REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Jasra Putra, M.Pd*
Kalau kita baca judul tulisan di atas terkesan sebuah struktur dalam sebuah perusahaan antara bawahan dan atasan. Namun judul tersebut sesungguhnya teringat komentar salah seorang sahabat yang berjuang dalam menghadapi musibah Tsunami Aceh di akhir tahun 2004 yang silam.
Di mana salah seorang trainer bertanya kepada para aktivis dan pejuang anak yang menjadi relawan di Aceh dalam sesi sebuah pelatihan. Siapa Bos kalian di sini? Semuanya menjawab bahwa bos kami adalah yang mengutus kami berangkat ke Aceh ini. Jawaban ini sama dari relawan kementerian/lembaga dan termasuk LSM/ormas yang mengurus anak.
Trainer ini berkata jawaban tersebut salah, bahwa bos kalian bukan yang mengutus kalian di sisi tapi bos kalian adalah anak-anak korban Tsunami Aceh baik yang meninggal maupun yang masih hidup. Penyataan salah seorang trainer NGO tersebut membuat makna yang mendalam bagi relawan yang mengurus anak-anak korban Tsunami saat itu.
Tanpa ada anak maka mereka tidak pernah ada di Aceh. Maka wajar bahwa bos kita adalah anak-anak Indonesia, apalagi ada pikiran yang menganggap bahwa anak adalah properti orang dewasa yang bisa sekehendaknya untuk memperlakukan mereka.Sehingga tidak jarang dalam kasus-kasus kekerasan yang menimpa anak pelakunya tidak jauh dari lingkungan terdekat anak.
Perspektif salah memandang anak bagian dari masalah juga masih dirasakan di tengah masyarakat maupun oleh pengambil kebijakan. Sehingga program-program terkait kepentingan anak sangat sedikit sekali bertanya langsung kepada anak.
Apakah program tersebut memang bisa memberikan solusi terhadap persoalan mereka? Atau sebaliknya bahwa program tersebut memuncul kekerasan baru (pisik dan psikis) oleh anak atas nama pembangunan. Padahal kalau kita jujur bahwa anak itu merupakan korban dari kebijakan-kebijakan ketidakadilan ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, sosial, dan budaya, dan lain-lain.
Oleh sebab itu maka melihat persoalan anak tidak hanya dengan kaca mata kuda atau mata-mata lain yang sangat dangkal dengan perspektif perlindungan dan kepentingan terbaik bagi anak. Indonesia memiliki penduduk lebih kurang 240 juta orang penduduk, 84 juta merupakan usia anak.
Save The Children merilis data dari UNICEF Tahun 2014 tentang akibat kemiskinan yang dirasakan oleh anak mengakibatkan hampir 50% anak tidak memiliki akta lahir, 2,3 juta anak usia 7-15 tahun mengalami putus sekolah, 7% anak 5-17 tahun terlibat dalam pekerja buruk anak, setiap 3 menit anak meninggal setiap hari sebelum mencapai usia 5 tahun akibat penyakit yang bisa dicegah (sekitar 500.000 anak meninggal per tahun (1.370 per hari), ketiga tertinggi di dunia 1,8 juta anak Indonesia tidak diimunisasi secara lengkap, apalagi kita saksikan belakangan ini imunisasi yang dipergunakan memakai faksin palsu.
Maka bisa dibayangkan masa depan ketahan kesehatan anak Indonesia akan terancam, nomor 5 di dunia anak Indonesia mengalami usia pendek (Stunting) 36% dari Balita.
Persoalan yang menimpa anak Indonesia tidak berhenti pada persoalan di atas. Kekerasan fisik maupun psikis yang dialami anak Indonesia tren kasusnya meningkat setiap tahun. Data KPAI tahun 2015 menyebutkan Tahun 2010 Kekerasan terhadap Anak 171 kasus/tahun, 2011 meningkat menjadi 2179 kasus, 2012 menjadi 3512, tahun 2013 menjadi 4311, tahun 2014 5066, April 2015 menjadi 6006 kasus.
Data ini merupakan pengaduan yang masuk melalui KPAI yang berhasil dilaporkan atau direkap. Namun kasus-kasus yang tidak dilaporkan atau tidak terekspos oleh media masih banyak lagi yang terjadi di Indonesia.
Maka peningkatan kekerasan terhadap anak tidak bisa dilihat sebelah mata, apalagi menganggap ini adalah persoalan biasa-biasa saja. Penelitian membuktikan pelaku kekerasan terhadap anak dilakukan oleh orang terdekat anak yakni keluarga, teman, guru, dan masyarakat sekitar anak. Oleh sebab itu negara yang kuat dan maju pasti memperhatikan dan melindungi tunas-tunas bangsa yang sedang mekar dan tumbuh ini, karena suatu saat negara ini akan diurus oleh mereka.
Dampak langsung dan jangka panjang terhadap korban kekerasan anak; perilaku beresiko penyalahgunaan NAPZA, berhadapan dengan hukum, hubungan seksual dini, kesulitan membangun hubungan, PMS, HIV/AIDS, hepatitis, sex menyimpang.
Pengalaman penulis dalam beraktifitas pemenuhan hak-hak anak dalam pengasuhan alternatif (Panti Sosial Asuhan Anak) sangat dirasakan betapa pemerintah belum sepenuhnya memberikan perhatian yang baik. Padahal kalau kita lihat dari 4,5 juta anak terlantar, sekitar 500 ribu anak diasuh oleh 8500 buah Panti Asuhan di Indonesia.
Kehadiran negara baru bisa membantu melalui Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) sebanyak 150 ribu orang anak. Dukungan yang diberikan oleh pemerintah tersebut dalam bentuk program pelayanan dasar seperti peningkatan gizi anak baru mampu dibantu sebanyak Rp. 3500/anak/hari.
Maka dipastikan uang bantuan pemerintah tersebut tidak cukup untuk meningkatan pemenuhan dasar gizi hak-hak anak. Kemudian data juga menunjukkan hampir 90% pemiliki Panti Sosial Asuhan Anak tersebut dimiliki oleh masyarakat. Seyogyanya harus ada perhatian yang serius dan komitmen yang kuat negara bersama dengan masyarakat menggerakan pemenuhan hak-hak anak secara komprehensif.
Upaya Negara ini sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Perlindungan Anak harus memperkuat institusi keluarga.Negara harus mampu memastikan dan memfasilitasi anak-anak tetap berada dalam keluarga yang bisa memberikan perlindungan secara optimal.
Sebagaimana dalam pasal 26 Undang-Undang Perlindungan tentang tanggungjawab dan kewajiban orang tua dalam a) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; b) menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak; dan d) memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.
Namun apabila peran tersebut orang tua belum bisa memberikan pengasuhan terbaik bagi anak, maka negara memberikan kesempatan kepada orang tua dalam memberikan pengasuhan dengan cara didampingi oleh pemerintah /pekerja sosial dengan cara memperkuat kapasitas pengasuhan melalui parenting skill serta peningkatan ekonomi keluarga.
Menurut hemat penulis pesan kuat Undang-Undang Perlindungan Anak tersebut bisa berjalan dengan baik apabila negara/pemerintah pusat sampai daerah serta peran serta masyarakat dan keluarga bisa bersinergi secara baik dalam pemenuhan hak-hak anak.
*Ketua Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah