REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Satriwan Salim
(Sekretaris dan Peneliti Ketahanan Nasional dan Kewarganegaraan di PUSPOL Indonesia)
20 Hari Mengelola ESDM Bersama Arcandra
Peristiwa diberhentikannya Menteri ESDM, Arcandra Tahar oleh Presiden dinilai publik sebagai respon terhadap kontroversi status kewarganegaraan yang bersangkutan. Arcandra dituding memiliki paspor Amerika Serikat yang menandakan dia seorang warga negara Amerika Serikat, selain juga punya paspor Indonesia.
Di sisi lain hukum positif Indonesia menyangkut kewarganegaraan ini diatur oleh UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, tidak mengenal asas kewarganegaraan ganda (bipatride). Justru Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal, sebagai terobosan hukum dibanding UU Kewarganegaraan yang lama No. 62 Tahun 1958.
Walaupun Presiden tidak mengutarakan apa alasan pemberhentian Menteri ESDM tersebut secara nyata terbuka, hal ini menyisakan pertanyaan besar di benak publik saat ini. Publik bertanya-tanya secara yuridis formal, karena statusnya sebagai WNA, tentu itu juga menyalahi UU Kementerian Negara No. 39 Tahun 2008, bahwa salah satu syarat menteri adalah mesti berstatus WNI.
Implikasi hukumnya, pengangkatan Arcandra sebagai menteri melalui Keppres akan dinilai cacat hukum. Tidak berhenti di sini, otomatis segala keputusan dan kebijakan Menteri ESDM selama kurang lebih 20 hari menjabat, tentu akan cacat juga secara hukum.
Apalagi muncul isu terkait kebijakannya tentang perpanjangan izin ekspor konsentrat Freeport. Tentu sebagai menteri, selama 20 hari tidak saja satu kebijakan hukum baik berupa Peraturan Menteri, Keputusan Menteri maupun Instruksi Menteri yang dibuat.
Mestilah ada penataan, peninjauan kembali bahkan pembatalan atas segala produk hukum Menteri ESDM 20 hari ini, jika tidak ingin masalah ini berlarut-larut. Kita paham bahwa isu-isu terkait ESDM adalah salah satu isu strategis nasional, yang jika pengelolaannya berantakan, maka akan berdampak serius terhadap pendapatan bahkan kedaulatan energi negara.
Gloria dan Mimpi Mengerek Sang Saka
Bersamaan dengan isu kewarganegaraan ganda Menteri ESDM, muncul pula berita tentang Gloria Natapradja Hamel yang mendadak diberhentikan statusnya sebagai salah seorang anggota Paskibraka, yang akan mengibarkan bendera Sang Saka Merah Putih di depan Presiden Joko Widodo pada 17 Agustus nanti. Siswi asal Depok ini dinilai memiliki kewarganegaraan Prancis. Pupus sudah harapan Gloria untuk mengerek bendera dwiwarna kebanggaan bangsa Indonesia.
Kemenkumham dan Kemenpora sudah menjatuhkan keputusan tersebut. Bukan hanya terkait pencabutan statusnya sebagai anggota Paskibraka, tetapi pemerintah sudah melampaui itu, pemerintah nyata-nyata sudah melakukan pencabutan terhadap segala mimpi, cita-cita dan impian Gloria selama ini.
Padahal secara eksplisit dalam UU Kewarganegaraan No. 12 Tahun 2006 Pasal 4, menjelaskan kategorisasi anak yang disebut WNI.
Salah satu poin (d) mengatakan,''Warga Negara Indonesia adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNA dan ibu Warga Negara Indonesia.'' Bahkan UU ini memberikan terobosan untuk memiliki double citizenship (dwi-kewarganegaraan) bagi Gloria (RI dan Perancis) sampai usia 18 tahun. Inilah yang kemudian dikenal dengan 'asas kewarganegaraan ganda terbatas'.
Memang dijelaskan juga dalam Pasal 41 (masih dalam UU ini), jika 'pengakuan' secara resmi oleh negara tentang ke-WNI-an Gloria, mesti didahului oleh upaya 'dengan mendaftarkan diri kepada Menteri'. Memang begitu bunyi pasalnya secara normatif-yuridis. Namun sepertinya upaya adminsitratif inilah yang tidak dilakukan oleh orang tua Gloria.
Tapi persoalannya adalah mengapa masalah vital ini muncul sudah di hilir alias di ujung seleksi Paskibraka. Seperti yang kita tahu, seleksi Paskibraka nasional ini jenjangnya sangat panjang dan sangat kompetitif plus rumit administratif. Seleksi yang berjenjang dan ketat. Kita bisa mempertanyakan kinerja Tim Seleksi Paskibraka nasional ini, mulai dari level SMA (sekolah Gloria), Kota Depok, Provinsi sampai level nasional.
Di awal pendaftaran seleksi pasti akan disibukkan dengan pemenuhan syarat administratif, begitu juga jenjang berikutnya. Jika diagnosa kewarganegaraan ini baru diketahui di akhir oleh Tim Seleksi nasional, dengan melihat KITAP (Kartu Izin Tinggal Menetap) yang dimilikinya, kita bisa katakan bahwa Tim Seleksi di bawahnya sangat tidak profesional bekerja. Dalam tim tersebut terdapat unsur Purna Paskibra Indonesia (PPI), pemerintah daerah, Kementerian Pemuda dan Olahraga bahkan TNI.
Keseriusan Mengelola Negara
Kesamaan dari kedua kasus kewarganegaraan di atas adalah, pemerintah tampaknya acap kali tergesa-gesa, kurang teliti dan maladministratif bekerja. Secara psikologis, diberhentikannya Gloria sebagai anggota Paskibraka pasti berdampak terhadap motivasi dan impiannya.
Seperti yang dikatakan di atas, bukan hanya status sebagai pengibar yang dicabut oleh negara, tetapi juga negara telah sukses mencerabut cita-cita dan mimpi seorang anak bangsa, yang kebetulan saja belum memenuhi 'syarat administratif' sebagai seorang WNI seutuhnya, yang sejajar dengan anak bangsa lainnya. Walaupun semangat substansi UU mengakuinya sebagai WNI.
Ke depannya pemerintah mesti lebih teliti, benar-benar apik, berprinsip kehati-hatian dan cakap dalam mengelola administrasi pemerintahan. Cukuplah Arcandra dan Gloria sebagai preseden buruk betapa kusutnya kita mengatur negara. Begitu juga orang-orang dekat presiden, pejabat Istana mesti memberikan informasi yang sungguh valid kepada presiden.
Setidaknya 4 lembaga di sekitar Presiden yang harus bertanggungjawab dengan Kasus Arcandra, yaitu BIN, Kementerian Setneg, Seskab dan Staf Kepresidenan. Keempat lembaga tersebut harus profesional mendampingi presiden, jika tidak pantas disebut pekerja amatiran.
Apalagi tagline pemerintah saat ini adalah 'Kerja, Kerja, Kerja', nampaknya perlu kita tambahkan 'Kerja, Kerja, Kerja yang Teliti!'. Semoga cerita Arcandra dan Gloria ini tidak menjadi kado pahit dalam perayaan HUT RI dalam usianya yang ke-71.