REPUBLIKA.CO.ID,
Herri Cahyadi, mahasiswa doktoral Hubungan Internasional, Istanbul Univerity.
Awal dari tragedi Suriah jelas bermotif politik, di mana sebagian rakyat menginginkan kebebasan, demokrasi, pelepasan tahanan politik, penghapusan emergency law, dan pemberantasan korupsi. Pemicu demonstrasi yang berkepanjangan ini bermula dari grafiti dua orang bocah yang menulis “Rakyat Ingin Rezim Turun” yang berakhir dengan penahanan.
Demo menuntut pembebasan kedua anak itu berlanjut ke motif yang lebih luas: Presiden Bashar Al-Assad harus turun. Motif ini juga dipicu kesuksesan Arab Spring di Tunisia, Mesir, dan Yaman yang berhasil menjatuhkan rezim diktator.
Selama hampir 50 tahun politik dikekang di bawah partai tunggal yang berkuasa, Partai Baath, dan semenjak 1963 Suriah berada dalam emergency law yang membuat nyaris kebebasan berpolitik absen (emergency law dihapus pada 2011). Politik represif, nepotisme, tirani minoritas Alawite, dan klientelisme mewarnai atmosfer politik Suriah prakonflik.
Namun, ternyata revolusi di Suriah tidak berjalan mulus. Respons rezim Assad terhadap demonstran dibalas dengan tindakan superrepresif berupa penangkapan, penembakan, pembunuhan, dan tindak kekerasan lainnya.
Dalam waktu tiga bulan, hingga akhir Mei 2011, korban sipil telah mencapai 1.000 jiwa. Tindakan represif ini memicu kelompok oposisi membentuk sayap militer pada Juli 2011, yang terdiri dari eks tentara yang mendukung demonstran.
Mereka menamai diri Free Syrian Army (FSA). Disusul kemudian bermunculan kelompok oposisi Islamis dan kelompok jihadis seperti Jaish An-Nushra, Jaish Al-Islam, dan Ahrar Al-Sham.
Dari sini pula intonasi relijius “perang suci”, “Sunni-Syiah”, “takfiri”, “jihadis” mulai bermunculan. Di mana aslinya tidak ada motif agama dalam revolusi Suriah.
Konflik ini meluas ke negara tetangga yang memang sudah lama menjadi rival, sebut saja Saudi Arabia dengan Iran dan menjadi konflik kawasan. Aliansi yang dibangun oleh negara-negara tersebut menciptakan sabuk silang antara negara yang mayoritas Sunni (Saudi, Turki) versus mayoritas Syiah (Iran, milisi Hizbullah, milisi Irak).
Ini menambah runyam konstelasi politik di dalam konflik Suriah yang berdampak pada menguatnya intonasi reliji konflik Sunni-Syiah. Kehadiran ISIS pada 2013 sebagai musuh yang tidak diundang justru mengubah peta konflik menjadi benang kusut yang membuat frustrasi semua orang.
ISIS memerangi semua kelompok yang terlibat dalam konflik Suriah dengan metode kekerasan di luar akal sehat. Kehadiran ISIS justru memecah konsentrasi aktor utama dan memperbanyak korban sipil nonkombatan.
Belakangan, serangan terhadap ISIS dijadikan kamuflase oleh Rusia untuk menyerang titik-titik kontrol kelompok oposisi. Masuknya Rusia ke dalam konflik ini dalam bentuk fisik dan bantuan militer kepada rezim Assad, mengubah kondisi di lapangan serta menambah daftar panjang korban yang berjatuhan.
Oktober lalu, Rusia mengajukan veto menolak draft rancangan Prancis dan Spanyol yang mengusulkan penghentian serangan melalui udara. Ini kali kelima Rusia mengeluarkan veto terhadap resolusi Suriah.
Begitu pula dengan aliansi AS yang mengklaim menyerang ISIS, tapi menyasar ke posisi militan pro-Assad. ISIS dijadikan kambing hitam dan alasan untuk menyerang posisi mereka masing-masing.
Label teroris terhadap ISIS dan An-Nushra sering dimanfaatkan oleh rezim Assad dan Rusia untuk menyerang sapu jagat kelompok oposisi. Atas nama melawan terorisme, aliansi ini mencap seluruh kelompok yang bertentangan sebagai teroris.
Tidak mengherankan jika narasi media dan buzzer sosial media pro-Assad melabeli kelompok oposisi dengan “kelompok teror”. Ini bisa dilihat dalam sepekan terakhir kampanye serangan besar-besaran rezim Assad yang didukung serangan udara Rusia terhadap Aleppo bagian barat yang dikuasai oleh oposisi.
Assad menyebutnya sebagai pembersihan terhadap kelompok teror. Eksploitasi label teroris terhadap kelompok oposisi disebarkan secara massif oleh pendukung Assad di berbagai media.
Namun, tidak dapat dimungkiri pula bahwa narasi media Barat terhadap tragedi Aleppo berstandar ganda. Di satu sisi mereka mengeskpos kekejaman yang dilakukan Assad yang melakukan serangan indiskriminatif terhadap masyarakat.
Di sisi lain mereka secara persuasif mendorong agar terjadi perubahan rezim (regime change) dengan menggunakan angle pemberitaan demonisasi seperti yang mereka lakukan terhadap Saddam Husein dan Muammar Qhadafi. Regime change merupakan kepentingan kelompok oposisi yang didukung oleh Barat, termasuk Turki dan Arab Saudi.
Ini murni politik. Namun, standar ganda ini tidak berarti menjadi pembenaran sikap rezim Assad terhadap sipil nonkombatan.
Sebagian orang berargumen konspiratif bahwa Barat berada di balik media-media arus utama yang mengonstruksi kebohongan terhadap Assad. Media-media ini dituduh memproduksi paket berita selektif secara masif untuk menjatuhkan Assad.
Kalkulasi korban
Faktanya, siapa pun tidak bisa mengelak bahwa, menurut kalkulasi, 75 persen korban yang jatuh adalah berasal dari bombardir Assad dan militan pendukungnya. Berdasarkan data kelompok oposisi, Syrian Martyr, korban tewas terdiri dari sipil 116 ribu, oposisi 35 ribu.
Menurut Syrian Observatory for Human Rights, sipil 90 ribu, oposisi 52 ribu, tentara rezim Assad 60-90 ribu, kelompok pro-Assad 43-57 ribu. Diprediksi sekitar 55 ribu warga asing yang bergabung ke dalam kelompok-kelompok baik anti-Assad dan pro-Assad.
Prediksi total korban jiwa berkisar antara 300-450 ribu jiwa. Jumlah ini tidak dapat dipastikan mengingat korban tewas ada di semua front pertempuran dan susah untuk diverifikasi.
PBB sendiri telah menghentikan penghitungan ofisial terhadap korban tewas pada awal 2014 dengan alasan keterbatasan akses. Perlu dicatat, ada semacam pembacaan angka yang keliru dari kebanyakan orang.
Bahwa dari estimasi total korban yang tewas, tidak semuanya adalah sipil nonkombatan. Lebih dari 50 persen dari jumlah total yang tewas adalah kombatan atau pihak yang berkonflik.
Amnesty International menyatakan rezim Assad dan milisi pro-Assad telah melakukan kejahatan perang, pelanggaran hukum internasional dan HAM dengan menargetkan perumahan sipil dan fasilitas medis menggunakan serangan artileri, mortar, bom barel dan bahan kimia.
Juga memblokade akses kebutuhan dasar seperti makanan, obat-obatan, dan sebagainya. Menahan ribuan orang serta aktivis kemanusiaan, aktivis HAM, pekerja media, serta anak-anak.
Menurut laporan Physicians for Human Rights (PHR) per Juli 2016, 90 persen serangan terhadap tim medis (dokter, perawat, pekerja medis) berasal dari rezim Assad atau kelompok pro-Assad termasuk Rusia. Dari 400 serangan terhadap 276 fasilitas medis antara Maret 2011 sampai akhir Juli 2016, 362 serangan dilakukan oleh Assad dan Rusia.
Dengan korban 667 jiwa petugas medis dari total keseluruhan 713 jiwa atau 94 persen korban serangan Assad. Korban yang berjatuhan belum termasuk mereka yang berada dalam tahanan rezim Assad dan kelompok pro-Assad, semenjak PBB dan pengamat internasional tidak diberikan akses untuk memantau langsung ke dalam TKP.
Ini menyebabkan aktor independen kesulitan untuk mendokumentasikan korban secara pasti. Menurut laporan //Human Rights Council//, rezim Assad dengan jelas melakukan kekerasan sistematis dan masif terhadap tahanan dalam frekuensi yang intens dan rentang waktu cukup lama (2011-2015 sesuai laporan).
Bahkan, banyak kolumnis Barat yang membandingkan korban kekejian ISIS tidak lebih banyak dari korban yang jatuh akibat serangan Assad dan kelompok pro-Assad. Ini sebenarnya perbandingan yang keliru. Sebab membandingkan dua demon, apa baiknya?
Serangan terhadap sipil juga dilakukan oleh kelompok oposisi, jihadis, dan ISIS yang menyebabkan sipil nonkombatan menjadi korban. Ini pun harus diakui dan tidak bisa dielakkan.
Penting untuk dipahami akar kekerasan yang memang sudah ada dari awal revolusi rakyat Suriah, terutama, tindakan represif yang diterapkan rezim Assad memicu munculnya kelompok bersenjata. Karakter penggunaan kekerasan terhadap sipil nonkombatan terbukti nyata ada pada rezim Assad dari angka-angka serangan dan korban tewas.
Karakter penyelesaian masalah dengan kekerasan inilah yang perlu diselesaikan terlebih dahulu dari semua aktor yang ada.
Masing-masing pihak yang bertikai telah menjadikan masyarakat korban yang paling terdampak.
Mereka terjebak dalam pertarungan runyam berbagai kepentingan. Sekitar 13.5 juta jiwa membutuhkan asistensi kemanusiaan.
Lebih dari 4.8 juta jiwa memilih mengungsi ke negara sekitar. Aleppo adalah satu dari 40 titik pengepungan yang berpotensi mengalami kekerasan yang sama dari rezim Assad.
Komunitas internasional harus segera menghentikan aksi kekerasan barbar terhadap masyarakat sipil. Kemanusiaan adalah prioritas. Tidak ada jalan lain.
Data-data dan laporan resmi bisa diunduh di sini:
Doctors in the Crosshairs: Four Years of Attacks on Health Care in Syria, PHR:
https://s3.amazonaws.com/PHR_Reports/doctors-in-the-crosshairs.pdf
Laporan Situasi Keamanan di Suriah oleh Security Council PBB:
http://www.securitycouncilreport.org/atf/cf/{65BFCF9B-6D27-4E9C-8CD3-CF6E4FF96FF9}/s_2016_962.pdf
Laporan Komisi Hak Asasi Manusia PBB:
http://www.ohchr.org/Documents/HRBodies/HRCouncil/CoISyria/A-HRC-31-CRP1_en.pdf