REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Sunarsip
Memasuki 2017, sesungguhnya sejumlah indikator ekonomi mengisyaratkan adanya perbaikan. Salah satunya, harga-harga komoditas yang sejak pertengahan 2014 mengalami penurunan, sejak kuartal III-2016 memperlihatkan tanda-tanda perbaikan seperti minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO), batubara, dan beberapa komoditas tambang lainnya.
Harga batubara, misalnya, bila selama 2015 hingga kuartal II-2016 masih mengalami pertumbuhan harga yang negatif, sejak kuartal III-2016 sudah mengalami pertumbuhan positif. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), selama 2015 indeks harga ekspor (IHE) batubara mengalami penurunan sebesar -24,7 persen (year on year/YoY), kemudian turun lagi sebesar -25,5 persen (YoY) pada kuartal I-2016, turun lagi sebesar -17,8 persen (YoY), maka pada kuartal III-2016 harganya sudah mengalami pertumbuhan positif sebesar 6,2 persen (YoY).
IHE CPO kondisinya bahkan lebih baik lagi dibanding IHE batubara. Bila selama 2015 IHE CPO pertumbuhannya masih negatif sebesar 8,9 persen (YoY), maka selama tahun 2016 sampai dengan kuartal III-2016 terus memperlihatkan pertumbuhan harga yang positif. Pada kuartal I-2016 IHE CPO tumbuh positif sebesar 8,7 persen (YoY), lalu meningkat lagi sebesar 18,3 persen (YoY) pada kuartal II-2016, dan tumbuh lagi sebesar 26,3 persen (YoY) pada kuartal III-2016. Tidak hanya harga batubara dan CPO yang mengalami perbaikan. Harga-harga komoditas seperti timah, aluminium, kopi juga mengalami perbaikan. Diperkirakan, kenaikan harga-harga komoditas ini masih akan berlanjut di 2017.
Kenaikan harga komoditas selama dua kuartal terakhir di 2016 ini merupakan indikator yang penting untuk melihat proyeksi ekonomi di 2017. Ini mengingat, perekonomian di sejumlah wilayah memiliki ketergantungan pada komoditas. Di beberapa wilayah seperti Sumatra, Kalimantan, dan kawasan timur Indonesia (KTI) sektor-sektor penghasil komoditas (pertanian, kehutanan, dan perikanan serta pertambangan) memberikan sumbangan yang cukup tinggi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Di Sumatera, misalnya, sumbangan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan pada 2014 mencapai 23,16 persen terhadap PDRB-nya. Sedangkan di KTI, sumbangan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan pada 2014 mencapai 21,75 persen terhadap PDRB-nya. Di Kalimantan, sektor pertambangan dan penggalian memberikan sumbangan sebesar 37,67 persen terhadap PDRB-nya di 2014.
Tingginya tingkat ketergantungan sejumlah wilayah pada sektor komoditas menyebabkan naik turunnya harga komoditas turut pula mempengaruhi kinerja pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut. Ketika harga beberapa komoditas unggulan turun, praktis kinerja ekonomi di sejumlah wilayah tersebut juga turun. Faktanya, sejumlah daerah seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur dan Papua kinerja perekonomiannya terganggu akibat jatuhnya harga komoditas. Sebaliknya, di Jawa yang relatif tidak memiliki ketergantungan pada komoditas, kinerja perekonomiannya relatif stabil, meskipun tetap ikut terdampak oleh pelemahan kinerja perekonomian yang terjadi di daerah lainnya.
Dengan kata lain, bila kini harga sejumlah komoditas unggulan mengalami tren kenaikan itu berarti berita bagus bagi perekonomian di sejumlah daerah tersebut. Secara nasional, indikator perbaikan harga komoditas ini juga menjadi indikasi bahwa di 2017 kondisi perekonomian memiliki potensi untuk tumbuh lebih baik. Secara mikro, ekspektasi dunia usaha terkait dengan fenomena perbaikan harga-harga komoditas ini juga telah direspon oleh kalangan perbankan. Survei yang saya lakukan di di sejumlah bank-bank besar memperlihatkan ekspansi kredit untuk sektor perkebunan terlihat cukup agresif. Bahkan, di salah satu bank besar, pertumbuhan kredit komersialnya untuk sektor perkebunan mencapai di atas 70 persen (YoY). Itu artinya, dunia usaha dan perbankan, memiliki keyakinan bahwa kondisi sektor perkebunan memiliki prospek yang lebih baik di tahun mendatang.
Meskipun perekonomian di 2017 diperkirakan memiliki peluang untuk tumbuh yang lebih baik, ini tidak berarti bahwa di 2017 tidak memiliki sejumlah risiko yang dapat mengganggu prospek perbaikan tersebut. Sejumlah risiko tersebut dapat berasal dari faktor eksternal maupun internal. Risiko yang dapat terjadi dari faktor eksternal antara lain berasal dari faktor geopolitik. Salah satunya adalah faktor perubahan kepemimpinan di Amerika Serikat (AS). Sebagaimana saya tulis di harian Republika bulan lalu (28 November), pasca kemenangan Trump, arah kebijakan ekonomi AS kini memiliki dimensi ketidakpastian yang cukup tinggi. Pernyataan Trump terkait kebijakan perdagangan AS dengan Tiongkok dan kerja sama perdagangan regional menimbulkan ketidakpastian yang tinggi. Kondisi ini tentunya juga berpotensi menjadi risiko bagi Indonesia, sebab perekonomian Indonesia juga berada di antara “pusaran” AS dan Tiongkok.
Kenaikan harga minyak yang belakangan ini terjadi juga dapat menjadi risiko bagi Indonesia, khususnya risiko fiskal dan prospek harga BBM ke depan. Harga minyak mentah kini berada dalam tren yang naik, meskipun masih terbatas. Namun, sejumlah analisis menyakini bahwa pasca keputusan OPEC memangkas produksi minyak hingga 1,2 juta barel per hari (bph) ditambah juga dengan Rusia yang akan memangkas produksinya hingga 600 ribu bph berpotensi mendorong kenaikan harga minyak di atas USD50 per barel. Bahkan, terdapat pula perkiraan harga minyak bisa mencapai USD75 per barel pada kuartal III-2017 seiring dengan proyeksi akan dicapainya kondisi net demand minyak global pada saat itu.
Risiko kenaikan harga minyak ini berpotensi menjadi “ujian” bagi pemerintah sejauh mana konsistennya untuk tetap menyerahkan harga BBM sesuai dengan harga keekonomian dan menghapuskan subsidi BBM. Sebagaimana kita ketahui, sejak awal 2015, pemerintah memutuskan untuk hanya mensubsidi BBM jenis Solar sebesar Rp 1.000 per liter. Sedangkan untuk jenis BBM lainnya, harganya akan disesuaikan berdasarkan perkembangan harga minyak. Sejak September 2016 lalu, tren harga minyak mengalami kenaikan. Harga BBM untuk jenis premium semestinya mengalami kenaikan sejak Oktober lalu, namun tidak dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan harga BBM non-subsidi telah terlihat mengalami kenaikan.
Pertanyaannya, bagaimana respon pemerintah bila, misalnya, harga minyak menembus harga di atas USD60 per barel atau bahkan USD75 per barel? Apakah APBN 2017 cukup mampu menanggung tambahan beban di saat asumsi harga minyak dalam APBN 2017 hanya sebesar USD45 per barel? Atau, kenaikan subsidi BBM yang seharusnya ditanggung APBN tersebut terpaksa harus dibebankan kepada Pertamina?
Di luar risiko-risiko yang berasal dari aspek makro ekonomi tersebut, beberapa aspek yang terkait dengan isu sosial ekonomi juga dapat berpotensi menjadi risiko tersendiri bagi perekonomian. Isu-isu terkait kesenjangan ekonomi antar kelompok masyarakat dan antar wilayah mulai muncul ke permukaan. Oleh karenanya, dibutuhkan penanganan khusus, misalnya melalui penerapan kebijakan terfokus pada sasaran tertentu (affirmative policy) untuk mencegah agar isu kesenjangan ini tidak melebar. Terlebih lagi, daya serap pertumbuhan ekonomi kita terhadap kesempatan kerja diperkirakan semakin terbatas.
Selamat memasuki 2017 dengan semangat yang lebih optimis, namun tetap sadar dengan potensi risiko yang dapat terjadi.***