Ahad 11 Dec 2016 06:15 WIB

Antara Peci Hitam dan Peci Putih

Polisi dengan atribut khusus, memakai surban dan berpeci  turut disiapkan untuk mengawal demo ormas Islam yang akan dilakukan di Istana Negara Jumat (4/11)
Foto: Muhyiddin/Republika
Polisi dengan atribut khusus, memakai surban dan berpeci turut disiapkan untuk mengawal demo ormas Islam yang akan dilakukan di Istana Negara Jumat (4/11)

Antara Peci Hitam dan Peci Putih

Oleh: DR Iswandi Syahputra, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

===============

Sebagai penghayat makrifat sosial media, bagi saya ini merupakan model baru kritik netizen pada penguasa. "Hormat saya untuk Bapak yang pakai peci putih" atau "Kami bangga dan kagum dengan Bapak yang berbaju hijau". Mengkritik sambil berbisik, meninju sambil memangku. Kritik model begini tren baru sebagai 'jalan tengah' yang lebih damai dan sejuk.

Sosial media memang memiliki jalan nasib dan takdirnya sendiri. Masih ingat model pemberitaan media online yang memukau dan memaku?

Contoh memukau:

"Ditanya Soal Ahok, Jawaban Ayu Tongtong Mengagetkan".

Contoh memaku:

"Lima Syarat Pendamping Ahok, Syarat Nomer Empat Mengejutkan".

Jurnalisme model 'klickbait' ini pernah jadi tren berita media online. Demikian pula dengan model kritik pada kekuasaan di era media sosial mengalami berbagai perubahan. Berbeda zaman dan penguasa, berbeda pula pendukung dan pengkritiknya, maka berbeda pula polanya.

Pada era Soeharto hingga SBY, kritik sering dilupakan lewat aksi demonstrasi, diskusi atau menulis artikel opini. Tahun 2009-2012 pada era kedua pemerintahan SBY mulai marak kritik melalui media sosial. Tapi tetap menggunakan aksi demonstrasi.

Saat itu, saking meluapnya bahkan seekor kerbau tidak bersalah juga diajak demo di depan istana. Di Sosial Media jauh lebih parah, caci maki merajalela. Selain SBY ada Foke (Gubernur DKI saat itu) yang menjadi bulan-bulanan bully netizen di media sosial. Apakah ini real, nyata? Sabar...

Inilah masa awal kekerasan virtual dan era caci maki di sosial media. Pengamatan saya, kekerasan virtual tersebut muncul dari kelompok tertentu yang memang memiliki karakter progresif. Mungkin terlalu lama merasakan marginalisasi politik pada era Orde Baru, kelompok ini terlatih dalam berjejaringan dan militan.

Dalam banyak kasus, hanya dengan menggunakan media sosial mereka dapat mengorganisir diri dan berkumpul dengan cepat. Ingat kasus Cecak vs Buaya? Kecepatan itu saat ini melambat setelah mendapat apa yang selama ini ingin didapat. Untuk mempertahankan apa yang telah didapat, berbagai aspirasi mulai disumbat dan dihambat. Inilah hukum umum kekuasaan.

Dalam konteks ini, peci putih menjadi simbol tersembunyi yang dihadapkan pada dominasi peci hitam. Peci putih menjadi anti tesis setelah sejumlah Taipan mengenakan peci hitam. Bagi penikmat semiotika, simbol-simbol ini sedang bekerja menggiring pada suatu polarisasi politik.

Kendati saya juga penikmat semiotika visual, namun pada konteks ini poin dan minat saya pada model dan strategi yang digunakan untuk mengritik. Jika kalimat ""Hormat saya untuk Bapak yang pakai peci putih" merupakan kritik, butuh kecerdasan membacanya sebagai pesan politik. Ada pihak yang menurut saya menularkan kritik satir yang mencerdaskan jika dibanding kritik kasar penuh caci maki pada kekuasaan di era awal perang siber tahun 2010-an.

Secara akademik, hal ini sebenarnya sangat menarik untuk diteliti. Keyakinan terhadap nilai dan ajaran politik atau tekanan (marginalisasi) politik pada masa lalu rupanya menentukan juga corak prilaku netizen dalam aktivitasnya di sosial media pada masa kini.

Jika ada yang tertarik meneliti hal ini, saya siap menghibahkan diri menjadi salah satu tim peneliti. Tapi apa iya pihak asing bersedia memberi donasi? Diragukan, karena mereka tidak ingin modus perang siber ini terungkap pada publik.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement