Jumat 09 Dec 2016 06:17 WIB

Makrifat Pagi: Spirit Kemajuan

Umat muslim menangis saat berdoa di acara aksi damai di kawasan Monas, Jakarta, Jumat (2/12).
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Umat muslim menangis saat berdoa di acara aksi damai di kawasan Monas, Jakarta, Jumat (2/12).

Makrifat PagI:Spirit Kemajuan

Oleh: DR Yudi Latif, Direktur Eksekutif Reform Institute

===============

Ledakan emosi keagamaaan yang membuncah belakangan ini hendaklah tidak berhenti sekadar ekspresi amarah jalanan. Gairah keagamaan harus menyentuh kedalaman yang lebih substantif: mempersoalkan basis spiritualitas kemajuan bangsa.

Dalam buku A Study of History, sejarahwan terkemuka Inggris, Arnold Toynbee, melakukan pelacakan terhadap faktor kebangkitan dan kejatuhan sekitar dua puluhan peradaban. Pada setiap kasus, Toynbee mengaitkan disintegrasi peradaban dengan proses melemahnya visi spiritual peradaban tersebut. Singkat kata, bangunan negara (dan peradaban) tanpa landasan transenden, ibarat bangunan istana pasir.

Studi Toynbee tersebut mengisyaratkan adanya hubungan yang erat antara nilai-nilai spiritual keagamaan dengan kemajuan bangsa dan peradaban.

Samuel Huntington, dalam Who Are We?, menunjukkan hal menarik mengenai keberlangsungan Amerika Serikat (AS) sebagai negara adikuasa, dibandingkan dengan Uni Soviet. Di AS, urainya, “Agama telah dan masih merupakan sesuatu yang sentral, dan barangkli identitas yang paling sentral bagi bangsa Amerika” (Huntington, 2004:20). Huntington juga menunjukkan (2006) bahwa geografi peradaban yang mampu bertahan adalah geografi peradaban yang berbasis keyakinan/ketuhanan. Dalam kaitan antara corak kegamaan dan politik, Alexis de Tocqueville (1835/1998) dan Robert Putnam (2006) mewakili para ahli yang menunjukkan peran nilai-nilai keagamaan dalam mempengaruhi demokrasi.

Memang, ada faktor budaya yang dipengaruhi oleh agama yang menjadi rintangan bagi kemajuan. Akan tetapi, beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa faktor keyakinan memberikan kontribusi yang penting dalam progres ekonomi dan demokrasi.

Tentu saja, banyak faktor yang ikut mempengaruhinya, sehingga dalam konteks mana agama menjadi rintangan dan dalam konteks mana pula ia menjadi pendorong kemajuan, merupakan hal yang harus dipertimbangkan.

Dalam kaitan itu, hendaklah disasari bahwa agama sebagai pedoman hidup yang berkaitan dengan yang suci (sacred) sedari awal memang mengandung kekuatan yang ambivalen: menakjubkan (enrapture) dan menghancurkan (annihilate). Kata “sacred” (Latin, sacer) itu sendiri bisa berarti karunia atau kutukan, suci atau cercaan.

Modus beragama yang berhenti sebagai pemujaan lahiriyah formalisme peribadan, tanpa kesanggupan menggali batiniyah nilai spiritualitas dan moralitas hanyalah berselancar di permukaan gelombang bahaya. Tanpa menyelam di kedalaman pengalaman spiritual, keberagamaan menjadi mandul, kering dan keras; tak memiliki sensitivitas-kontemplatif, kehangatan penghayatan, daya-daya kuratif serta hubungan-hubungan transformatif dengan yang suci dan yang profan.

Tanpa penghayatan spiritual yang dalam, orang akan kehilangan apa yang disebut penyair John Keats sebagai negative capability, yakni kesanggupan untuk berdamai dengan ketidakpastian, misteri dan keraguan dalam hidup. Tanpa menghikmati misteri, manusia memaksakan absolutisme sebagai respons ketakutan atas kompleksitas kehidupan dunia, yang menimbulkan penghancuran ke dalam dan ancaman keluar.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement