Kamis 22 Sep 2016 12:54 WIB

Universalisme Islam dan Pesan Kerukunan Umat

Red: M.Iqbal
Mega Saputra, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah DKI Jakarta
Foto: Dokpri
Mega Saputra, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah DKI Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Mega Saputra, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah DKI Jakarta

Kepercayaan bahwa agama (Islam) mampu memberikan sumbangsih signifikan dalam kontribusinya membangun harmoni dunia layak dikaji dan disebarluaskan. Ayat-ayat skriptualis yang dianggap menyediakan lembaran-lembaran sabda tentang kerukunan menjadi dasar yang kuat untuk dijadikan landasan hidup bersama dalam bingkai persaudaraan.

Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai universalitas dan egaliterianisme spiritual harusnya mampu menebarkan benih kasih sayang bagi dunia ini (rahmatan lil alamin). Membumikan nilai-nilai Islam adalah fakta yang harus diusung untuk membuktikan bahwa Islam adalah benar-benar merupakan keperluan perenial.

Peran agama yang realistis di muka bumi akan menggambarkan bahwa islam tidak terpenjara hanya dalam ruang-ruang ritual yang sempit.

Islam yang diharapkan, meminjam istilah Bachtiar Effendi, sebagai agama omnipresence (hadir di mana-mana) ini mendorong terlahirnya global ethics (etika global) yang dapat melindungi umat manusia dalam kelangsungan hidupnya.

Etika yang terlahir tentu bukan etika otoriterian yang memonopoli keberanan suatu kelompok atau penguasa. Keyakinan kita akan posisi ummat islam menjadi lokomotif tercetusnya kerukunan sejati di muka bumi juga dikuatkan dengan sabda Allah SWT:

Kamu adalah umat terbaik, dilahirkan untuk segenap umat manusia, menyuruh orang berbuat baik, dan melarang perbuatan mungkar, serta beriman kepada Allah (QS. 3/Ali Imran: 110)

Ayat ini mengilhami eksistensi umat islam untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Kuntowijoyo menyebutkan ada dua hal yang perlu dikerjakan para cendikiawan muslim atau umat islam pada umumnya, yaitu mempersiapkan intellectual war (perang gagasan) dan manajemen kesadaran yang rasional.

Untuk mempersiapkan gejolak dan gesekan pemikiran dan usaha sadar dalam membangun kerukunan harus berangkat dari ikhtiar menegakkan kebenaran dengan cara-cara yang penuh dengan rahman dan rahim yang tulus. Karena menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai kesucian cita-cita ajaran islam itu sama saja dengan menodai kesucian agama islam itu sendiri.

Tingginya derajat kasih sayang dalam proses dakwah islam ini juga diperkuat dengan sabda Allah:

Kami utus engkau (Muhammad) semata-mata sebagai rahmat bagi alam semesta (QS. 21/Al-anbiya: 107)

Mengomentari ayat ini, Abdullah Yusuf Ali mengatakan tidak ada persoalan rasa atau bangsa, orang Arab atau orang ‘Ajam (Persia), orang Turki atau Tajik. Menurut dia, semua manusia memiliki tanggung jawab dan posisi yang sama di mata Allah SWT.

Junjung kerukunan

Pesan tentang Islam yang menjunjung tinggi kerukuan itu sendiri dapat kita jumpai pada berbagai firman Allah SWT, di antaranya:

Jika Tuhanmu menghendaki, niscaya semua manusia yang ada di muka bumi beriman seluruhnya. Hendak kau paksa jugakah semua orang supaya beriman? (QS.10/Yunus: 99)

Dan katakanlah: kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka barang siapa yang ingin beriman, hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir. (QS. 18/Al-Kahfi : 29)

Tak ada paksaan dalam memasuki Agama. Jelas bedanya yang benar daripada yang sesat (QS. 2/ Al-Baqarah: 256)

Seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan golongan lain maka pastilah bumi hancur, namun Allah memberikan kemurahan pada seluruh alam (QS. Al baqarah 251)

Dari berbagai ayat di atas dapat dipahami bahwa pemaksaan untuk memeluk agama tertentu atau desakan untuk memilih jalan hidup yang terpaksa adalah hal yang bertentangan dengan Islam. Sehingga usaha untuk berdakwah dengan cara kekerasan dan memaksa manusia baik melalui tekanan fisik ataupun sosial merupakan tindakan terkutuk yang dilarang Islam.

Allah SWT memberikan pilihan bagaimana umatnya memilih jalan hidup yang terbaik untuk dirinya sendiri yang pada akhirnya Allah yang memiliki hak veto menentukan yang sesat dan benar. Bila tidak ada persamaan pada agama-agama, kita tidak akan menyebutnya dengan nama yang sama “agama”.

Sehingga suatu agama tidak bisa menafsirkan keberannya secara monolitik dan eksklusif. Allah SWT berfirman:

Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang yahudi, shabiin dan orang-orang nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (QS Al-Maidah 69)

Pemaknaan terhadap kata 'alladzinaamanu' pada ayat di atas adalah mereka yang percaya akan utusan Allah dan kebenaran yang dibawanya. Sedangkan kata 'haduu' adalah yahudi dan nashara adalah mereka orang nasrani dan shabiin sebagaimana kisah Hasan bin yahya bahwa shabiin itu bukan Yahudi ataupun Nasrani tapi mereka yang tidak mempunyai agama.

Sudahlah jelas bahwa Islam sungguh memihak kepada pluralitas agama dan kebenaran setiap agama yang diwariskan para utusan Allah. Jika kita mengkaji surat Al Maidah ayat 48, maka akan kita temukan bahwa setiap kaum telah diciptakan jalan menuju kebenaran dan cara yang jelas untuk diamalkan, tinggal bagaimana kita berlomba-lomba dalam kebajikan.

Universalisme Islam

Universalisme Islam yang pada akhirnya menjadi manifesto kalimatun sawa (titik temu) dari berbagai agama masih melahirkan banyak perdebatan yang tidak berkesudahan. Macel A. Boirsard yang sempat menulis buku tentang Humanisme dalam Islam menarik untuk kita simak ulang uraian yang ia sampaikan sebagai berikut:

Konsepsi tentang wahyu, khususnya untuk bermacam-macam bangsa, menjamin toleransi keagamaan. Ajaran islam yang bersifat universal  tidak bertentangan dengan hal tersebut, jika kita mengetahui bahwa wahyu itu datang secara berangsur-angsur.

Kebenaran tidak disajikan kepada manusia dalam sekaligus tiap-tiap pesan (message) Tuhan berlaku sampai datangnya wahyu baru. Dan pada dasarnya wahyu baru ini membenarkan, meliputi, dan memperdalam.

Alquran sebagai ekpresi terakhir dari kehendak Tuhan menjamin autentisitas dan kebenaran wahyu sebelumnya. Akan tetapi, tidak menjamin berlakunya, karena sebagian wahyu-wahyu tersebut telah kedaluwarsa (habis masa berlakunya) dengan datangnya Islam.

Pencarian titik temu antar agama juga nampak jelas dalam pemikiran Abul Kalam Azad dari India ketika ia mengatakan “al-dinun wahid wa al-syariat mukhtalifat, no different in Din, different only in shar’a" (Agama itu satu dan syariat berbeda-beda, tidak terdapat perbedaan pada Agama, perbedaannya hanya ditemukan dalam hal syariat).

Nampaknya berharap hidup di only one world (dunia yang satu) dengan satu agama yang paling benar adalah hal yang mustahil dan naïf. Masalah yang harus diperdalam oleh kita kekinian sebagaimana dipesankan oleh Franz Magnis Suseno adalah bagaimana kita mampu mengartikan sabda Allah yang termuat dalam wahyu secara bijak.

Permasalahannya, menurut Franz, bukan terletak pada wahyu, melainkan pada sudut pandang manusia yang harus menangkap maksudnya. Sehingga penting menurutnya para tokoh-tokoh agama betul-betul memakai rasio dan metode-metode etika untuk memberikan interpretasi yang sportif pada kebenaran wahyu tersebut.

Usaha interprestasi dalam memaknai ayat-ayat Allah tentang pesan kerukunan ini sudah dilakukan semanjak lama, salah satunya adalah manifesto Piagam madinah pada 622 M. Piagam ini mnurut Robert N. Bella dianggap sebagai dokumen politik dan konstitusi karya original Muhammad yang melompati zamannya.

Jimly Asshiddiqie yang sempat menjabat sebagai ketua Mahkamah Konstitusi RI ini bahkan menyebutkan bahwa piagam madinah merupakan kontrak sosial tertulis pertama di dunia yang dapat disamakan dengan konstitusi modern sebagai hasil dari praktek nilai-nilai demokrasi. Ijtihad dalam membumikan ajaran Alquran dalam bidang sosiopolitik masyarakat madinah pada masa itu dapat terlihat dalam beberapa pasal yang menyinggung tentang kerukunan ummat beragama di antaranya:

1) Pasal 12: kaum muslimim tidak membiarkan seorang muslim yang dibebani utang atau beban keluarga. Mereka memberi bantuan dengan baik untuk membayar tebusan dan denda.

2) Pasal 14: seorang muslim dilarang membunuh muslim lain untuk kepentingan orang kafir, dan tidak boleh pula menolong orang kafir dengan merugikan orang muslim.

3) Pasal 23: bila kamu sekalian berbeda pendapat dalam suatu hal, hendaklah perkaranya diserahkan kepada (ketentuan) Allah dan Muhammad.

4) Pasal 24: kedua pihak (muslimin dan yahudi) bekerjasama dalam menaggung pembiyaan dikala mereka melakukan perang bersama.

Beberapa pasal di atas menggambarkan begitu revolisionernya konstitusi yang dirumuskan dalam rangka menjaga keharmonisan dan kerukuan umat. Piagam Madinah seakan menjadi pintu gerbang peradaban baru umat manusia pada masa itu.

Peraturan yang secara langsung diinisiasi oleh Muhammad ini mendidik ummat islam untuk hidup berdampingan dengan agama lain (the other religion). Umat Islam tidak bisa lagi berdiri di atas kedaulatan kuantitas, sudah saatnya berfikir keras bagaimana kedaulatan kualitas ummat islam menjadi pendorong tercapainya cita-cita kerukunan sejati.

Sekitar 87,2 persen penduduk Muslim Indonesia tentu merupakan asset strategis untuk mendorong terlahirnya iklim persaudaraan ummat yang kondusif. Bukan hanya sumber daya alam dan sumber daya manusia, Islam juga memiliki sumber daya nilai (value) yang kaya akan spirit kerukunan dan harmonitas sosial.

Agama tidak bisa lagi menjadi candu sebagaimana yang Karl Marx sampaikan. Karl Marx benar adanya saat agama hanya hadir sebagai pelipur lara sementara.

Islam tidak bisa "diperkosa" oleh berbagai kepentingan penguasa dan kepentingan politis. Islam tidak mungkin lagi terjerambab meminjam istilah Ali Syari’ati dalam kutub Qabil ( kezaliman dan kemunafikan penguasa, pemodal, pemuka agama).

Islam harus menjadi agama yang kritis dan profetis, penyambung lidah Tuhan dalam mendiasporakan pesan-pesan kerukunan ummat. Predikat sebagai khoiru ummah (umat terbaik) dan ummatan wasathan (adil, toleran, dan senang berdialog) mewajibkan kita untuk berperan secara aktif dalam mewujudkan cita-cita rahmatan lil alamin.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement