REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: EH Ismail (Wartawan Republika)
Pemerintahan Joko Widodo lagi-lagi tersandung masalah administrasi. Celakanya, masalah administrasi kali ini harus dianggap serius dan tak boleh diperlakukan sepele. Sebab, ini menyangkut status kewarganegaraan seseorang.
Tak tanggung-tanggung, status kewarganegaraan yang tengah menjadi sorotan menimpa salah satu pembantu presiden di kabinet. Dia adalah Arcandra Tahar, Menteri ESDM yang baru saja dilantik dalam perombakan Kabinet Kerja pada 27 Juli lalu.
Informasi mengenai kewarganegaraan Arcandra bermula dari pesan berantai yang berseliweran di media sosial. Arcandra yang merupakan putra asli Minang, Sumatera Barat, dikabarkan telah menjadi warga negara Amerika Serikat melalui proses naturalisasi pada Maret 2012. Dalam informasi belum terkonfirmasi tersebut, kewarganegaraan Arcandra ditandai dengan diambilnya oath of allegiance atau sumpah setia yang bersangkutan kepada negara Amerika Serikat.
Lantaran Indonesia belum mengakui dwikewarganegaraan, otomatis secara hukum Arcandra sudah resmi kehilangan status WNI-nya. Namun, sebulan sebelum resmi menjadi warga negara AS, tepatnya Februari 2012, Arcandra disebutkan mengurus paspor RI kepada KJRI Houston dengan masa berlaku selama 5 tahun. Artinya, paspor Indonesia milik Arcandra masih berlaku setidaknya sampai tahun depan.
Kendati masih memegang paspor Indonesia, tapi berdasarkan UU Nomor 12/2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia Pasal 23 yang berbunyi Warga Negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya jika
yang bersangkutan: a. memperoleh memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri; b. tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu;...h. mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya;..., maka otomatis Arcandra sudah bukanlah WNI lagi.
Semula, banyak orang menilai informasi kewarganegaraan Arcandra hanyalah serangan politik yang dilakukan orang-orang yang tidak suka dia menjadi orang nomor satu di Kementerian ESDM. Kita tahu, kementerian ini adalah salah satu kementerian strategis yang mengatur hajat hidup orang banyak di bidang energi dan mineral. Sayangnya, tidak ada satu pun klarifikasi dari pemerintah dan juga Arcandra yang tegas-tegas menyatakan kabar kewarganegaraan AS sang menteri adalah informasi salah dan tidak benar.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno hanya menerangkan bahwa Paspor Indonesia Arcandra masa berlakunya baru habis tahun depan. Tentu ini hal yang tidak salah apabila mengacu pada informasi di atas. Pertanyaan dasarnya, sebenarnya saat ini Arcandra warga negara mana? Pratikno pun hanya menjawab pemerintah belum bisa melakukan klarifikasi ke otoritas terkait.
Ditanya perihal yang sama, Arcandra juga hanya menjawab wajahnya adalah wajah Indonesia, wajah Minang asli. Tidak ada kata-kata sederhana yang dengan tegas menyatakan dia bukan warga negara Amerika Serikat.
Beda lagi mantan Kepala Badan Intelijen Negara yang kini menjadi pengamat terorisme dan intelijen AM Hendropriyono. Jenderal purnawirawan berusia 71 tahun ini membabi buta membela Arcandra melalui kultwit-nya. Setelah memuji Arcandra dengan segala prestasi dan kegeniusannya, Hendropriyono dengan lantang menyatakan bahwa mempunyai dwikewarganegaraan bukanlah tindak pidana.
Kita memang bangga dengan prestasi dan kegeniusan anak negeri. Tidak ada yang menyangsikan kapasitas Arcandra. Hanya saja, kini Arcandra adalah pejabat negara. Tentu ada aturan untuk menjadi pejabat negara dan selama melaksanakan tugas jabatannya tersebut.
Dalam UU Nomor 39/2008 tentang Kementerian Negara jelas disebutkan dalam Pasal 22 ayat 2 bahwa Untuk dapat diangkat menjadi Menteri, seseorang harus memenuhi persyaratan: a. warga negara Indonesia.
Kita tentu tidak ingin undang-undang yang menjadi aturan dan panduan mutlak bagi setiap warga negara dalam bernegara, bisa dilabrak dengan retorika-retorika yang mengedepankan emosional belaka. Kalau negara dikelola dengan cara-cara seperti ini, ya sudah, kita hapus saja semua undang-undang. Biarkan negara berjalan berdasarkan penjelasan-penjelasan subjektif saat sebuah kasus diributkan publik. Mau kita hidup dalam negara dengan prinsip seperti itu? Tentu tidak, bukan?
Karena itu, pemerintah harus segera menyelesaikan masalah ini. Dulu, Jokowi pernah tergelincir kontroversi pengesahan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2015 tentang Tunjangan Uang Muka Kendaraan Bermotor Perorangan Pejabat Negara. Saat itu, Jokowi meneken saja aturan tentang uang muka (DP) mobil pejabat yang naik dari Rp 70 juta menjadi Rp 210 juta. Kalimat I don't read what I sign-nya Jokowi pun mendunia. Bangsa kita malu karena Presiden dinilai tak teliti dalam menandatangani aturan yang dibuatnya sendiri.
Tentu Presiden tidak harus turun tangan dalam menyelesaikan hal-hal detail seperti ini. Para pembantunyalah yang seharusnya lebih teliti dan bekerja untuk menjamin apa yang diputuskan Presiden sudah beres dari sisi administrasi dan aman dari sisi hukumnya.
Agar kasus Arcandra saat ini tidak membuat pemerintah disebut keledai karena terperosok ke lubang yang sama, maka sudah seharusnya pemerintah menegaskan dengan sebenar-benarnya mengenai kewarganegaraan Arcandra. Kita nanti saja.