Selasa 29 Nov 2016 06:21 WIB

Akankah Jokowi Melakukan Blunder Kedua?

Red: M.Iqbal
Teuku Gandawan, Alumni ITB, Mantan Aktivis Mahasiswa, Pemerhati Politik Nasional
Foto: Dokpri
Teuku Gandawan, Alumni ITB, Mantan Aktivis Mahasiswa, Pemerhati Politik Nasional

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Teuku Gandawan, alumni ITB, mantan aktivis mahasiswa, pemerhati politik nasional

Perlukah Presiden Jokowi membuat blunder kedua terkait dengan penistaan agama oleh Ahok? Realitanya pada 4 November 2016 adalah tanggal kegagalan Jokowi menunjukkan dirinya sebagai presiden pilihan rakyat.

Pada tanggal itu jutaan massa Islam berkumpul di seputar Istana Kepresidenan dan ingin menghadap padanya untuk berkeluh kesah. Tapi apa yang dilakukan Jokowi? Dia malah keluyuran ke Bandara Soekarno-Hatta hanya untuk melihat perkembangan pekerjaan lintasan kereta bandara. 

Ini adalah kesalahan fatal dari Jokowi dan para pembisik strategi padanya dalam menghadapi massa. Satu hal yang harus disadari pemimpin negara adalah setiap kedatangan rakyat wajib disambut. 

Walau mereka datang membawa protes, harus disadari dengan datang kepadanya itu menunjukkan bahwa rakyat masih memandangnya sebagai pemimpin tempat mengadu. Bayangkan jika rakyat langsung berbicara kepada DPR atau malah MPR, artinya kepercayaan sudah tidak ada kepada Presiden.

Dengan tidak menemui demonstran artinya Jokowi telah membuat luka. Perlu disadari olehnya bahwa ada sejumlah massa yang cukup besar dalam massa demo Aksi Bela Islam yang sebenarnya mereka adalah para pendukung Jokowi. Dan peristiwa penolakkan Jokowi hadir menerima utusan aksi telah membuat luka di hati mereka, yang hingga hari ini belum sembuh. 

Kenyataannya lainnya adalah Aksi 411 telah berhasil memaksa Jokowi untuk memerintahkan Kapolri dan jajaran bekerja secepat-cepatnya dan mau tidak mau menersangkakan Ahok sebagai penista agama. Dan malangnya Jokowi tidak dilihat sebagai pahlawan atas perintahnya ini. 

Dia tetap dianggap berpihak kepada Ahok. Inilah blunder Jokowi.

Seandainya pada 4 November Jokowi menerima perwakilan para demonstran pada sore hari dan menyampaikan pidato yang sama seperti yang dia sampaikan pada dinihari 5 November, dia akan jadi pahlawan di mata rakyat. Dia akan dielu-elukan sebagai pemimpin yang peka dan adil. 

Sayang nasi sudah menjadi bubur. Pertanyaannya, masih bisakan Presiden Jokowi mengubah bubur ini menjadi bubur yang lezat?

Lalu apa sebaiknya sikap Presiden Jokowi menghadapi Aksi 212? Hanya ada satu cara, yaitu mencegahnya. 

Apakah mencegahnya dengan cara-cara seperti yang Kapolri saat ini? Salah total! Pencegahan dalam berbagai bentuk himbauan, selebaran, penghambatan angkutan umum dan sebagainya malah membuat rakyat semakin marah dan kecewa. Marah yang bisa menggiring isu bukan lagi kepada Ahok dan Kapolri Tito Karnavian, tapi kepada posisi Jokowi sebagai presiden. 

Sesuatu yang bisa berujung kepada kerusuhan dan proses pemakzulan. 

Harus diakui secara jujur bahwa ada banyak pihak yang nampaknya siap sedia menjadi pembonceng gelap dalam Aksi 212. 

Ada berbagai kelompok yang haus kuasa dan ingin mendompleng dengan berbagai motif. Dan mereka semua bisa bersekutu dengan menjadikan Jokowi sebagai musuh bersama atas berbagai kegagalan, termasuk kegagalan utama dalam hal ini, yakni menangani penista agama secara jernih dan objektif.

Menghindari Blunder Kedua

Presiden Jokowi harus cerdas melihat situasi. Ahok sudah dapat dipastikan akan jadi pecundang dalam Pilkada Jakarta 2017. 

Sesuai dengan hasil survei dan opini sosial media, besar kemungkinan dia akan tersisih di putaran pertama. Kalaupun lolos ke putaran kedua, dia akan kalah telak pada putaran akhir. 

Artinya tidak ada perlunya bagi Jokowi melindungi Ahok. Daripada membuat blunder baru dan semakin terpojok dalam kemarahan rakyat, lebih baik Jokowi mengambil kesempatan untuk memutarbalikkan keadaan sekarang juga. 

Mumpung Kejaksaan Agung belum bersikap atas pelimpahan kasus penistaan agama, lebih bijak jika sebelumnya Presiden Jokowi mengeluarkan penyataan. Dia bisa menyatakan bahwa Polri sudah bekerja dengan baik dan profesional, kini saatnya Kejaksaan Agung juga menindaklanjutinya dengan profesional. 

Imbauan yang sebenarnya adalah perintah presiden kepada Jaksa Agung agar segera menyelesaikan karut marut keadaan. Semua akan menjadi semakin menyejukkan jika sebelum 2 Desember 2016 Kejaksaan Agung menyatakan berkas perkara telah lengkap atau P21. 

Lalu menimbang berbagai dinamika pasca status tersangka dan dalam rangka menciptakan situasi yang kondusif, Kejaksaan Agung memutuskan menahan Ahok agar tidak menimbulkan/mengeluarkan pernyataan yang tidak kondusif selaku tersangka. 

Dengan demikian Presiden Jokowi bisa kembali tampil sebagai tokoh solusi dengan mengeluarkan Perppu “Kasus Khusus Ahok”, di mana Pilkada Jakarta dinyatakan dalam keadaan //extra ordinary//. 

Peraturan yang berisi mekanisme bagi KPU untuk mememiliki wewenang hukum mengubah paslon dari Ahok-Djarot menjadi paslon baru. Sehingga tidak perlu ada kebuntuan dalam proses pilkada. 

Silakan Presiden Jokowi berbicara dengan berbagai pihak dan lembaga agar tidak ada persoalan tata negara dan UU atas mekanisme ini. 

Pada kesempatan yang sama Jokowi bisa mengeluarkan pernyataan agar rencana Aksi 212 dapat dibatalkan dan diubah menjadi acara syukur bersama untuk kesatuan bangsa dan cukup dilakukan di Monas dalam bentuk shalat jumat akbar. 

Jika Monas tak cukup, biarkan massa meluber hingga ke jalan-jalan seputar Monas. Presiden beserta jajaran kabinet bisa hadir dalam acara ini. 

Bahkan malam harinya bisa dilanjutkan dengan tafakur bersama tokoh lintas agama tentang pentingnya menjaga persatuan dan tidak boleh lagi ada peristiwa penistaan agama yang ditolerir yang menguras waktu dan energi. 

Dengan menciptakan kondisi ini Jokowi akan mendapatkan berbagai keuntungan. 

Pertama, dia kembali mendapatkan kepercayaan rakyat banyak. Kedua, kendali kepimpinan nasional semakin kokoh di tangan Jokowi karena berbagai kelompok pembonceng kehilangan media dan massa yang bisa mereka kelabui. 

Ketiga, kepercayaan TNI dan Polri kepada Jokowi bisa semakin tinggi karena bukan hanya dia telah melakukan safari tapi juga karena dia berhasil meredam isu keamanan nasional.

 Keempat, Jokowi menunjukkan kepada semua pendukung politiknya bahwa dialah yang memegang komando politik dan dia didukung penuh oleh rakyat dan aparat hukum. 

Kelima, Jokowi bisa menekan persoalan disintegrasi antaragama dan golongan dengan menyatakan bahwa ini murni persoalan Ahok pribadi. Tidak mewakili persoalan konflik antar agama atau konflik antarras. 

Keenam, Jokowi berhasil melakukan reinvestasi popularitas setelah model pencitraan tidak lagi efektif dilakukan. 

Ketujuh, Jokowi bisa menihilkan kesan bahwa selama ini dia disandera oleh Ahok dalam berbagai hal. 

Kedelapan, Jokowi menambah modal politik dan sosialnya untuk meneruskan kepemimpinan hingga 2019, sehingga memiliki banyak waktu jika ingin maju kembali untuk 2019-2024.

Paralel pada bulan Desember atau Januari bisa dikeluarkan Keppres baru yang berisikan perintah kaji ulang atas semua rencana reklamasi. 

Sambil keppres ini bisa memberikan kompensasi kepada para investor yang sudah terlanjur mengeluarkan uang pada Teluk Jakarta agar mendapat kesempatan dalam KEK Pariwisata di berbagai lokasi lain. Sehingga bisa menimbulkan kesan kuat dan positif bahwa investasi dalam era Jokowi berkekuatan hukum dan memiliki jaminan investasi jika ada kendala. 

Akhirnya semua yang beraroma Ahok atau kepentingan pemodal bisa dinetralisir dan kehidupan negara bisa terus berjalan dengan baik dalam kepemimpinan Presiden Jokowi. Semoga itu yang diputuskan oleh Jokowi. Semua bisa kembali berjalan normal walau kini tanpa Ahok. 

Akankah Jokowi mengambil kesempatan ini menciptakan bubur lezat bagi seluruh rakyatnya? Mari kita lihat bersama apa yang akan terjadi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement