan waktu konsolidasi di internal kementerian maupun lintas kementerian dalam pemerintahan.

Jika Jokowi-JK masih melakukan bongkar pasang dalam kabinetnya, maka tenaga pemerintah akan habis untuk konsolidasi secara terus-menerus, alih-alih menghasilkan kebijakan yang berdampak pada rakyat. Momentum perombakan kabinet setelah merapatnya dua partai oposisi ke pemerintahan juga perlu diberikan catatan.

Di antara nama-nama menteri yang baru, terdapat dua orang menteri asal Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Golongan Karya (Golkar) yang sebelumnya merupakan dua partai oposisi yang merapat ke pemerintahan. Konstelasi politik di parlemen berubah.

Pada satu sisi, Jokowi bisa jadi akan mendapatkan dukungan parlemen yang lebih kuat. Namun pada sisi lain Jokowi juga harus mengakomodasi lebih banyak kepentingan partai dalam kabinetnya. Politik transaksional yang sarat akan kepentingan menjadi hal biasa proses semacam ini.

Pekerjaan rumah

Beberapa pos kementerian yang diganti masih menyisakan permasalahan yang cukup penting untuk diselesaikan. Kami mencatat setidaknya dua isu yang dikawal BEM UI: reklamasi dan pengampunan pajak (tax amnesty) menjadi pekerjaan rumah yang penting.

Kebijakan menghentikan reklamasi di Pulau G kawasan pantai utara Jakarta yang secara tegas telah diambil oleh Menko Maritim sebelumnya adalah langkah yang patut diapresiasi.

Namun, pertanyaan besar muncul ketika sosok menteri tersebut diganti tak lama pasca kebijakan penghentian reklamasi. Bukan tidak mungkin bahwa pergantian ini menyimpan agenda perubahan kebijakan reklamasi yang telah dikeluarkan sebelumnya.

Kebijakan terakhir di Kementerian Keuangan yang cukup kontroversial adalah pengampunan pajak. Terlepas dari kondisi keuangan negara yang minim, kebijakan pengampunan pajak telah melukai rasa keadilan bagi wajib pajak yang selama ini patuh.

Masalah lainnya, bahwa pengampunan pajak berpeluang menjadi sarana bagi para koruptor untuk melakukan pencucian uang. Efektivitias kebijakan pengampunan pajak serta kebijakan yang menopangnya pun perlu dipertanyakan.

Kebijakan ini adalah salah satu blunder yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi-JK. Perbaikan jangka panjang terhadap penerimaan pajak dengan cara yang lebih tepat, yaitu dengan melakukan reformasi sistem perpajakan dan penegakan hukum menjadi pekerjaan rumah yang sangat dinanti penyelesaiannya.

Rakyat butuh pembuktian

Reshuffle kabinet memang membawa angin segar bagi jalannya roda pemerintahan, sebagaimana dijanjikan oleh Jokowi. Hanya saja, harapan yang sama juga muncul ketika dulu Jokowi-JK melakukan perombakan kabinet pertamanya.

Akankah harapan kedua ini suatu saat nanti akan dijawab kembali oleh Jokowi-JK dengan reshuffle? Jawabannya ada pada kinerja dari Kabinet Kerja asuhan Jokowi-JK sendiri.

Masyarakat tentu menunggu perbaikan konkret dari eksekutif, bukan sekadar bongkar-pasang untuk mengamankan persepsi publik dan mengakomodasi kepentingan partai.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement