REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Dr KH Didin Hafidhuddin
Sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas bangsa Indonesia dan memberi pengaruh besar dalam perjuangan kemerdekaan Tanah Air, sewajarnya Islam menjadi standar nilai kehidupan yang dipedomani oleh para pemeluknya. Segenap warga negara Indonesia, apalagi yang memegang posisi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan mulai dari presiden, menteri, gubernur, bupati/wali kota dan seterusnya, terlepas dari keyakinan pribadi masing-masing, seharusnya menghormati pendirian yang menyatu dengan keyakinan beragama umat Islam, seperti ketuhanan, kenabian, kitab suci, rumah ibadah dan seterusnya. Hal ini teramat sensitif bila diusik atau diperdebatkan.
Dalam kaitan ini, penistaan terhadap kesucian agama sangat terlarang dilakukan oleh pemeluk agama yang bersangkutan ataupun oleh pemeluk agama yang berbeda. Penanganan hukum atas kasus penghinaan atau penistaan agama di Indonesia mengacu kepada Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Penistaan agama tidak bisa diselesaikan dengan semangat toleransi beragama, tapi harus dengan semangat penegakan hukum secara adil dan benar.
Umat Islam tidak dibolehkan mencela, merendahkan, menyerang, dan memperolok-olokkan ajaran atau keyakinan agama lain. Namun, tidak boleh tinggal diam ketika ajaran atau keyakinan agamanya diganggu, direndahkan atau dicela oleh pihak lain.
Sikap tidak tinggal diam terkait dengan keyakinan agama dinamakan 'ghirah' (baca: ghiroh) karena agama. Ghirah karena agama timbul karena seseorang mencintai Islam dengan hati, pikiran, dan seluruh perbuatannya. Dalam Islam diajarkan dengan sangat baik bagaimana seharusnya sikap membela keyakinan beragama dengan penuh keadaban. Buya Prof Dr Hamka (allahu yarham) yang merupakan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode pertama menulis buku berjudul Ghirah dan Tantangan Terhadap Umat Islam.
Keyakinan umat Islam terhadap agamanya terbentuk dari proses penghayatan terhadap Alquran dan As-Sunnah. Sumber hakiki ajaran Islam ini meliputi ajaran menyangkut 'hablum minallah' (hubungan manusia dengan Allah SWT) dan 'hablum ninannaas' (hubungan manusia dengan sesamanya). Pada kenyatannya, faktor lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat turut memberi pengaruh dalam membentuk komitmen, alam pikiran dan kecintaan seseorang terhadap Islam.
Haji Agus Salim, seorang tokoh pejuang dan pemikir besar Islam Indonesia mengatakan bahwa kata 'Islam' haruslah dirangkai dengan kata 'din'. Din secara umum diartikan secara umum bersinonim dengan kata agama (religion), namun memiliki makna yang beragam. Maknanya antara lain, mengabdi, berbuat shaleh, taat, dan mematuhi. Sedangkan dalam bahasa keagamaan, dalam kitab-kitab lama, din juga bermakna hukum. Hukum-lah yang menentukan segala sesuatu yang akan bernilai kebajikan jika direalisasikan.
Seperti diketahui sumber utama ajaran Islam ialah Alquran dan As-Sunnah. Memperbandingkan kebenaran ayat-ayat suci Alquran dan sabda Nabi dengan 'ayat konstitusi' bernegara yang dibuat oleh manusia dan sewaktu-waktu bisa diubah, sungguh suatu kekeliruan cara berpikir dan kesombongan terhadap Allah SWT. Umat Islam tidak boleh melepaskan ajaran agamanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Para ulama berkewajiban menyampaikan pandangan agama mengenai sesuatu masalah yang sedang aktual sebagai pesan dakwah. Selanjutnya, terserah kepada umat apakah mengikuti atau mengabaikannya. Kalau menggunakan istilah politik, maka 'politik ulama' bukanlah politik dukung-mendukung atau jegal-menjegal seseorang calon dalam proses pemilihan kepala daerah atau kepala negara. Namun, politik ulama sejatinya adalah menyampaikan kebenaran, politik memberi tahu jalan menuju kemaslahatan dan memberi tahu jalan yang menuju kemudharatan.
Dalam perspektif inilah umat Islam dan semua pihak yang memiliki kepentingan seyogyanya menerima Pernyataan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang ditanda-tangani Ketua Umum MUI Dr (HC) KH Ma’ruf Amin dan Sekretaris Jenderal Dr H Anwar Abbas tanggal 11 Oktober 2016 menyikapi pernyataan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama di Kabupaten Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 yang telah meresahkan masyarakat.
Majelis Ulama Indonesia, setelah melakukan pengkajian, menyampaikan sikap keagamaan sebagai berikut: (1) Alquran surah al-Maidah ayat 51 secara eksplisit berisi larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. Ayat ini menjadi salah satu dalil larangan menjadikan non Muslim sebagai pemimpin. (2) Ulama wajib menyampaikan isi surah al-Maidah ayat 51 kepada umat Islam bahwa memilih pemimpin Muslim adalah wajib. (3) Setiap orang Islam wajib meyakini kebenaran isi surah al-Maidah ayat 51 sebagai panduan dalam memilih pemimpin. (4) Menyatakan bahwa kandungan surah al-Maidah ayat 51 yang berisi larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin adalah sebuah kebohongan, 'hukumnya haram dan termasuk penodaan terhadap Alquran'. (5) Menyatakan bohong terhadap ulama yang menyampaikan dalil surah al-Maidah ayat 51 tentang larangan menjadikan non-muslim sebagai pemimpin 'adalah penghinaan terhadap ulama dan umat Islam'.
Menurut MUI, pernyataan Basuki Tjahaja Purnama dikategorikan: (1) menghina Alquran dan atau (2) menghina ulama yang memiliki konsekuensi hukum. Untuk itu MUI merekomendasikan: Pertama, pemerintah dan masyarakat wajib menjaga harmoni kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kedua, Pemerintah wajib mencegah setiap penodaan dan penistaan Alquran dan agama Islam dengan tidak melakukan pembiaran atas perbuatan tersebut.
Ketiga, aparat penegak hukum wajib menindak tegas setiap orang yang melakukan penodaan dan penistaan Alquran dan ajaran agama Islam serta penghinaan terhadap ulama dan umat Islam sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keempat, aparat penegak hukum diminta proaktif melakukan penegakan hukum secara tegas, cepat, proporsional, dan profesional dengan memperhatikan rasa keadilan masyarakat, agar masyarakat memiliki kepercayaan terhadap penegakan hukum. Dan kelima, Masyarakat diminta untuk tetap tenang dan tidak melakukan aksi main hakim sendiri serta menyerahkan penanganannya kepada aparat penegak hukum, di samping tetap mengawasi aktivitas penistaan agama dan melaporkan kepada yang berwenang.
Pernyataan resmi MUI tidak mengandung substansi yang berlebihan atau melampaui tugas ulama, melainkan memberi taushiyah kepada seluruh elemen masyarakat agar ke depan kasus-kasus penistaan agama tidak terulang kembali. Pejabat publik tidak saja perlu menunjukkan kerjanya, tapi perlu menjaga kata-katanya dan memiliki kepekaan terhadap isu keagamaan.
Umat Islam tidak mungkin tiba-tiba 'bereaksi' sekiranya tidak ada 'aksi' pihak lain yang memulai terlebih dulu. Kasus penistaan agama yang lagi hangat saat ini karena melibatkan seorang pejabat publik, merupakan pembelajaran berharga bagi siapa pun yang mendambakan kedamaian dan persatuan di negeri ini. Umat Islam, selama ini, telah memberi untuk terciptanya persatuan dan kerukunan antarumat beragama, maka jangan ibarat air susu dibalas air tuba.
Dalam situasi politik yang sangat dinamis dan pertarungan kepentingan antar kelompok dan golongan, umat Islam di seluruh tanah air diharapkan memiliki kepekaan dan kewaspadaan terhadap rekayasa adu domba oleh pihak-pihak yang ingin 'menangguk di air keruh' di tengah kegaduhan dalam kehidupan bangsa dan negara. Pengalaman selama ini membuktikan bahwa umat Islam mudah bersatu jika 'diserang dari depan'. Tetapi kekuatan umat akan terbelah dan tercerai-berai jika dikacaukan dan dilemahkan 'dari dalam' atau 'dari belakang'. Kondisi semacam itu sangat dikhawatirkan sedang terjadi di negara kita. Wallahu a’lam.