Bung Karno: Saya Tidak Berani Vivere Periscoloso Terhadap Allah!
Oleh: Selamat Ginting, Jurnalis Republika
------------------
'Vivere Periscoloso' adalah sebuah ungkapan yang memakai dua kata dari bahasa Italia, vivere (hidup) dan pericoloso (berbahaya). Jadi maksudnya hidup secara berbahaya atau hidup di tengah bahaya. Namun dalam bahasa Italia yang benar, seharusnya vivere pericolosamente.
Istilah itu dipopulerkan oleh Benito Mussolini sebagai slogan kaum fasis. Kemudian oleh Bung Karno dijadikan judul pidato kenegaraan, 17 Agustus 1964, Tahun Vivere Pericoloso (Tavip). Satu tahun atau tepatnya 13 bulan sebelum terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965 (Gestapu).
Istilah politik ini, selain cukup mewakili situasi Indonesia saat itu, juga merepresentasikan posisi Sukarno selaku presiden. Saat itu, di dalam negeri Indonesia, sedang didera friksi antar-kelompok. TNI Angkaan Darat berhadap-hadapan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Belum lagi masalah ekonomi. Kemudian secara eksternal, Indonesia sedang berkonfrontasi dengan Malaysia. Di belakang Malaysia, tentu saja ada Inggris, Australia serta Selandia Baru. Saat itulah mulai muncul istilah ‘Ganyang Malaysia’.
Sebagai presiden, keberanian Sukarno berkata ‘tidak’ kepada Amerika Serikat serta kedekatannya dengan Republik Sosialis Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), membuat ‘Paman Samuel’ murka. Amerika pun diduga menggalang hubungan dengan sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat untuk menyingkirkannya. Hal lain yang tidak kalah pentingnya, saat itu Presiden Sukarno mengidap penyakit ginjal akut.
Sukarno merasa perlu menanamkan jiwa revolusi kepada bangsa Indonesia yang berada dalam kondisi krissis ekonomi, krisis politik, dan krisis identitas. Termasuk menghadapi ancaman asing dalam hal ini negara-negara kolonialis yang mengepung Asia Tenggara.
“Negara Indonesia dalam bahaya. Memang bahaya ini adalah satu fase, satu tingkat, dalam usaha kita mendirikan satu negara yang merdeka. Justru oleh karena proklamasi kemerdekaan kita adalah satu kejadian yang tidak konstitutionil, justru oleh karena tindakan kita memerdekakan Indonesia adalah satu tindakan yang revolusioner, maka tidak boleh tidak, Negara Indonesia harus melalui satu fase ‘dalam bahaya’. Tidakkah selalu saya sitirkan ucapan, bahwa tak pernah sesuatu kelas melepaskan kedudukannya yang berlebih dengan sukarela? – Revolusi bukanlah sekadar satu kejadian belaka, bukanlah sekadar satu ‘gebeurtenis’. Revolusi adalah satu proses. Puluhan tahun kadang-kadang, berjalan proses itu. – Pasang-naik dan pasang-surut akan kita alami berganti-ganti, pasang-naik pasang-surut itulah yang dinamakan iramanya revolusi. Tetapi gelora samudera tidak berhenti, gelora samudera berjalan terus!” kata Bung Karno dalam pidato yang penuh semangat itu.