Jumat 09 Dec 2016 01:00 WIB

Buah Demokrasi : Penghina Alquran Bebas Berkeliaran

Red: Agus Yulianto
Peserta aksi membentangkan poster di depan Gedung Sate, Kota Bandung, pada aksi demonstrasi umat Islam terkait pernyataan kontoversi Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang mengutip salah satu ayat Alquran, Jumat (21/10).
Foto: Republika/Edi Yusuf
Peserta aksi membentangkan poster di depan Gedung Sate, Kota Bandung, pada aksi demonstrasi umat Islam terkait pernyataan kontoversi Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang mengutip salah satu ayat Alquran, Jumat (21/10).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : M Saeful Anwar *)

Kesadaran Politik umat mulai terbangun, dimana isu bergulir cepat, saat penista Alquran tak kunjung dipenjarakan. Umat berkali-kali dibohongi dan dialihkan pandangannya untuk tidak menuntut keadilan. Suatu kemerosotan saat tuntutan keadilan ini didampratkan dengan isu persatuan hingga kebhinekaan, atau ada tunggangan oleh oknum-oknum tertentu yang sampai saat ini tak diketahui siapa.

Standar ganda kian berulang, disaat yang sama tersangka penista Alquran bebas berkampanye ria. Sedangkan Buni Yani, yang harusnya tidak bersalah, ditahan. Atau, saat umat Islam dibakar masjidnya, malah tersangka diajak makan oleh presiden, sedangkan ulama ditinggal pergi dan ditembaki gas air mata. Dimana letak keadilan? Saat fakta kian inkonsisten dan terbolak balik, maka kita perlu menanyakan sistem saat ini yang mengembangbiakkan para peleceh Islam.

Inilah demokrasi secara efektif menumbuhsuburkan kekufuran dengan alasan kebebasan menghina agama, melegitimasi kemaksiatan dengan dalih kebebasan bertingkah laku. Memecah belah negeri Islam (disintegrasi) dengan alasan hak menentukan nasib sendiri. Dan memberikan jalan penjajahan ekonomi dengan dasar kebebasan pemilikan yang menjadi pilar ekonomi liberal.