Senin 05 Dec 2016 07:19 WIB

Indonesia 412, Kita, dan Ahok

Peserta aksi 412 di tengah-tengah warga yang sedang berolahraga di car free day sepanjang Jalan Sudirman dan MH Thamrin, Jakarta, Ahad (4/12).
Foto: Republika/Muhyiddin
Peserta aksi 412 di tengah-tengah warga yang sedang berolahraga di car free day sepanjang Jalan Sudirman dan MH Thamrin, Jakarta, Ahad (4/12).

Indonesia 412, Kita, dan Ahok

Oleh: Hersubeno Arief, Jurnalis Senior/Konsultan Media dan Politik

============

Parade Kita Indonesia (4/12) melengkapi potongan-potongan puzzle, tentang peta pertarungan politik di Jakarta dan Indonesia. Kendati dibungkus dengan parade budaya, tapi publik tidak perlu terlalu cerdas untuk memahami bahwa kegiatan tersebut diinisiasi oleh para pendukung Ahok, minus PDIP. Berbagai bantahan dari panitia penyelenggara, bahwa kegiatan ini bukan merupakan tandingan dari aksi 212, tetap tidak bisa menyembunyikan apa agenda yang sesungguhnya. Fakta-fakta di lapangan menggambarkan dengan jelas semuanya.

Hadirnya atribut partai seperti Golkar, Nasdem dan sebagian kecil PPP Djanz Farid, serta dua perusahaan besar Artha Graha dan Agung Sedayu Group menegaskan siapa yang bermain dan kepentingan apa yang sedang mereka mainkan. Nasdem dan Golkar adalah partai yang paling awal mendukung Ahok dalam Pilkada DKI. PPP Djanz Farid adalah 'penumpang gelap' yang mencoba memanfaatkan situasi Pilkada DKI ketika PPP Rommy memberi dukungan kepada calon yang berbeda dengan Jokowi. Sementara Artha Graha milik taipan Tommy Winata dan Agung Sedayu Group milik Aguan adalah dua perusahaan yang sangat berkepentingan dengan berbagai proyek di Jakarta, khususnya reklamasi Teluk Jakarta.

Sejak awal saya sudah meyakini bahwa Ahok alias Basuki Tjahja Purnama hanyalah pion, proxy dari kepentingan yang lebih besar. Keyakinan tersebut ditopang oleh interaksi personal saya dengan Ahok pada tahun 2008 dan saya mengetahui untuk siapa dia bekerja.

Benar Ahok tidak korupsi, karena buat dia APBD DKI terlalu kecil dan terlalu mudah untuk dideteksi, bila ia melakukan korupsi. Citra inilah yang dikapitalisasi oleh para pendukungnya melalui sosial media dan media konvensional (TV, Online dan media cetak) yang nota bene dikuasai oleh mereka. Maka kemudian muncullah jargon-jargon “Pilih pemimpin yang kafir tapi tidak korupsi, atau pilih pemimpin muslim tapi korupsi.” Sebuah simplifikasi kejam dan maaf, bodoh, yang kelihatan mengena pada sebagian kaum muslim.

Masifnya konten media dan sosial media yang dijejalkan kepada publik berhasil menutupi korupsi kebijakan yang nilainya jauh lebih besar dan lebih merugikan negara. Proyek raksasa Reklamasi Teluk Jakarta nilai jauh lebih besar dan berkali lipat dibandingkan APBD DKI adalah salahsatu contohnya.

Sebagai perbandingan penyerapan APBD DKI Jakarta 2015 mencapai 66,18 persen atau sekitar Rp 40 triliun dari total nilai APBD DKI 2015 sebesar Rp 65,7 triliun. Dari pos anggaran belanja langsung, realisasi penyerapan anggaran belanja modal yang diperuntukan membiayai pembangunan infrastruktur paling rendah. Hanya mencapai 29,71 persen atau Rp 5,4 triliun dari total nilai belanja modal sebesar Rp 18,4 triliun.

Yang terbesar adalah belanja pegawai alias gaji yang tidak mungkin dikorupsi. Sementara ‎ nilai APBD Perubahan tahun anggaran 2016 Provinsi DKI Jakarta hanya Rp 62,91 triliun dipastikan penyerapannya juga rendah. Jadi APBD tidak mungkin dan tidak perlu diotak atik Ahok. Itu terlalu kecil dan terlalu bodoh. Bandingkan dengan proyek Reklamasi yang biayanya mencapai Rp 500 triliun! Belum proyek-proyek lain yang akan diberikan sebagai konsesi bila Ahok memenangkan pilkada DKI.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement