Rabu 17 Aug 2016 06:44 WIB

Indonesiaku, Kemerdekaan Milik Siapa?

Red: M Akbar
Bendera Merah Putih raksasa berkibar di tugu Monas, Jakarta.
Bendera Merah Putih raksasa berkibar di tugu Monas, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rudi Agung (Pemerhati Masalah Sosial)

Sudah 71 tahun, katanya, Indonesia merdeka. Usia yang matang bagi sebuah negara. Teringat masa-masa kecil, ketika SD, almarhum bapak kerap bercerita aneka tema. Selepas Magrhib, berdua dengan kakak, kami tadarus atau mengaji, lalu bapak membedah hadits yang dulu kami hanya menjadi pendengar dan penanya saja.

Usai Isya, giliran bapak atau ibu berkisah. Banyak kisah yang masih melekat sampai sekarang. Di antaranya, kisah penjajahan dan kekejaman PKI. Beliau berkisah perjuangan rakyat di masa penjajahan dan komunis. Kadang, berkisah leluhur, seperti Eyang Kakung Hasan Basari, pendiri Pondok Tegal Sari cikal bakal Gontor lama, beliau dikenal dengan nama Kiai Ajeng Hasan Basari.

Kadang kala berkisah pula soal perjuangan Eyang Zarkasyi atau Pak Zar, Eyang Sahal, Eyang Fanani. Beliau-beliau dikenal sebagai generasi keempat pendiri Gontor, KH. Imam Zarkasyi (1910-1985), KH. Zainuddin Fanani (1908-1967), dan KH. Ahmad Sahal (1901-1977).

Masih ingat dalam ingatan, ketika ayahanda berkisah bagaimana Gontor diacak-acak PKI. Mereka mencari Eyang-eyang kami untuk disembelih. Alhamdulillah, pertolongan Allah datang. PKI lari kocar-kacir setelah datang bantuan dari Laskar Hizbullah dan Pasukan Siliwangi, yang dipimpin KH Yusuf Hasyim dari Tebuireng Jombang.

Tetapi PKI berhasil membakar pesantren Gontor: buku, kitab, sampai Alquran. Begitu mendebarkan teringat kisahnya. Tak pernah lepas dari memori. Begitu pula kisah ketika ayahanda bersama rekan-rekannya bergelut melawan penjajah Belanda dan Jepang hinggga terpaksa masuk ke hutan.

Ayahanda almarhum R. Masjkur BA, yang lahir tahun 1918, kerap bergelut dalam sejumlah pergolakan di Tanah Air: era penjajahan sampai kekejian komunis. Beruntung, beliau selamat. Meski ketika bercerita tak jarang matanya berkaca, air matanya membasahi pipinya mengingat pengorbanan kawan-kawannya.

Seperti kisah tentang kawannya yang tertangkap PKI, lalu dipotong (maaf) kemaluannya dan dibiarkan begitu saja sampai ditemukan dalam kondisi nyaris membusuk. Atau kisah ketika mereka berhari-hari menahan lapar dan haus di hutan, merancang strategi perlawanan terhadap penjajah.

Dulu, kata ayahanda, siapapun ikhlas berjuang demi kemerdekaan. Semua lapisan masyarakat bahu membahu, terutama para ulama, santri dan umat Muslim. Semua pure dilakukan karena ridha Allah demi melepaskan bangsa dari kedzaliman. Boro-boro mikir jabatan dan materi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement