Oleh: Selamat Ginting, Jurnalis Senior Republika
======
Pikiran terus berputar untuk mencari cara agar bisa bertemu dan mewawancarai seorang jenderal bintang tiga aktif. Hari itu juga. Ya, hari itu juga!
Jangan sampai wartawan lain lebih dahulu berhasil menemui Letnan Jenderal Herman Benhard Leopold (HBL) Mantiri, mantan Kepala Staf Umum (Kasum) ABRI.
Hari itu, sekitar pertengahan 1995, Menteri Luar Negeri (Menlu) Ali Alatas mengumumkan, Australia menolak menerima seorang calon duta besar dengan pertimbangan kondisionalitas politik.
“Kondisi hak-hak asasi manusia dijadikan alasan oleh parlemen Australia menolak usulan Indonesia untuk menempatkan Letnan Jenderal HBL Mantiri,” kata Ali Alatas kepada pers di gedung Departemen Luar Negeri, Pejambon, Jakarta, siang itu. Penolakan terkait dengan ‘Peristiwa 12 November 1991 di Dili, Timor Timur’. Australia menilai hal itu merupakan pelanggaran hak-hak asasi manusia, sehingga mengakibatkan pembatalan pencalonan tersebut.
Padahal awalnya pemerintah Perdana Menteri Paul Keating secara resmi telah memberikan persetujuan agrément kepada Letnan Jenderal Mantiri.
Namun sebaliknya, 17 anggota parlemen yang mewakili golongan pemerintah maupun golongan oposisi telah menyatakan keberatan atas pencalonan lulusan Akademi Militer 1962, sebagai Duta Besar baru Indonesia di Canberra.
Mantiri adalah bekas Panglima Komando Daerah Militer Udayana yang meliputi Bali, NTT, NTB dan Timor Timur. Namun sesungguhnya saat ‘Peristiwa Dili 12 November 1991’, bukan dia yang menjadi Pangdam-nya, melainkan Mayor Jenderal Sintong Panjaitan. Kasus itu diduga menewaskan lebih dari 50 orang.
Persoalan yang dipermasalahkan adalah wawancara Mantiri dengan majalah Editor di Jakarta pada 1992. Di situ ia mengatakan, terjadinya bentrokan antara pengunjuk rasa dengan pasukan TNI dianggap sebagai ‘hal sangat wajar’. Hasil wawancara itu mengundang reaksi pro dan kontra di Australia.
“Kita tidak menyesalkan apa-apa. Apa yang terjadi sudah semestinya. Mereka menentang kita, berdemonstrasi, sampai meneriakkan yel-yel anti pemerintah. Untuk saya, ini sama dengan pemberontakan, karena ini kita mengambil tindakan yang tegas”.
Menanggapi sikap Australia, Menlu Ali Alatas menyatakan, pemerintah Indonesia memutuskan tidak melanjutkan mencalonan HBL Mantiri, dan pos duta besar di Canbera untuk sementara dikosongkan.
“Pemerintah Indonesia tidak sudi membiarkan Mantiri dijadikan sasaran suatu kampanye politik, berupa unjuk rasa dan lain-lain tindakan yang dapat berupa penghinaan,” cetus Alatas.
Usai konferensi pers, siang itu saya langsung mengirimkan pesan ke newsroom kantor dan memberitahukan akan berusaha mencari dan mewawancarai Jenderal Mantiri. Setelah berhasil melacak alamatnya, saya berjalan dari Pejambon menuju stasiun kereta api Gambir, Jakarta Pusat. Tujuan stasiun kereta api Bogor.