REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abednego Kristanto *)
Energi nuklir digunakan untuk membangkitkan listrik dan terhubung ke jaringan listrik komersial pertama kali pada tahun 1954 di Obninsk, Rusia (dulu Uni Soviet). Kemudian, pada 1956, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) komersial pertama di Calder Hall, Inggris terhubung ke jaringan listrik nasional. Berdasarkan data dari International Atomic Energy Agency (IAEA) sampai pada tanggal 4 Februari 2016, PLTN yang sedang beroperasi di seluruh dunia adalah sebanyak 442 unit, terletak di 31 negara dengan kapasitas terpasang 383.513 mW. Sementara itu, 66 PLTN masih dalam tahap pembangunan dan direncanakan akan menambah daya terpasang hingga 65.028 mW.
Dalam sejarah pengoperasian PLTN sejak tahun 1954 hingga saat ini, tercatat beberapa insiden terkait keselamatan operasional PLTN. Sebagian besar insiden tersebut termasuk dalam Design Basis Accident (DBA) dan dapat ditanggulangi secara efisien sehingga tidak berkembang menjadi kecelakaan yang fatal (severe accident). Meskipun demikian, tercatat ada dua kecelakaan fatal yang membuat PLTN diragukan sistem keselamatannya. Dua kecelakaan tersebut terjadi pada PLTN Chernobyl unit 4 pada tahun 1986 di Chernobyl, Ukraina (waktu itu masih dikuasai Uni Soviet) dan PLTN Fukushima I (Daiichi) pada tahun 2011 di Jepang.
Kecelakaan PLTN Chernobyl, 1986
PLTN berjenis RBMK (Reaktor Bolshoy Moshchnosty Kanalny, reaktor kanal berdaya tinggi) di Chernobyl ini sebenarnya beroperasi tanpa masalah sejak awal komisioningnya pada tahun 1983. Pada pagi hari, tanggal 26 April 1986, sebuah pecobaan dilakukan pada unit 4 (dari 6 unit reaktor). Tujuannya untuk mencoba menggunakan energi dari turbin setelah reaktor dimatikan secara tiba-tiba sebagai sumber energi listrik darurat untuk mendinginkan reaktor. Ironisnya, percobaan yang bertujuan meningkatkan keselamatan reaktor ini malah berakhir dengan kecelakaan nuklir terburuk sepanjang sejarah.
Kecelakaan ini berawal dari ditariknya semua batang kendali reaktor dan dibloknya semua sinyal yang dapat mengaktifkan fitur-fitur keselamatan reaktor untuk kepentingan percobaan. Hal tersebut diperburuk oleh desain reaktor (graphite moderated pressure tube type reactor) yang memang kurang memenuhi standar keselamatan. Desain RBMK memiliki koefisien reaktivitas ubalik void positif, sehingga ketika muncul gelembung udara akibat aliran pendingin yang berkurang, daya termal reaktor akan naik.
Penarikan batang kendali reaktor untuk meningkatkan daya reaktor hingga mencapai level yang diinginkan untuk kepentingan percobaan berdampak pada meningkatnya penguapan air pendingin (void formation) di bagian bawah reaktor. Hal ini kemudian menyebabkan daya reaktor terus meningkat akibat koefisien reaktivitas umpan balik void positif. Hanya dalam waktu 4 detik, daya reaktor mencapai 100 kali daya maksimal dari desain, kemudian turun beberapa saat dan naik kembali sampai 500 kali lipat. Akibatnya, bahan bakar pecah, memanaskan pendingin air di sekitarnya dan menyebabkan ledakan uap yang menghancurkan tembok beton pengungkung reaktor serta melepaskan material radioaktif ke lingkungan.
Penyebab kecelakaan PLTN Chernobyl adalah desain reaktor yang tidak memiliki fitur keselamatan memadai. Koefisien reaktivitas void positif menyebabkan kenaikan daya termal yang dihasilkan reaktor apabila muncul gelembung udara akibat penurunan kecepatan aliran pendingin. Desain batang kendali juga turut berperan dalam terjadinya kecelakaan karena memiliki waktu turun yang lambat. Kombinasi dari dua kelemahan desain itu menyebabkan reaktor menjadi tidak stabil ketika dimatikan dan dapat melelehkan bahan bakar karena panas yang terlalu tinggi. Kelemahan desain tersebut diperparah dengan budaya keselamatan staf dan operator PLTN Chernobyl yang kala itu masih rendah sehingga banyak aturan keselamatan yang diabaikan. Sistem kendali saat terjadi kecelakaan atau malfungsi yang masih sepenuhnya dilakukan oleh manusia juga terbukti dapat mengubah kecelakaan nuklir menjadi bencana.