REPUBLIKA.CO.ID, DR. H Fadhlullah M Said *)
Jawa Barat ditempatkan sebagai wilayah dengan tingkat intoleransi keberagamaan tertinggi di Indonesia. Lima tahun terakhir ini, beberapa hasil riset menggambarkan, betapa wilayah tersebut sangat rentan terjadi konflik. Data terbaru disampaikan dalam Laporan Kehidupan Beragama tahun 2013 oleh Center for Religious and Cross Culture Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada yang dipublikasikan pada Kamis, 25 April 2013. Penelitian CRCS (Cholil, dkk., 2010) tahun 2009 mencatat, terdapat delapan belas kasus kekerasan yang dipicu sengketa pendirian rumah ibadah. Sedangkan tahun 2010 ini terdapat 39 kasus.
Dengan cakupan wilayah data yang relatif sama, penelitian itu menunjukan bahwa kasus di seputar rumah ibadah pada tahun 2010 itu, lebih banyak dibanding tahun sebelumnya. Dari 39 kasus seputar rumah ibadah, konflik atau ketegangan yang melibatkan konflik antarumat beragama masih mendominasi, yaitu 32 kasus (82 persen). Sedangkan empat kasus (10 persen) melibatkan konflik internal umat beragama seperti internal umat Muslim satu kasus, internal umat Protestan satu kasus, dan internal umat Katholik satu kasus. Sejumlah tiga kasus (8 persen) lain tidak bisa diidentifikasi.
Data tersebut menegaskan bahwa persoalan kerukunan tidak hanya melibatkan antara agama-agama yang berbeda. Namun, juga terjadi pada intra-umat beragama. Namun, angka kekerasan dan konflik yang melibatkan antar-kelompok berbeda agama jauh lebih tinggi dengan 32 kasus atau sekitar 82 persen. Sedangkan empat kasus (10 persen) melibatkan konflik internal umat beragama seperti internal umat Muslim satu kasus, internal umat Protestan satu kasus, dan internal umat Katholik satu kasus.
Data yang dikeluarkan Forum Ulama Umat Islam (FUUI) pada 2007, kemunculan aliran sesat mencapai angka 250, dengan 50 kelompok di antaranya berkembang di Jawa Barat. Kemunculan kelompok ini menjadi pemicu konflik antar kelompok agama.
Di Indonesia kemunculan aliran agama (religious subculture) kerap memicu konflik internal antar penganut agama (conflict from within). Selama rentang tahun 2003-2004 saja, tercatat hampir tiga belas peristiwa konflik antar-pemeluk agama yang dilatarbelangi kemunculan sekte, mazhab atau aliran agama. Misalnya, konflik komunitas Eden, aliran Abah Ended di Serang, Sekte Hari Kiamat, dan Al Qiyadah Al Islamiyah.
Kasus yang sama juga terjadi dalam komunitas agama Kristen. Empat kasus konflik intern Kristen yang menyita perhatian publik di Jawa Barat adalah konflik perebutan gereja di kalangan internal HKBP di Jl Riau Bandung pada 2007, HKBP di Ciketing Bekasi, penyesatan pendeta Hadassah pimpinan gereja Bethel di Jl. Lengkong, serta konflik di SMAK Dago (Farida, Anik, 2012).
Fakta tentang angka kekerasan tersebut dapat dijelaskan dengan melihat dua aspek berikut: pertama, aspek historis di mana terdapat peristiwa konflik keagamaan di Jawa Barat. Kedua, terjadinya perubahan sosial kontemporer yang terjadi di wilayah ini. Secara historis ada beberapa peristiwa konflik bernuansa agama di Jawa Barat, baik vertikal antara negara dengan masyarakat, maupun horisontal yang melibatkan sesama kelompok masyarakat.
Tingginya intoleransi di Jawa Barat juga dapat dipahami dari perubahan sosial yang terjadi di wilayah ini. Banyak kelompok sosial, kebudayaan dan keagamaan tampil ke publik dengan identitasnya masing-masing. Kelompok keagamaan seperti Ahmadiyah dan kelompok agama minoritas yang berbasis pada nilai agama lokal menjadi relatif lebih leluasa dalam menjalankan aktivitasnya.
Konflik di Jawa Barat dapat dijelaskan dengan tadarus perubahan sosial kontemporer di wilayah ini, terutama pada wilayah-wilayah urban. Proses perpindahan penduduk yang tidak terkendali dan terkontrol dalam banyak kasus, telah menjadi salah satu faktor yang dapat memicu konflik antar etnis dan berlanjut menjadi konflik antar pemeluk agama.
Tingginya tingkat migrasi (kelompok kepentingan) disertai motivasi untuk maju, menyebabkan banyak ruang, waktu, dan sumber daya alam, telah dikuasai oleh kelompok pendatang. Pada batas tertentu, penduduk lokal terusik bahwa sejumlah sumber daya alam dan manusia telah diambil alih pendatang. Kondisi demikian dapat menimbulkan pola hubungan sosial yang timpang dan tidak seimbang antara penduduk pendatang dan penduduk lokal. Hubungan yang tidak seimbang merupakan potensi bagi munculnya konflik sosial.
Konflik merupakan kejadian yang secara alamiah selalu ada dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, agar konflik tidak mengakibatkan kekerasan dan petaka sosial maka konflik perlu dikelola dengan tepat. Mengelola konflik tidak semata-mata ditujukan bagi penghentian konflik atau penandatanganan kesepakatan antara kelompok-kelompok yang bertikai.
Lebih dari itu, manajemen konflik seyogyanya diikuti dengan pemahaman tentang hak asasi manusia (HAM) dan penanganan konflik secara damai. Upaya promosi HAM dan penanganan konflik secara damai dapat melalui seminar dan workshop. Pihak yang dilibatkan meliputi santri, ustaz/ustazah, organisasi pemuda, organisasi masyarakat, organisasi agama, remaja masjid, mubaligh, dan majlis taklim. Hal ini supaya setiap bagian masyarakat di Jawa Barat mampu menjadi pribadi yang mencintai perdamaian.
Seminar dan workshop promosi HAM dan penanganan konflik secara damai merupakan sebuah proses untuk berbagi pengetahuan dan pengembangan pemahaman. Kegiatan ini, menjadi upaya menanamkan sikap saling menghormati, toleran, penuh perdamaian, saling membantu, dan anti-kekerasan. Seminar dan workshop perdamaian yang digagas oleh Pondok Pesantren Babussalam pada 9-11 November 2016 ini bertujuan untuk mewujudkan persaudaraan sejati di tengah perbedaan. Persaudaraan yang dilandasi dengan sikap toleransi-aktif, kejujuran, dan penghargaan terhadap kebebasan hak asasi manusia.
*) Ketua Yayasan Ponpes Babussalam, Ciburial, Dago, Bandung