REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Muhammad Iqbal, wartawan Republika
Penggusuran. Frasa ini kerap kita didengar beberapa waktu belakangan, khususnya bagi masyarakat Jakarta.
Musababnya tak dapat dilepaskan dari langkah Pemerintah Provinsi Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang melakukan penggusuran di berbagai titik di ibu kota. Berdasarkan data Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang mengutip APBD DKI Jakarta dan Rancangan RDTR 2016, terdapat 325 lokasi yang bakal digusur.
Perinciannya, 55 lokasi di Jakarta Barat, 54 lokasi di Jakarta Utara, 57 lokasi di Jakarta Pusat, 82 lokasi di Jakarta Timur, dan 77 lokasi di Jakarta Selatan. Terbaru dan paling hangat tentu penggusuran di kawasan Bukit Duri, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
Menanggapi hal tersebut, Republika mewawancari pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Alldo Felix Januardy, beberapa waktu lalu. Tujuannya adalah untuk memahami akar masalah penggusuran jika ditinjau dari sisi hukum.
Di salah satu sudut ruangan di kantor LBH Jakarta di bilangan Jakarta Pusat, Alldo mengawali paparannya dengan mengutip penelitian Deden Rukmana, Associate Professor di Savannah State University. Dalam penelitian yang diunggah secara daring Februari 2015 itu, Deden meneliti penggunaan dan penyalahgunaan tata ruang DKI Jakarta pada kurun waktu 1985-2005.
Ditemukan pelanggaran tata ruang yang teramat banyak. Mulai dari mall, hotel, apartemen, hingga rumah tempat Ahok tinggal di Pantai Mutiara. Totalnya ada 9.700 hektare (detail penelitian bisa disimak di sini http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/13563475.2015.1008723).
“Bayangkan kalau penelitian ini diteruskan sampai 2012 saat Ahok kepilih dan dia bilang gak ada pelanggaran tata ruang. Tapi feeling saya kalau diteruskan akan lebih banyak lagi (pelanggaran),” ujar Alldo. Maka sebuah pertanyaan sederhana pun timbul.
Mengapa masyarakat miskin yang disebut sebagai pelanggar tata ruang digusur padahal pelanggaran serupa juga dilakukan mall dan lain-lain? “Karena ini legal,” kata Alldo.
Tata ruang
Ia pun menjelaskan soal tata ruang. Tata ruang ditetapkan via peraturan daerah (perda).
Pihak-pihak yang terlibat adalah pemerintah (gubernur) dan wakil rakyat (DPRD). Jika saya adalah pengusaha, lanjut Alldo, maka saya punya akses kepada gubernur atau DPRD untuk mengubah peruntukkan tata ruang tersebut.
Hanya saja, UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang memandatkan bahwa kota besar yang sehat kudu memiliki 30 persen ruang terbuka hijau (RTH). Berdasarkan data Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) DKI Jakarta, besaran RTH saat ini hanya 9,75 persen.
Dan jika diperinci, 25 persennya adalah pemakaman. “Jadi sebenarnya enggak terlalu berfungsi itu, tidak seperti danau atau taman. Siapa juga yang mau nongkrong di makam?,” Alldo berseloroh.
Oleh karena itu, dia menilai penggusuran yang dilakukan aparat pemerintah provinsi DKI Jakarta dibantu kepolisian dan TNI, merupakan bentuk kepanikan. Akibat perampasan RTH yang berlangsung bertahun-tahun, Pemprov tak berdaya untuk mengejar ketentuan 30 persen dalam beleid tersebut.
Hanya saja untuk menggusur mall dan kawan-kawan tidak dimungkinkan lantaran legal (ada sertifikat plus tata ruang yang telah disesuaikan). “Makanya yang menjadi sasaran adalah masyarakat miskin,” kata Alldo.
Ihwal penggusuran masyarakat miskin penghuni bantaran sungai seperti di Kampung Pulo, Pemprov punya dasar hukum, yaitu PP 38 Tahun 2011 tentang Sungai. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa sempadan sungai harus 15 meter.
Padahal, pelanggaran-pelanggaran ini telah dilakukan sejak 1985 apabila mengacu pada penelitian Deden. “Itulah bentuk ketidakadilannya,” ujar Alldo.
Karut-marut
Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini menjelaskan dengan kondisi hukum yang demikian karut-marut, masyarakat miskin sebenarnya berhak dilindungi dari sisi hukum. Dalam KUH Perdata Pasal 1963 disebutkan ‘Seseorang yang dengan itikad baik memperoleh suatu barang tak bergerak, suatu bunga, atau suatu piutang lain yang tidak harus dibayar atas tunjuk dengan suatu besit selama dua puluh tahun, memperoleh hak milik atasnya dengan jalan lewat waktu.’
‘Seseorang yang dengan itikad baik menguasai sesuatu selama tiga puluh tahun memperoleh hak milik tanpa dapat dipaksa untuk menunjukkan alas haknya’. “Berarti setelah 30 tahun sudah menjadi hak milik,” ujar Alldo.
Jika demikian, maka Ibu Ici, sosok yang diwawancara Republika saat penggusuran Bukit Duri, jelas tidak dapat digusur. Sebab, Ibu Ici telah berada di titik itu selama lebih dari 30 tahun.
Namun, terdapat kendala lain. Menurut Alldo, seharusnya Ibu Ici mendaftar ke Badan Pertanahan Negara (BPN) untuk memperoleh sertifikat atas namanya.
Dengan begitu, tatkala pemerintah hendak menggusur, negosiasi menjadi seimbang. Jika tidak, maka tidak seimbang karena ketiadaan sertifikat.
Belum lagi deretan fakta bahwa masyarakat kerap dipersulit oleh BPN. “Dan waktu di Kampung Pulo, Bukit Duri, memang demikian kasusnya,” kata Alldo.
Ada satu hal lain yang tak kalah penting. Sebelum menerbitkan satu sertifikat tanah, perlu syarat administratif yang mutlak dan tidak akan pernah didapatkan oleh orang miskin karena tidak punya akses.
Surat keterangan riwayat tanah dan surat keterangan tidak sengketa dari lurah setempat. Lurah jelas adalah aparat Pemprov DKI Jakarta dan merupakan hasil lelang jabatan.
“Jadi misalnya lurah mengeluarkan dua surat keterangan itu bahwa ada orang miskin yang mau mendaftarkan tanah, bisa-bisa dicopot oleh gubernur dan tidak bisa menjadi lurah lagi. Bisa-bisa gubernur marah,” ujar Alldo. Dasar hukum yang lain adalah UU Perbendaharaan Negara.
Pemerintah kerap menggunakan dalih tanah negara untuk menggusur. Apabila di masa Belanja, tanah yang tidak mempunya sertifikat dijadikan tanah negara.
Hal ini wajar karena pemerintahan Belanda kolonial. Sebab, saat itu, masyarakat tidak punya sertifikat plus bukti jual beli sehingga lekas dicaplok untuk kemudian dijadikan perkebunan, dan lain-lain.
Akan tetapi, sejak 2004, dalam UU yang sama, terdapat syarat penting. Disebutkan tanah yang dikuasai pemerintah pusat/daerah harus disertifikatkan atas nama pemerintah Indonesia/pemerintah daerah yang bersangkutan.
Untuk apa sertifikat itu? Alldo menjelaskan, pada Pasal 19 UU Pokok Agraria, untuk menjamin kepastian hukum diadakan pendaftaran tanah.
“Ibaratnya begini. Supaya pemerintah sama warga sejajar posisinya. Kalau kamu sama-sama mau tanah, kamu harus punya sertifikat. Cuma persoalannya, klaim-klaim pemerintah terhadap penggusuran cuma daftar inventarisasi. Ya enggak bisa lah. Hukum bilang di UU Perbendaharaan Negara dan UU Pokok Agraria, itu belum milik kamu kalau belum mendaftarkan,” katanya menjelaskan.
Faktanya, lanjut Alldo, masih banyak tanah Pemprov DKI Jakarta yang belum disertifikatkan. Jumlahnya mencapai 20 persen dari total luas wilayah ibu kota.
“Segitu buruknya inventarisasi aset pemprov DKI Jakarta. Ahok pernah mengakui itu,” ujarnya.
Hukum majal
Sekarang kembali lagi ke situasi bahwa hukum tidak bisa diandalkan. Sebab, sertifikasi buruk. Pelanggaran tata ruang di masa lampau.
Masyarakat miskin bisa punya hak mendapatkan tanah, tapi proses yang tidak ideal di BPN. Maka jalan kekerasan yang ditempuh Pemprov DKI Jakarta menjadi haram hukumnya.
Sebab, masyarakat miskin merupakan korban diskriminasi hukum. “Kalau mereka mengerti, tidak ada gusur-gusuran begini. Pakai tentara segala macam,” cetus Alldo.
Dia menambahkan, hukum penggusuran sejatinya tidak pasti. Setidak-tidaknya ada lima dasar hukum, yaitu Kovenan Internasional Hak-hak Sosial, Ekonomi, dan Budaya, UU No 11/ 2005, UU No 26/2007, UU No 2/2012, UU No 28/2002, dan UU PrP 51 1960 tentang Penggunaan Tanah Tanpa Izin.
Karena begitu banyak aturan, maka Pemprov DKI tentu memilih jalan termudah, yakni PrP 51/1960. “Ini lagi kita review. Ibaratnya buat orang malas. Kalau buka UU Pengadaan Tanah (UU No 2/2012) untuk Kepentingan Umum, sedangkan UU PrP cuma enam pasal. Pada pasal empat itu caranya terserah pemerintah. Padahal UU ini diterbitkan dalam rangka menghentikan konflik horizontal. Dulu ada kelompok separatis. Jadi tanah itu dipakai militer untuk kebutuhan pertahanan. Persoalannya sekarang, sudah tidak relevan, tapi dipakai di hampir semua penggusuran,” kata Alldo menjelaskan.
Penggusuran Bukit Duri sejatinya merupakan pembuka jalan bagi pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, untuk normalisasi sungai. Maka seyogianya beleid yang dipakai adalah UU No 2/2012.
Akan tetapi, pemerintah enggan lantaran ruwet. Kudu musyawarah disertai ganti rugi memakai harga pasar.
Pun tafsir UU tersebut tak secara tegas mengatakan harus pakai sertifikat. Juga tidak disebutkan secara tegas dikuasi atau milik.
Banyaknya aturan tadi membuat penggusuran dibedakan berdasarkan kasta. “Jadi yang miskin pakai ini (UU PrP), kalau yang kaya pakai UU 2012. Kasarnya begitu lah. Jadi, dalam proses penggusurannya, walau untuk kepentingan umum, ada diskriminasi hukum lagi. Ini (UU PrP) mau kita batalkan semua pasalnya karena tidak adil dan tidak kontekstual. Masa ibaratnya kalau dulu memperlakukan pemberontak, kalau konflik, tidak apa-apa. Cuma sekarang, kita gak lagi perang. Masa TNI turun buat gusur orang yang gak bawa senjata?,” ujar Alldo.
Sebagai pengacara publik LBH Jakarta, Alldo kerap menjumpai korban penggusuran. Fakta di lapangan jelas sekali hukum tidak bekerja.
Idealnya dalam situasi sengketa seperti itu. Kekarutmarutan hukum mengakibatkan pemerintah tidak menjalankan kewajibannya, masyarakat juga tak mendapatkan haknya.
Maka Alldo pun mengusulkan agar kasus pertanahan diselesaikan di pengadilan akibat adanya ketidakadilan tersebut. Akan tetapi, Ahok menuding LBH Jakarta provokator.
“Kita menyayangkan sikap beliau. Karena warga miskin ini, kita ngerti kita pengen sungai yang bagus, Cuma masalahnya gusur kayak gitu melanggar banyak sekali prosedur,” ujar Alldo.
Rumah susun
Bagi korban penggusuran, Pemprov DKI memang menyediakan rumah susun. Penyediaan rusun jelas tidak diwajibkan dalam UU manapun. Hitam di atas putih pun tak ada.
Sampai tahap ini, lanjut Alldo, gubernur jelas baik hati. Akan tetapi persoalannya, pindah ke rusun sama saja mengulang komunitas dari awal.
Sementara banyak kampung yang tidak semunya dalam kondisi tidak bisa berbuat apa-apa. Seperti di Bukit Duri terdapat pertanian organik, sangar balet, sanggar kesenian, dan lain-lain.
“Komunitas seperti itu kan sayang kalau diulang dari awal lagi. Dan di rusun mereka sewa dua tahun-dua tahun. Berat. Itu sebabnya warga Bukit Duri memilih mengontrak yang tidak jauh dari situ karena kalau dipindahkan ke rawa bebek, aksesnya jauh bener. Transportasi gratis, tapi waktunya lama untuk mencapai ke sana. Jadi, rusun itu menyelesaikan masalah perumahan, tapi tidak menyelesaikan masalah kehidupan. Persoalannya di situ,” ujar Alldo.
Kehidupan, lanjut dia, harus ada intervensi dari pemerintah. Persoalannya, begitu diletakkan di rusun, pemerintah lepas tangan.
“Kasarnya kalau masyarakat miskin yang mau tinggal di gerobak pun wajib KJP, transportasi gratis, dan lain-lain. Enggak perlu dipindahkan dulu ke rusun. Itu kewajiban negara karena warga miskin jadi tanggung jawab negara. Cuma sekarang dipelintir seolah-olah saya baik hati saya gratisin ini. Padahal itu kewajiban negara,” kata Alldo.
Jika penggusuran, pemerintah harus menyediakan solusi yang memadai. Misalnya rusun milik, bukan sewa. Ahok mengganti kebijakan gubernur pendahulunya, Fauzi Bowo, yang mengubah dari milik ke sewa.
Misalnya di rusun Petamburan. Hanya saja tinggal di tengah kota jelas tidak murah. “Sedangkan ini korban penggusuran. Jadi mereka jual lagi,” kata Alldo.
Semua ini jelas kesalahan administrasi Fauzi Bowo karena seharusnya ada intervensi. Dan harus dipastikan orang yang beli orang yang tidak mampu juga atau dibeli sama Pemprov DKI Jakarta dengan harga NJOP.
“Cuma diambilnya malah radikal banget sama Jokowi-Ahok yaitu sewa. Kalau saya jadi warga mending cabut karena meski dibilang boleh ditempatin tujuh turunan, kalau saya enggak bayar sewa dua bulan, listrik dicabut, diusir. Setelah diusir, mereka pulang kampung atau cari tempat lain,” ujar Alldo. “Untuk kebutuhan kampanye memang bagus itu apartemen, KJP, dan lain-lain. Tapi, untuk kehidupan, tanggung jawab negara, ini perlu dievaluasi besar-besaran,” lanjutnya.
Solusi-solusi yang ditawarkan budayawan Romo Sandyawan seperti kampong susun dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah banjir. Maka rusun sudah seyogianya untuk yang benar-benar home less.
Masih berlanjut
Ke depan, tren penggusuran masih akan terus berlanjut. LBH Jakarta menemukan 325 titik penggusuran pada tahun ini.
Namun belum tahu kapan dieksekusi. Pada tahun lalu, LBH Jakarta menangani 113 titik penggusuran dengan 8.000 kepala keluarga dan ribuan usaha mikro, kecil, dan menengah.
Jika 300 titik, maka diperkirakan 20 ribu KK dan puluhan ribu UMKM akan jadi korban. Untuk PKL, jelas Alldo, tidak ada solusi.
Tidak semua direlokasi. Dari survei LBH Jakarta, PKL paling rentan tidak mendapatkan solusi apa pun.
Tak seperti korban penggusuran. “Saya khawatir pemprov mewariskan masalah ke administrasi berikut. Atau dia mewariskan masalah ke pemprov lain karena penggusuran pada pulang kampong,” kata Alldo menutup pembicaraan.