REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : M Saeful Anwar *)
Kesadaran Politik umat mulai terbangun, dimana isu bergulir cepat, saat penista Alquran tak kunjung dipenjarakan. Umat berkali-kali dibohongi dan dialihkan pandangannya untuk tidak menuntut keadilan. Suatu kemerosotan saat tuntutan keadilan ini didampratkan dengan isu persatuan hingga kebhinekaan, atau ada tunggangan oleh oknum-oknum tertentu yang sampai saat ini tak diketahui siapa.
Standar ganda kian berulang, disaat yang sama tersangka penista Alquran bebas berkampanye ria. Sedangkan Buni Yani, yang harusnya tidak bersalah, ditahan. Atau, saat umat Islam dibakar masjidnya, malah tersangka diajak makan oleh presiden, sedangkan ulama ditinggal pergi dan ditembaki gas air mata. Dimana letak keadilan? Saat fakta kian inkonsisten dan terbolak balik, maka kita perlu menanyakan sistem saat ini yang mengembangbiakkan para peleceh Islam.
Inilah demokrasi secara efektif menumbuhsuburkan kekufuran dengan alasan kebebasan menghina agama, melegitimasi kemaksiatan dengan dalih kebebasan bertingkah laku. Memecah belah negeri Islam (disintegrasi) dengan alasan hak menentukan nasib sendiri. Dan memberikan jalan penjajahan ekonomi dengan dasar kebebasan pemilikan yang menjadi pilar ekonomi liberal.
Inilah buah demokrasi melanggengkan otoritas hanya demi perut dan kepentingan. Menjadikan sisi kotor menjadi bersih nan kemilau, dan sisi bersih tertuduh kotor nan gelap. Wong cilik akan semakin tertindas oleh kebijakan, dimana hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Asas dasar aqidah demokrasi yaitu pemisahan (urusan-urusan) agama dari kehidupan (sekulerisme), maka penghina Alquran berkeliaran bebas di luar sana. Karena, asas aqidahnya bukan Islam, maka segala peraturan yang dilahirkan menjadi bathil. Meskipun, ada sebagian aturan yang disesuaikan dengan Islam namun lahir dari rahim kapitalis-demokrasi yang tujuannya bukan lagi atas dasar aqidah islam.
Adapun orang-orang yang berupaya menggolongkan demokrasi ke dalam sistem syura (musyawarah), pendapatnya tidak bisa diterima. Sebab, sistem syura itu teruntuk sesuatu hal yang belum ada nash (dalilnya) dan merupakan hak ahli halli wal aqdi yang anggotanya para ulama yang wara’ (bersih dari segala pamrih).
Demokrasi sangat berbeda dengan sistem syura. Kebebasan berpendapat tanpa dasar aqidah Islam menyebabkan demokrasi menjadi basis penistaan terhadapa agama. Lemahnya aturan sistem buatan manusia, melahirkan para pembangkang hukum-hukum Allah. Sebuah keniscayaan bahwa aturan Allah dalam hukum demokrasi diabaikan. Hukum sebenarnya akan dimiliki kaum-kaum kapital borjuis dengan gelontoran dana sebagai pembeliannya.
Jika dirunut, sangat mungkin tuntutan mayoritas Muslim untuk keadilan akan diabaikan. Karena, penguasa yang disokong oleh kapital-borjuis tentu akan mati-matian menyelamatkan Ahok meskipun akan mengorbankan kepentingan banyak masyarakat.
Demokrasi bukanlah solusi dalam mengatasi problematika kehidupan yang semakin pelik. Dalam demokrasi, sangat hal wajar, jika non-Muslim bahkan penista Alquran mencalonkan diri sebagai pemimpin karena peraturannya membolehkan hal tersebut. Perlu disadari demokrasi tidak akan memberikan keadilan secara nyata hanya dengan sistem Islam yang memiliki keadilan hakiki dapat mewujudkannya.
Penghinaan terhadap Islam akan terus berulang. Hal serupa akan terus terulang hingga mereka tahu bahwa kita umat Muhammad SAW memiliki benteng. Umat makin tahu, penguasa saat ini, bukanlah benteng bagi umat. Karena itu, umat Islam wajib bergerak dan menyerukan aspirasinya menuntut penghina Alquran harus di hukum dengan hukum Alquran. Hanya dengan menerapkan syariah Islam secara kaffah beserta aturan hukumnya, masalah penistaan agama dapat diselesaikan dengan tuntas.
Maka, titik dimana penjarakan Ahok pun belum selesai sampai problem utama sistem ini segera disudahi dan diganti. Maka, kita harus marah saat Alquran dihina, dan kita juga harus sangat marah saat Alquran tidak diterapkan!
*) Ketua BE BKLDK Kota Bandung