Katakan No untuk Dongkel Jokowi: Revolusi Hanya Melahirkan Revolusi
Oleh: DR Denny JA, Pendiri Lingkaran Survei Indonesia
=============
Spirit mengalahkan Ahok itu sehat untuk demokrasi. Namun spirit mendongkel Jokowi itu "buah terlarang" yang buruk untuk tradisi pemerintahan yang baik (Good Governance).
Demokrasi yang terkonsolidasi memerlukan semakin banyak kaum yang bersikap demokratis. Yaitu mereka yang hanya bersedia bertindak dalam aturan main demokratis. Jika berhadapan dengan pemimpin yang tak disukainya, ia akan mati-matian mengalahkannya dalam prosedur demokratis: pemilu atau pilkada. Dan menolak pergantian pemimpin dengan cara tidak demokratis: kudeta, revolusi, dll.
Dalam tulisan ini, "Kalahkan" itu merujuk pada tekad mengganti pemimpin melalui prosedur demokratis. Sedangkan "Dongkel" merujuk pada pergantian pimpinan melalui prosedur yang tidak demokratis.
Memahami berbedanya semangat mengalahkan dan mendongkel ini penting untuk konteks sekarang. Harus jelas dipisahkan, gerakan perubahan mana yang masih oke dalam konteks demokrasi. Dan gerakan perubahan siapa yang jika diikuti hanya membawa negara semakin lemah dalam transisi demokrasi.
Mengalahkan Ahok dalam pilkada 2017 adalah spirit politik yang dibolehkan dalam aturan main demokratis. Bagi yang tak suka Ahok, mereka bisa menafsir mengalahkan Ahok itu justru membuat demokrasi tambah sehat untuk dua alasan.
Pertama: mengalahkan Ahok yang sudah menjadi tersangka itu melanjutkan tradisi good governance: best practises pemerintahan yang baik.
Selama ini sudah menjadi konvensi politik di pejabat yang menjadi tersangka mundur dari jabatannya. Aneka menteri di era pemerintahan sebelumnya banyak yang mengundurkan diri karena menjadi tersangka. Sebut beberapa diantaranya: menteri Jero Wacik, menteri Surya Darma Ali dan menteri Andi Mallarangeng,
Berbagai pejabat partai ketika menjadi tersangka juga mengundurkan diri. Mereka tak ingin menjadi beban bagi partainya dan sekaligus fokus kepada kasusnya sendiri. Contoh yang bisa disebut: Anas Urbaningrum yang saat itu ketu umum Partai Demokrat. Atau OC Kaligis, dan Rio Capella yang saat itu menjadi sekjen partai Nasdem.
Bahkan pemimpin yang menjadi pejabat karena dipilih rakyat, bukan ditunjuk, ketika menjadi tersangka, mereka juga mundur dari jabatannya. Antara lain aneka anggota DPR yang menjadi tersangka: Luthfie Hassan Ishaaq dari fraksi PKS, Andi Taufan Tiro dari fraksi PAN.
Di negara demokrasi yang lebih beradab, bahkan sebelum menjadi tersangka, jika kasusnya sudah menjadi isu publik, ia mengundurkan diri, tak peduli setinggi apapun kedudukannya.
Contohnya Presiden Jerman Christian Wulff mengundurkan diri pada tahun 2011. Saat itu ia belum menjadi tersangka. Ia baru diramaikan di publik soal skandal menerima bantuan uang dari pengusaha. Karena tak ingin kasusnya menjadi beban pemerintahan, presidenpun mundur.
Mengapa itu menjadi tradisi good governance jika pejabat yang menjadi tersangka mundur dari jabatan publik? Status tersangka membuat sang pejabat menjadi beban bagi jabatannya. Amanah jabatan untuk taat aturan, taat asas, taat etika, tak bisa lagi ia emban karena ia sendiri sedang bermasalah dengan itu. Bagaimana ia bisa menjadi teladan menegakkan aturan jika ia sendiri tersangka melanggar aturan?
Ia pun akan disibukkan dengan proses hukum. Sebagai tersangka ia belum tentu bersalah. Namun status tersangka itu sendiri hanya diberikan kepadanya karena ia juga punya potensi salah, melanggar aturan.
Proses hukum akan menyita waktu, tenaga dan pikirannya. Pejabat yang baik dalam tradisi pemerintahan yang benar tak ingin kasus hukumnya membuatnya tak bisa fokus menjalankan jabatan.