Kamis 12 Jan 2017 17:19 WIB

Jangan Ada Hoax di Antara Kita

Red: M.Iqbal
 Masyarakat dan pengiat media sosial saat mengelar kegiatan sosialisasi sekaligus deklarasi masyarakat anti-hoax di Jakarta, Ahad (8/1).
Foto: Republika/Prayogi
Masyarakat dan pengiat media sosial saat mengelar kegiatan sosialisasi sekaligus deklarasi masyarakat anti-hoax di Jakarta, Ahad (8/1).

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Heryadi Silvianto *)

Apa itu hoax? Wikipedia mendefinisikan hoax sebagai pemberitaan palsu. Situs ensiklopedia itu menyatakan hoax adalah usaha untuk menipu atau mengakali pembaca atau pendengar untuk memercayai sesuatu, padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut adalah palsu.

Mengapa kabar tidak penting itu menjadi sangat penting akhir-akhir ini? Sampai-sampai mampu membuat masyarakat gelisah dan pemerintah resah? Bahkan, pemerintah perlu berpayah-payah membuat social campaign di medium online (media sosial) dan medium offline (dunia realitas) untuk menghadapi spesies "sejenis" hoax ini.

Timbul pertanyaan, mengapa publik bisa percaya hoax? Hingga pada titik tertentu melebihi kepercayaan terhadap institusi resmi seperti media arus utama (mainstream), pemerintah bahkan universitas.

Kemudian, mengapa media arus utama seakan kepayahan menanggapi fenomena hoax ini? Padahal media-media tersebut dalam membuat pesan atau berita memerhatikan kaidah-kaidah jurnalistik. Bukankah sejatinya justru menjadi sumber rujukan dan tuntunan.

Penulis mencoba menelaah peristiwa ini dengan konsep sederhana dari proses komunikasi yang meliputi empat elemen, yaitu source (S), message (M), channel (C), dan receiver (R). Setidaknya dari formula itu, penulis memandang hoax tidak tumbuh dari ruang hampa: ada niat, ada proses, dan ada dampak. 

Sumber anonim, berwajah pantomim

Pertama kali hoax muncul tentu dari sebuah sumber. Lazimnya tidak bertuan (anonim) dan tidak bertanggung jawab.

Sifat alamiahnya memang demikian. Bisa berbentuk akun media sosial, laman, media, broadcast, hingga orang atau lembaga. Karakteristik tersebut secara simultan terafirmasi dengan pesatnya perkembangan information and communication technology (ICT) yang semakin luar biasa.

Saat ini, sumber Informasi tidak lagi bisa bermakna tunggal dan berasal dari satu pihak. Publik dihadapkan pada pilihan yang beragam, dengan 'cara pandang' informasi yang tak melulu searah. 

Hasilnya, pilihan yang beragam tersebut menciptakan gaya konsumsi baru: ojek online vs ojek konvensional, e-commerce vs pasar konvensional, aplikasi mobile vs manual dan sejenisnya. Kini secara sadar, kerja-kerja penghantar pesan tidak lagi bertumpu pada media-media mainstream.

Sebab, orang bisa secara mandiri mengakses informasi dan kemudian dalam titik ekstrem tertentu "terjebak" dengan hoax yang terserak di dunia virtual. Dokter tak bisa lagi mendiagnosis tanpa berkomunikasi dengan pasien.

Sebab pasien tidak hanya datang dengan penyakit tapi juga beragam referensi terkait gejalanya dari Google atau komunitas. Beradu berargumentasi dan berkontestasi.

Sumber-sumber hoax berkelindan di jagat maya, beririsan dengan fakta, dicampur dengan opini, dibumbui dengan asumsi, dan dipoles dengan analisis agar sempurna menjadi sebuah informasi yang seakan benar. Padahal, saat mencerna informasi itu, publik semakin menjauh dari titik epicentrum pesan aslinya (metakomunikasi).

Sumber layaknya pelakon pantomim. Tidak bicara, tapi hanya memeragakan informasi dengan maksud si pembaca menebak dan mengikuti tafsir pelakon. 

Jangan tanyakan kredibilitas sumber karena sejak awal tidak tampak dan hanya bersembunyi di balik topeng.

Pesan-pesan hoax disebarluaskan (viral) untuk menghadirkan respons publik. Penebar hoax bertujuan agar pesan dapat menggerakkan (encourage), direspons (interaction), dan dibagi (sharing). 

Pesan dibuat untuk menciptakan keresahan di tengah-tengah masyarakat dengan polesan kata-kata yang membius: bahaya, gawat, duh, dan lain sebagainya. Pesan hoax sering kali bersifat provokatif, terkadang reflektif, dan tak jarang evaluatif terhadap realitas. 

Dibuat untuk membenturkan persepsi publik dengan beragam realitas faktual. Lalu, pesan itu secara simultan mengajak penerimanya menakar dan membandingkan informasi. Hasilnya, membingungkan dan kesimpangsiuran.

Lewat smartphone

Sarana smartphone dalam medium small world kini meraja. Berdasarkan catatan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bersama PusKaKom UI melakukan survei terhadap 7.000 pengguna internet dari berbagai provinsi, dua ribu di antaranya diberikan pertanyaan yang lebih detail mengenai apa saja yang mereka lakukan dengan internet. 

Hasilnya menunjukkan pengguna internet di Indonesia hampir 85 persen mengakses internet melalui telepon seluler, 32 persen dengan laptop, 14 persen dengan PC, dan hanya 13 persen dengan tablet. Tercatat, aktivitas pengguna internet di media sosial sebanyak 129,3 juta senang berbagi informasi, 125,5 juta berdagang, dan 119,9 juta sosialisasi kebijakan pemerintah. Adapun sebaran tertinggi pengguna di Pulau Jawa sebanyak 65 persen dari total populasi.

Dari data tersebut, menunjukan bahwa smartphone sangat dominan dalam alih informasi. Berbekal aplikasi dan platform media sosial, pesan bisa berpindah dengan sangat cepat dari satu orang ke orang lain (japri), dari satu orang ke orang banyak (posting), dan dari satu orang yang berpromosi secara sukarela terkait sebuah informasi kepada publik (sharing). Ini terjadi dalam langgam virtual yang dijembatani dengan peta interaksi sel-sel 'klik' komunikasi atau simpul-simpul pesan (gate keepers).

Dengan smartphone, proses perpindahan hoax semudah membalikkan tangan, bahkan bergerak layaknya invisible hands. Daya getarnya sulit terdeteksi menjalar mengular ke ruang publik, secara personal.

Penyebaran hoax prosesnya semakin sempurna saat penerima (receivers) merelakan dirinya untuk menjadi pemantul pesan dan 'pengeras suara'. Hal ini secara internal terjadi karena penerima memiliki literasi informasi yang lemah (knowledge), konfirmasi kesamaan nilai (value confirmation), dan kepemilikan emosional terhadap isu (sense of issue). 

Secara eksternal penyebaran hoax sukses terjadi karena penerima pesan terpapar secara berulang-ulang dalam frekuensi yang tinggi. Jika penerima terperdaya secara kolektif maka hoax akan menjadi konsumsi publik secara merajalela. 

Akibatnya akan muncul gejolak dan keresahan yang masif. Sehingga dalam titik ini, penulis bisa memahami kegelisahan pemerintah. 

Ironisnya, alih-alih menyajikan perimbangan informasi, justru eksekutif merespons dalam bentuk ekspresi yang kontraproduktif akhir-akhir ini. Seperti melakukan pemblokiran situs-situs yang dianggap berbahaya, menangkap terduga makar berbekal informasi dari Google, dan menggalakkan patroli siber dari pihak keamanan berbekal Surat Kapolri "Hate speech" dan UU ITE. 

Menemukan kesimpulan, mengambil pelajaran 

Mungkinkah kita menghentikan hoax? Atau sekadar mereduksi? Secara internal, penyebaran hoax menjadi masalah karena selama ini peran institusi resmi 'dianggap' kehilangan kredibilitas dan mengalami degradasi peran. 

Karena adanya media yang partisan, akademisi yang berpihak, dan pencapaian pemangku kekuasaan yang tidak memuaskan. Tentu semua itu harus jadi bahan koreksi bagi sumber informasi 'resmi' untuk berbenah. 

Bahwa kini mereka menghadapi landscape yang berbeda, tantangannya lebih menantang. Dalam tahapan tersebut, jangankan menjadi rujukan dan penyeimbang bagi hoax. Menjadi penghasil pesan saja sering kali salah. 

Tentu situasi itu tidak bisa digeneralisir, tapi setidaknya fenomena ini terjadi karena beragam kebijakan yang dibuat minim koordinasi antarinstansi, framing, agenda setting media yang serampangan, dan penelitian yang menyesatkan. 

Semisal data tenaga kerja asing (TKA) yang simpang siur, kenaikan harga STNK dan BPKB yang tak diakui oleh pembuat kebijakan, penyebaran paham komunisme, dan lain sebagainya. Beberapa pekerjaan besar pemerintah yang tak kunjung usai.

Secara eksternal, hoax pada kenyataannya telah 'mampu' menjadi jembatan dari keresahan publik dalam memandang realitas. Berdasarkan itu, pesan palsu itu kemudian direduplikasi secara terus-menerus. 

Karena itu, diperlukan pendidikan literasi media sosial yang memadai dari seluruh pihak. Sekuat apa pun hoax menghampiri, sesungguhnya tidak akan berarti apa-apa bagi si penerima saat mampu menjaga jarak dan mengabaikannya. 

Namun, itu semua bisa terjadi sepanjang sumber informasi resmi konsisten dan komitmen dalam membangun pesan. Sepanjang informasi berbasis data, dari sumber yang bisa dipertanggungjawabkan dan analisis yang akurat maka secara jujur informasi semacam itu harus diakui tidak masuk kategori hoax. Lebih layak disebut pandangan yang berseberangan: kritik.

Terakhir, adanya hoax tidak boleh mematikan kritik dan menghentikan gagasan. Jangan membakar lumbung, untuk mematikan tikus, dengan menganggap semua yang tidak sependapat sebagai hoax. Fenomena ini justru momentum untuk kembali menghadirkan informasi yang bermartabat dan bertanggung jawab di masyarakat yang semakin dewasa.

 

*) Dosen Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement