REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syamsul Huda*
'Problem klasik' pemerintah Indonesia yang sampai saat ini belum terselesaikan adalah masalah kemiskinan. Problem ini kemudian 'beranak-pinak' melahirkan segudang problem 'turunan' lainnya, mulai dari rendahnya tingkat pendidikan hingga rendahnya kualitas kesehatan seseorang. Bahkan, hingga problem-problem dasar lainnya. Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis per Maret 2016 menyebutkan, bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia masih berada pada angka 28,01 juta jiwa atau setara dengan 10,86 persen dari total penduduknya. Angka tersebut menunjukkan penurunan yang hanya 1,75 persen dari data yang dirilis pada September 2015 yang menyebutkan jumlah orang miskin mencapai 28,51 juta jiwa. Kondisi inilah yang kemudian 'memaksa' pemerintah untuk mencari sumber pendanaan lain untuk mempercepat pengentasan kemiskinan di tengah kondisi keuangan negara yang belum stabil.
Keinginan pemerintah untuk menyelaraskan program pengurangan angka kemiskinan melalui Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) adalah hal yang logis dan strategis, baik dalam perspektif yuridis maupun ekonomi. Pertama, dalam perspektif yuridis, UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (selanjutnya disebut UU Zakat) mengamanahkan kepada BAZNAS untuk mengelola keuangan zakat yang diperolehnya guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Maka, meski secara klausul UU Zakat tidak disebutkan secara spesifik bahwa BAZNAS harus bersinergi program dengan pemerintah, namun tidak boleh dilupakan bahwa posisi BAZNAS yang merupakan lembaga negara, maka lembaga ini memiliki kewajiban untuk bersama-sama dengan pemerintah mengentaskan kemiskinan. Penyelarasan program BAZNAS dengan pemerintah juga menunjukkan kehadiran negara dalam kontrol terhadap kegiatan lembaga negaranya agar sesuai dengan blueprint yang telah ditetapkan.
Kedua, dalam persepktif ekonomi, potensi dana zakat yang dikelola oleh BAZNAS sangatlah besar. Bahkan, menurut BAZNAS potensi zakat pada tahun 2016 saja mencapai Rp 217 triliiun. Tentu ini angka yang tidak kecil, karena nilai potensinya setara dengan 10,4 persen dari APBNP 2016 yang mencapai Rp 2.082 triliiun. Namun, kenyatannya, realiasi perolehan zakat di Indonesia masih jauh dari ekspektasinya, yakni hanya berkisar di angka Rp 4 triliiun atau baru menyentuh 1,8 persen dari jumlah potensi yang ada.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Selain problem kesadaran pada muzakki (pezakat) yang masih rendah untuk menunaikan zakatnya, problem penting lainnya yang juga menghambat perolehan zakat di Indonesia adalah pada regulasinya. Artinya, secara umum regulasi tentang zakat sesuai dengan yang tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2011 belum mampu mengakomodir 'kepentingan' para wajib zakat jika dikalkulasi secara matematis. Di samping itu, tidak bisa dipungkiri bahwa trust masyarakat terhadap lembaga zakat yang masih rendah juga menjadi hal lain yang memiliki pengaruh cukup signifikan terhadap perolehan zakat di Indonesia.
Problem Regulasi
Masalah rendahnya perolehan nilai zakat di Indonesia tidak semata-mata disebabkan oleh problem kesadaran masyarakat Islam terhadap doktrin teologisnya. Namun lebih dari itu, problem mendasar yang menjadi penghambat perolehan nilai zakat adalah menyoal regulasi yang belum sepenuhnya berpihak kepada wajib zakatnya. Bahkan, meski secara yuridis keberadaan UU Zakat telah diatur, namun dalam kenyatannya membayar zakat (baca: zakat maal) di Indonesia bisa dikatakan 'setengah wajib' atau bahkan 'sunah'. Mungkin hal ini disebabkan karena paradigma tentang zakat hanya dipahami sebagai kewajiban dalam ranah agama, sementara negara 'kurang hadir' dalam menyoal pengelolaan zakat di Indonesia. Pengolaan yang dimaksud adalah sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2011, yakni meliputi tahap pengumpulan hingga pendistribusian.
Kenyataan lain yang tidak bisa dipungkiri adalah selain zakat terdapat kewajiban lain yang hubungannya dengan negara, yaitu pajak. Bahkan, untuk urusan pajak ini, pemerintah sangat ketat dengan memberlakukan hukum pidana bagi yang melanggar. Berbeda dengan pajak, untuk urusan zakat masih 'sangat longgar. Ini dibuktikan dengan tidak adanya ancaman hukuman bagi wajib zakat yang tidak menunaikan zakat. Lagi-lagi, karena kewajiban zakat semata-mata dipahami sebagai kewajiban agama, sehingga pemerintah 'tak kuasa' untuk memberikan sanksi yang akan dikenakan bagi para pelanggarnya.
Selain itu, status zakat di Indonesia adalah 'sebagai pengurang penghasilan kena pajak' seperti yang tertuang dalam Pasal 22 dan 23 UU No 23 Tahun 2011. Klausul tersebut secara tidak langsung akan menambah beban secara ekonomi bagi wajib zakat. Mengapa demikian? Karena meski para wajib zakat telah menunaikan zakatnya, mereka masih diwajibkan untuk membayar pajak kepada negara—sesuai dengan peraturan perundang-undangan—dengan jumlah persentase yang sama.
Memang jumlah penghasilan kena pajaknya menjadi berkurang karena telah terpotong oleh zakat. Namun, presentase pajaknya tidak berkurang sama sekali. Hal inilah yang justru menambah beban pengeluaran para wajib pajak dan zakat jika dihitung secara matematis. Ini pula yang kemudian menjadikan lebih banyak yang memilih hanya membayar pajak dari pada membayar kedua-duanya. Selain karena faktor pelanggaran terhadap pajak yang dikenakan pidana dan tidak bagi zakat, juga karena secara nilai ekonomi akan lebih menguntungkan, terutama untuk pelaku usaha.
Regulasi tentang zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak di Indonesia ini tentu sangat berbeda dengan aturan zakat yang sudah diberlakukan di Malaysia. Dalam konstitusi Malaysia, zakat berfungsi sebagai pengurang pajak. Artinya jika seseorang memiliki kewajiban membayar pajak 10 persen kepada negara, kemudian ia membayarkan 2,5 persen kepada LAZ, maka sisa pajaknya adalah 7,5 persen. Bahkan untuk pajak perseorangan dapat menyalurkan seluruhnya ke LAZ sehingga pajak ke negara menjadi nol persen. Sementara di Indonesia, jika seseorang memiliki kewajiban membayar pajak 10 persen, kemudian ia menyalurkan zakatnya 2,5 persen kepada LAZ, kewajiban pajak mereka tetap 10 persen. Hanya saja penghitungan 10 persen itu diambil jumlah penghasilan setelah dikurangi 2,5 persen.
Oleh karena itu, jika pemerintah benar-benar ingin menyelaraskan program pengentasan kemiskinannya dengan BAZNAS, maka seperangkat regulasinya harus disiapkan terlebih dulu. Terutama perubahan klausul 'zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak' menjadi 'zakat sebagai pengurang pajak'. Hal ini sangat vital untuk menunjukkan keberpihakan pemerintah dalam pengelolaan zakat di Indonesia dan untuk meningkatkan perolehan nilai zakat yang sesuai dengan potensi yang ada. Jika tidak, maka potensi zakat akan selalu berbanding terbalik dengan perolehan yang dikelola.
*) Ketua NU Care