REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rokhmin Dahuri *)
Di tengah lesunya sektor-sektor ekonomi di daratan, seperti tekstil, elektronik, properti, sawit, batu bara, dan mineral, akibat perlambatan ekonomi global, sektor-sektor ekonomi kelautan seharusnya dapat menjadi 'penyelamat' dari beragam masalah bangsa. Perlambatan ekonomi global membuat Indonesia dihadapkan pada segudang masalah seperti menurunnya pendapatan negara, penurunan kinerja ekspor, meningkatnya kemiskin, serta masih tingginya angka pengangguran.
Potensi total nilai ekonomi pada 11 sektor kelautan Indonesia diperkirakan sebesar 1,3 triliun dolar AS per tahun atau sekitar 1,4 kali PDB dan tujuh kali APBN 2016. Adapun tenaga kerja yang bisa disediakan sekitar 45 juta orang atau sepertiga dari total angkatan kerja nasional. Sebelas sektor itu adalah perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, dan seafood, industri bioteknologi kelautan serta energi dan sumber daya mineral. Kemudian sektor pariwisata bahari, perhubungan laut, sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, kehutanan pesisir (coastal fores try), industri dan jasa maritim, serta sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan non konvensional.
Salah satu sektor ekonomi kelautan Indonesia yang sangat potensial untuk menjadi 'penyelamat' adalah sektor perikanan budidaya (aquaculture atau akuakultur). Pasalnya, sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai 95.181 km (terpanjang kedua di dunia setelah Kanada), Indonesia memiliki sekitar 24 juta hektare wilayah perairan laut dangkal yang sesuai untuk usaha budidaya laut, dengan potensi produksi lestari sekitar 60 juta ton per tahun (terbesar di dunia) dan nilai ekonomi langsung (on-farm) sekitar 120 miliar dolar AS per tahun.
Kemudian, ada sekitar tiga juta hektare lahan pesisir cocok untuk usaha budi daya tam bak dengan potensi produksi 30 juta ton/tahun dan nilai ekonomi on-farm 60 miliar dolar AS per tahun. Sekitar 30 persen atau 60 juta hektare dari total luas lahan daratan Indonesia (190 juta hektare) berupa ekosistem perairan tawar, seperti sungai, danau, bendungan, dan rawa.
Dari 60 juta hektare perairan tawar itu, sekitar lima persen (3 juta hektare) cocok untuk usaha akuakultur, dengan potensi produksi 15 juta ton per tahun dan nilai ekonomi on-farm 22,5 miliar dolar AS per tahun. Belum lagi po tensi usaha akuakultur di kolam air tawar, sawah (mina-padi), saluran irigasi (dengan keramba tancap), dan akuarium.
Dengan demikian, potensi total produksi akuakultur lebih dari 105 juta ton per tahun dan potensi total ekonomi on-farm usaha akuakultur di perairan laut, payau (tambak), dan tawar (darat) lebih dari 202,5 miliar dolar AS per tahun. Angka ini hampir sama dengan APBN 2016.
Kalau setiap hektare usaha akuakultur me merlukan satu orang tenaga kerja saja, total lapangan kerja on-farm yang bisa disediakan sekitar 30 juta orang. Belum lagi nilai ekonomi dan tenaga kerja yang bisa diserap oleh beragam kegiatan industri hulu dan industri hilir dari bisnis akuakultur tersebut.
Hingga saat ini, total produksi budi daya laut baru sebesar 9,4 juta ton (16 persen total potensi produksi), budi daya tambak 2,4 juta ton (8 persen), dan budi daya perairan tawar 2,8 juta ton (19 persen). Artinya, dari sisi suplai, peluang bisnis akuakultur masih sangat terbuka lebar dan luar biasa besar.
Sejak 2009, Indonesia menjadi negara produsen akuakultur terbesar kedua di dunia setelah Cina (FAO, 2016). Patut dicatat, akuakultur tidak hanya menghasilkan protein hewani berupa ikan, moluska (kekerangan); dan krustasea (udang, lobster, kepiting, dan rajungan).
Tetapi, juga rumput laut, teripang, invertebrata, dan ribuan jenis organisme perairan lainnya sebagai bahan baku (raw materials) untuk industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, cat, film, bioenergi, dan ratusan jenis indus tri lainnya. Selain itu, marikultur juga bisa meng hasilkan perhiasan yang sangat mahal seperti kerang mutiara. Dan, dapat berfungsi sebagai penyerap karbon, sehingga turut mencegah terjadinya pemanasan global (global warming).
Seiring dengan jumlah penduduk dunia yang terus bertambah dan meningkatnya kesadaran umat manusia tentang gizi ikan dan seafood yang lebih sehat dan mencerdaskan, permintaan terhadap sejumlah komoditas dan produk akuakultur juga diyakini bakal terus membesar. Selain itu, dari sisi penggunaan pakan, sistem produksi ikan budi daya enam kali lebih efisien ketimbang sistem produksi daging sapi. Karena itu, sangat logis bila dalam dua de kade terakhir, akuakultur merupakan sektor pangan dengan laju pertumbuhan tertinggi dan tercepat di dunia (FAO, 2016). Teknologi produksi perikanan budi daya itu relatif mudah dan kebanyakan masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan usaha akuakultur. Investasi dan modal kerja yang dibutuhkan juga relatif kecil.
Jika dikerjakan secara profesional dan penuh ketekunan mengikuti best aquaculture practices cara budi daya yang terbaik, usaha akuakultur dapat menghasilkan keuntungan yang besar, dan menyejahterakan rakyat secara berkelanjutan. Lebih dari itu, pembangunan dan bisnis akuakultur akan secara signifikan membantu bangsa ini bukan hanya untuk berswasembada pangan, farmasi, kosmetik, dan bioenergi, melainkan juga menjadi pengekspor utama keempat jenis produk yang dibutuhkan umat manusia sejagat raya.
Mengingat usaha akuakultur hampir semuanya berlokasi di wilayah-wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, pedesaan, dan wilayah perbatasan, pembangunan dan bisnis akuakultur akan membangkitkan pusat-pusat pertumbuh an ekonomi dan kemakmuran baru di luar Jawa yang menyebar di seluruh wilayah NKRI. De ngan demikian, masalah kronis bangsa lainnya berupa disparitas pembangunan antarwilayah yang sangat timpang. Pulau Jawa yang luasnya hanya 5,5 persen total luas wilayah Indonesia menyumbangkan 60 persen terhadap pereko no mian nasional (PDB), juga bakal lebih seim bang, produktif, dan berdaya saing.
Dengan fakta dan kondisi tersebut, sektor akuakultur bagi Indonesia bak 'Raksasa Ekonomi Yang Tertidur (The Sleeping Economy Giant)'. Sangat disayangkan, hampir dua tahun pemerintahan Kabinet Kerja, kebijakan dan program Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) fokusnya (lebih dari 60 persen) pada perikanan tangkap, terutama penenggelaman kapal. Kesejahteraan nelayan justru terkorbankan dan akuakultur dipandang sebelah mata. Padahal, nilai ekonomi langsung (ikan hasil tangkapan dari laut) hanya sekitar 14 miliar dolar AS, atau enam persen dari potensi total nilai ekonomi langsung akuakultur.
*) Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia Guru Besar Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB