Betawi, Toleransi, dan Polemik Ahok
Oleh: Abdullah Sammy, Jurnalis Republika.
=========
Menuding warga Muslim Jakarta tidak toleran adalah sebuah omong kosong besar. Mungkin, anda yang telah lama tinggal di Jakarta sepaham dengan saya.
Sebab warga asli Jakarta alias Betawi boleh dibilang sebagai salah satu suku yang paling toleran di Indonesia. Cara membuktikannya sederhana. Tak perlu propaganda buzzer untuk meyakinkan bagaimana harmoni dan toleransi terbina lama di ibu kota selama ini.
Cukup pandangi kondisi nyata di sekitar anda yang hidup berdampingan dengan komunitas Betawi. Di lingkungan saya tinggal, ada beberapa contoh sederhana bagaimana harmoni bisa dibangun oleh komunitas Betawi terhadap pendatang, terutama pada kelompok minoritas.
Kejadian pertama yang saya saksikan dengan mata kepala sendiri adalah saat kerusuhan pecah di Jakarta pada tahun 1998. Saat itu, saya masih bermukim di kawasan Petukangan Selatan, Jakarta Selatan.
Singkat cerita, ada sebuah gereja yang hendak dirusak massa. Di dalam rumah ibadah itu, ada beberapa penghuni gereja dan juga seorang yang warga keturunan yang mengungsi akibat rukonya di bakar massa.
Di tengah kondisi massa yang hendak masuk merusak gereja, seorang tokoh Betawi asli yang tinggal di sekitar rumah ibadah itu keluar dengan menenteng senjata tajam.
Dia biasa dipanggil Haji Sanusi oleh masyarakat sekitar Petukangan Selatan. Pak Haji itu datang bersama beberapa warga ke lokasi gereja.
Haji Sanusi pun mengancam akan bertindak kasar kepada pihak yang berniat merusak rumah ibadah kelompok minoritas di Petukangan itu.
Tak berhenti sampai di situ, beberapa orang yang mengungsi di gereja lantas diajak oleh Pak Haji untuk masuk ke rumahnya hingga kondisi mereda. Kebetulan rumah saya bersebelahan dengan Pak Haji dan berada persis di belakang gereja.
Di saat Pak Haji membuka pintu rumahnya untuk kelompok minoritas, dia pun bersama beberapa warga lantas berjaga di depan gereja. Pak Haji dengan beberapa warga Betawi itu lantas menggelar ronda untuk mencegah usaha pengursakan atau penjarahan susulan di rumah ibadah itu.
Ada lagi contoh yang saya dapati ketika bermukim di kawasan Mampang. Setiap Idul Fitri tiba, keluarga Betawi asli Mampang senantiasa membagikan opor kepada tetangga sekitar. Ini termasuk kepada tetangga yang beragama non-Muslim.
Selain itu, setiap ada warga yang hendak menggelar hajatan, warga Betawi di sekitar Mampang selalu berusaha membantu. Uluran tangan spontan dan sukarela ini tak mengenal batas ekonomi, suku, atau agama. Semua yang mengadakan acara selalu mereka bantu secara suka rela.
Masih banyak contoh dan tradisi betapa ramahnya warga Betawi dalam menjalin hidup bertetangga. Anda sekalian yang hidup berdampingan dengan Betawi asli pasti tahu bagaimana budaya keramahan dan keterbukaan suku ini terhadap setiap pendatang, bahkan yang berbeda ras dan agama.