Kamis 18 Aug 2016 17:46 WIB

Bangsa yang Gamang

Red: M Akbar
Dadang Solihin
Foto: istimewa
Dadang Solihin

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr H. Dadang Solihin, SE, MA (Rektor Universitas Darma Persada/Unsada Jakarta)

Tahun ini, Indonesia menapaki momentum perayaan 71 tahun kemerdekaannya. Sebuah periode yang tak pantas lagi untuk disebut muda. Ibarat manusia, usia kemerdekaan yang telah direguk negeri ini seharusnya telah memasuki fase yang matang. Tapi benarkah kehidupan negeri ini sudah menjadi bangsa yang matang secara ekonomi, politik, maupun sosial atau dalam istilah founding father negeri ini kita sering mendengarnya sebagai bangsa yang berdaulat?

Inilah pertanyaan besar yang selalu mengiringi setiap kali perayaan 17 Agustus sepanjang periode negeri ini merdeka. Sayangnya, pertanyaan-pertanyaan klasik semacam ini hanya sekedar melintas namun dalam perjalanan waktu kita justru lebih terlihat gamang dalam menemukan solusinya.

Lantas, ketika negeri ini masih terjebak dalam kegamangan tak berujung untuk menemukan solusi, Indonesia sudah dihadapkan pada tantangan baru bernama globalisasi di kawasan ASEAN. Kita lebih mengenalnya dengan sebutan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Fase ini telah resmi bergulir sejak akhir Desember 2015. Di sini, persaingan menjadi lebih terbuka. Rasanya, hanya sumber daya manusia (SDM) kompetitif saja yang kelak bisa survive untuk menjadikan negaranya sebagai bangsa yang unggul dan berdaulat.

Pertanyaan berikutnya pun datang; mampukah Indonesia menjadi bangsa unggul dan berdaulat di tengah persaingan bebas antarnegara kawasan di ASEAN? Tanpa hendak bersikap pemistis, negeri ini sesungguhnya masih harus berjuang keras untuk menjadi bangsa berdaulat sebagaimana yang pernah dicita-citakan Presiden Indonesia pertama, Bung Karno.

Merujuk survei Prosperity Index 2015 -- di dalamnya memuat peringkat kemakmuran -- lembaga penelitian Legatum Institute dari Inggris, posisi Indonesia ternyata masih jauh di belakang Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Dalam survei itu kriteria penilaian meliputi tingkat ekonomi, kewirausahaan, kesehatan, pendidikan, dan pendapatan rata-rata per kapita.

Lalu berkaca kepada survei Indeks Pembangunan Pendidikan Untuk Semua atau The Education for All Development Index (EDI) yang dilakukan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), posisi Indonesia terlihat sangat miris. Survei itu menempatkan Indonesia hampir menempati tempat terendah terhadap kualitas pendidikan di negara-negara berkembang di Asia-Pasifik. Indonesia berada di peringkat ke-10 dari 14 negara.

Kemudian saat melihat tingkat pendapatan nasional yang dicerminkan melalui Gross Domestic Product (GDP), posisi Indonesia ternyata tertinggal sangat jauh dengan negeri jiran Malaysia maupun Singapura. Padahal, kedua negara tersebut memiliki usia kemerdekaan lebih muda dibandingkan Indonesia. Malaysia baru menyatakan diri merdeka dari Inggris pada 31 Agustus 1957 dan Singapura pada 9 Agustus 1965.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement