Oleh: DR Denny JA*
================
Setelah selesai pilkada DKI, saling serang antar pendukung kandidat, dan merebaknya isu SARA (Suku, Agama, dll) akan selesai pula. Itu semua hanyalah realitas khusus. Isu itu jangan dibaca dengan kaca mata realitas normal.
Banyak yang bertanya, mengapa dalam pilkada Jakarta banyak terjadi saling serang antar pendukung kandidat? Bahkan saling serang itu menggunakan isu SARA, termasuk agama? Akankah saling serang ini berlanjut setelah pilkada selesai?
Pilkada dan pemilu di seluruh dunia itu bisa disebut realitas khusus. Sebagaimana pertarungan tinju, pertarungan gulat, dan aneka martial art lainnya juga termasuk realitas khusus.
Norma untuk realitas khusus memang berbeda dengan norma untuk realitas normal. Dalam realitas normal, jika ada dua tokoh atau dua pendukung tokoh saling memukul kepala bahkan dengan niat untuk saling meng-KO kan, itu hal yang buruk. Membiarkan publik saling pukul secara fisik itu akan merusak keadaban.
Namun dalam pertarungan tinju, saling pukul itu memang dibolehkan. Bahkan jika masing masing pihak saling menjatuhkan, bangkit lagi, jatuh lagi, pukul lagi, dengan semangat militan dan ganas, penonton akan lebih bersorak. Game of the Year dalam pertarungan tinju justru selalu untuk pertarungan yang petinjunya sangat agresif saling menjatuhkan
Tinju adalah realitas khusus. Jangan gunakan kaca mata realitas normal untuk membaca realitas khusus.
Namun tetap ada aturan main dalam realitas khusus itu. Misalnya, siapapun dilarang memukul bagian bawah perut. Siapapun dilarang menggigit kuping, seperti yang dilakukan Mike Tyson terhadap Holyfield.
Hukuman untuk yang melanggar aturan tinju sangat keras. Mereka yang melanggar aturan, skornya dikurangi. Bahkan pertarungan bisa dihentikan. Yang melanggar akan didiskualifikasi, dan dilarang bertinju untuk sekian waktu.
Ketika Tyson menggigit kuping Holyfield, ia didiskualifikasi dan dinyatakan kalah. Untuk sekian waktu Tyson dilarang bertinju.