Senin 21 Nov 2016 13:25 WIB

Hukum, Ahok, dan Dampak Kejahatan Finansial

Red: M Akbar
Calon gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok seusai memberikan keterangan terkait penetapan Ahok sebagai tersangka di Rumah Lembang, Jakarta, Rabu (16/11).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Calon gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok seusai memberikan keterangan terkait penetapan Ahok sebagai tersangka di Rumah Lembang, Jakarta, Rabu (16/11).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rudi Agung (Pemerhati Sosial)

Nenek Minah (55) memetik tiga buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan, yang akhirnya membawa dirinya sebagai pesakitan di ruang pengadilan.

Ia diganjar sebulan 15 hari penjara masa percobaan tiga bulan. Padahal hanya tiga buah cokelat, dan ia telah minta maaf pada mandor perusahaan. Tapi, maafnya tetap membawa nenek Minah ke penjara. Ini terjadi November 2009.

AAL, pelajar SMKN di Palu, Sulawesi Tengah, dituduh mencuri sandal jepit. Ia dilaporkan Briptu AR. Ia sempat dipukuli sampai lebam. Tak cukup, ia pun dilaporkan dan proses hukumnya diperpanjang. Ini mencuat sekitar tahun 2010.

Di Pengadilan Negeri Prabumulih, hakim Marzuki menangis melihat nenek yang dituduh mencuri singkong. Nenek itu miskin dan cucunya kelaparan. Tapi manajer PT Andalas Kertas tetap menuntutnya.

Hakim Marzuki menangis, terpaksa memberi vonis nenek denda Rp 1 juta atau penjara 2,5 tahun. Tapi ia ikut mendenda seluruh undangan di ruang sidang sebesar Rp 50 ribu.  Kisah ini sempat heboh di kisaran 2013.

Kuli pasir di Probolinggo dihukum dua tahun penjara dan denda Rp 2 miliar atas kasus pencurian tiga batang pohon. Vonis itu dijatuhkan ke Busrin (63). Ia menerima vonis Majelis Hakim. Padahal ia tak paham pohon yang ditebang termasuk wilayah konservasi. Pohon yang ditebang pun untuk kayu bakar. Itu terjadi Oktober 2014.

Tahun berikutnya, nenek berusia 68 tahun bernama Nenek Atik, ditangkap petugas Pasar Horas, Kota Siantar, diduga mencuri dua ikat daun singkong. Sang nenek diboyong ke Mapolsek Siantar Barat, dan sempat ditahan.

Tahun 2016, giliran nenek Sumiati, 72 tahun, terpaksa berurusan pihak berwajib usai mencuri tiga buah pepaya. Ia mengambil tanpa izin karena kelaparan. Sebab sudah hampir lima hari tak makan. Kasusnya dilimpahkan ke Kejaksaan.

Potret hukum tajam ke bawah itu, dilansir sejumlah sumber. Ada begitu banyak kasus serupa kita saksikan. Padahal mereka mencuri karena kemiskinan dan kelaparan. Bukan keserakahan.

Sebaliknya, hukum tumpul ke atas. Teranyar, kasus Ahok. Ini menyita perhatian internasional. Bukan kali ini saja Ahok lolos hukum. Sejak di Babel, sampai varian dugaan kasus korupsinya yang menguras energi bangsa, Ahok selalu lolos. Sampai-sampai logika hukum dijungkirbalikkan dengan mencari niat jahat.

Ada kenaifan lucu dalam proses hukum di rezim ini. Para pencari kerja diwajibkan mengurus Surat Keterangan Kelakukan Baik, SKKB. Tapi tersangka bisa dimajukan sebagai calon Kapolri. Lalu, namanya dibersihkan dan diangkat jadi Kepala BIN.

Tersangka lain tetap dicalonkan sebagai calon gubernur Ibu Kota. Dalihnya, belum ada keputusan hukum tetap. Entah, predikat apa yang patut disematkan potret penegakan hukum saat ini.

Menariknya, Indonesia baru saja selesai jadi tuan rumah Sidang Umum Interpol di Bali, 7-10 November 2016. Interpol telah mengeluarkan Silver Notice. Penegakan hukum terkait pengembalian aset dan kejahatan finansial.

Apa yang sedang dilakukan Interpol dan pihak internasional yang melakukan audit finansial global, lolos dari perhatian umum. Padahal, ini sangat menarik dan kelak bisa saja mengubah peta Indonesia, dan menjadi sejarah baru Republik Indonesia.

Barangkali, segambreng kegaduhan sengaja diciptakan untuk mengecoh perhatian publik. Bukankah sebelumnya demikian? Terlebih berisiknya hukum terhadap Ahok, seolah sinetron Jessica jilid II. Bahkan, digiring masifnya upaya adu domba.

Kita sering terkecoh dengan apa yang disajikan di permukaan. Jangan-jangan, ke depan, Indonesia tiba-tiba dibuat terkejut adanya penangkapan besar-besaran oleh pihak internasional terhadap pelaku kejahatan finansial, sejak era reformasi.

Kejahatan itu membuat Indonesia babak belur. Sekarang, rasio NPL enam bank beraset terbesar telah melampaui rata-rata rasio NPL industri. Belasan triliun rupiah keluar dari Indonesia.

Utang membengkak, permintaan melemah, bank besar alami kredit bermasalah, kredit melambat, kredit menganggur didominasi bank-bank besar, daerah menjerit-jerit. Beberapa tahun defisit, merampas hak daerah. Untung, daerah mengalah.

Lantas, rezim butuh Rp 80 triliun untuk pekan pertama 2017. Kemana uang negara selama ini. Sampai tokoh politik dan ekonomi berkunjung ke PBNU. Ada udang apa di balik batu?

Ada apa dengan nasib rekening negara? Benarkah uangnya ada, uangnya ada, seperti yang sering Jokowi gemborkan. Kenapa faktanya ekonomi makin hancur?

Apa menutupi kegagalan dan babak belurnya ekonomi negara dengan berupaya mencipta kerusuhan, melalui sekuel penistaan agama dan ketidakadilan hukum? Tax Amnesty yang bertentangan dengan UU Pencucian Uang, masih sehat?

Indonesia, surga bagi pelaku kejahatan finansial. Mulai pencucian uang, korupsi, pergeseran dana, cetak uang IMP abal-abal, dan lainnya. Siapa tahu, nanti tokoh-tokoh yang di permukaan terlihat baik, kelak tertangkap juga. Siapa tahu. Seru!!!

Semoga umat tak terpancing dengan upaya adu domba. Mari berusaha menjaga perdamaian negeri tercinta. Sebaik-baik makar adalah makar Allah. Allahumma shalli alaa Muhammad.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement