Oleh: Djoko Edhi Abdurrahman*
Seperti dikemukakan pengacara Eggi Sudjana, negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa adalah isi UUD 45 maupun UUD 2002. Jadi, berangkatnya penafsiran Pancasila berawal dari Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya tak ada tempat untuk ateis, agnostik, sekuler, dan sejenisnya. Penafsiran ini dalam Hukum Tata Negara, menurut Supomo, yang disebut freedom of religion (kebebasan beragama dalam arti tidak boleh ada kampanye antiagama).
Ada perbedaan umum dengan pidato Megawati, yaitu Pancasila yang digunakan oleh Megawati adalah Pancasila versi 1 Juni 1945, sedang umum memakai Pancasila versi tanggal 18 Agustus 1945. Pandangan Megawati sama persis dengan Pancasila versi Achmad Basarah dalam disertasinya di Mahkamah Konstitusi bulan lalu, yaitu Pancasila 1 Juni 1945.
Saya menolak tesis 1 Juni 1945. Dan menerima Pancasila hasil penelitian Prof Yusril Ihza Mahendra, yaitu Pancasila versi 18 Agustus 1945. Perbedaannya, Pancasila versi 1 Juni 1945, Ketuhanan Yang Maha Esa berada dalam urutan kelima (sila kelima). Sedangkan versi 18 Agustus 1945, Ketuhanan Yang Maha Esa berada di urutan pertama (sila kesatu). Jika mengambil ke sebelum kemerdekaan ditemukan pula Pancasila versi Piagam Jakarta yaitu Pancasila tanggal 22 Juni 1945.
Secara legal formal, yang benar dan harus berlaku adalah Pancasila versi 18 Agustus 1945. Yang versi 1 Juni 1945 (pidato pandangan Bung Karno di BPUPKI) dan versi 22 Juni 1945 (Piagam Jakarta) tidak bisa dibaca. Sebab, yg sebelum 17 Agustus 1945 tidak memiliki status hukum karena Negara Republik Indonesia belum lahir. Acuan sekaligus rujukan adalah Pancasila 18 Agustus 1945. Pada 17 Agustus 1945 Indonesia dideklarasikan dengan launching naskah Proklamasi.