REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Faisal*
PP 72/2016 menjadi landasan hukum bagi pemerintah untuk merealisasikan pembentukan holding BUMN meskipun Menteri BUMN Rini Soemarno menyatakan masih perlu dibuatkan kembali peraturan pemerintah (PP) yang akan mengatur lebih lanjut tentang holding berdasarkan sektoral.
Berdasarkan salinan surat Kementerian Sekretaris Negara Nomor B-03/Kemensetneg/D-1/Ekon/HK.02.02/01/2017 tanggal 6 Januari 2017, PP Nomor 72 Tahun 2016 ini telah diundangkan sejak 30 Desember 2016.
Disebut tujuan normatif hadirnya PP Nomor 72 Tahun 2016 ini untuk meningkatkan nilai dan mengoptimalkan peran BUMN sebagai agen pembangunan nasional dalam mendukung dan mempercepat program pemerintah serta meningkatkan tertib administrasi, perlu melakukan pengaturan kembali mengenai sumber penyertaan modal negara dari APBN yang dapat dijadikan penyertaan ke dalam modal BUMN dan Perseroan Terbatas dan menyempurnakan proses penatausahaan.
Sehingga perlu mengubah PP Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas.
Perubahan mendasar di antara pasal 2 dan pasal 3 disisipkan 1 (satu) pasal penambahan yakni pasal 2A yang secara garis besar merinci mekanisme penyertaan modal negara (PMN) pada BUMN ke BUMN lainnya bila terjadi penggabungan beberapa BUMN ke dalam satu holding BUMN.
PP Nomor 72 Tahun 2016 menjadi polemik semula terfokus pada pasal 2A ayat (1) yang menyebutkan setiap PMN yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN kepada BUMN dilakukan tanpa melalui mekanisme APBN, atau dapat diartikan tanpa perlu persetujuan DPR.
Kajian PP Nomor 72 Tahun 2016 memiliki dua masalah mendasar, pertama aspek formal dari keberadaan PP Nomor 72 Tahun 2016 telah melampaui perintah Undang-Undang (UU) BUMN.
Harus diakui PP Nomor 72 Tahun 2016 sifatnya hanya merubah dan menambah pasal yang ada pada PP Nomor 44 Tahun 2005. Pemerintah harus cermat PP Nomor 44 Tahun 2005 tegas dikatakan melaksanakan pasal 4 ayat (6) UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN disebutkan penyertaan dan penatausahaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan ke dalam BUMN dan/atau PT yang sebagian sahamnya dimiliki oleh negara diatur oleh PP. Artinya, pasal 4 ayat (6) UU BUMN tersebut ditujukan untuk penyertaan modal negara prihal pendirian atau penyertaan kepada BUMN.
Di situ tegas para pihaknya adalah negara kepada BUMN.
Lalu, mengapa kemudian, di dalam Pasal 2A PP Nomor 72 Tahun 2016 mengatur mekanisme penyertaan modal negara berupa saham milik negara pada BUMN kepada BUMN. Bukankah ini melampaui bahkan melemahkan perintah dari UU BUMN Pasal 4 ayat (6).
Apalagi, tujuan dan fungsi PP dibuat untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam UU yang tegas-tegas menyebutnya sebagaimana diatur pasal 12 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang undangan yang berbunyi “materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan undang-undang sebagai mana mestinya”.
Yang dimaksud “sebagai mana mestinya” adalah materi muatan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan.
Dalam konteks ini jelas sekali hadirnya PP Nomor 72 Tahun 2016 yang mengubah PP Nomor 44 Tahun 2005, di mana PP 44/2005 melaksanakan Pasal 4 ayat (6) UU BUMN yang tidak sama sekali memerintahkan penyertaan modal negara (PMN) pada BUMN kepada BUMN. Anehnya mengapa diatur demikian dalam pasal 2A PP Nomor 72 Tahun 2016.
Dalam aspek formal PP Nomor 72 Tahun 2016 tidak bisa semata mata demi kepentingan meningkatkan nilai dan mengoptimalkan peran BUMN demi pembangunan nasional kemudian mengesampingkan spirit awal dari PP Nomor 44 Tahun 2005 yang hendak melaksanakan pasal 4 ayat (6) UU BUMN.
Jelas pemerintah kurang cermat bahkan melampaui dan melemahkan perintah UU BUMN.
Kemudian, kelemahan kedua terletak aspek peran kelembagaan DPR ditiadakan karena alasan alasan 2A ayat (1) PP 72/2016 disebutkan "Penyertaan Modal Negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN atau PT sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) huruf d kepada BUMN atau Perseroan Terbatas lain, dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme APBN "
Penambahan klausul saham milik negara pada BUMN/PT sebagai salah satu sumber penyertaan modal negara berasal dari APBN pada pasal 2 ayat (2) huruf d PP Nomor 72 Tahun 2016 menyebabkan overlapping atau tumpang tindih kewenangan yang seharusnya jika ditinjau pada perintah pasal 4 ayat (6) hanya berfokus pada modal negara yang berasal dari APBN di mana mekanismenya harus melalui persetujuan DPR.
Kesimpulan yang ingin dikatakan di sini PP Nomor 72 Tahun 2016 telah menghilangkan peran DPR yang semula ada pada Pasal 4 ayat (6) UU BUMN untuk dilaksanakan melalui PP. Harusnya PP Nomor 72 Tahun 2016 lebih memperkuat mekanisme bagaimana menjalankan Pasal 4 ayat (6) UU BUMN melalui persetujuan DPR, bukannya malah menghilangkan peran DPR dengan memasukkan klausul saham BUMN termasuk dalam modal negara yang berasal dari APBN.
Pemerintah harus memerhatikan bahwa kekayaan negara dan keuangan negara merupakan bagian yang tidak dapat begitu saja dipisahkan dari mekanisme APBN yang dijamin secara konstitusional dalam pasal 23 UUD 1945 yang penjabarannya diatur dalam UU tentang Keuangan Negara, UU BUMN, dan UU Perbendaharaan Negara.
Potensi PP Nomor 72 Tahun 2016 berpotensi menabrak norma yang diperintahkan UU BUMN bahkan dapat saja inkonstitusional karena tidak sesuai dengan spirit pasal 23 UUD 1945 yang justru belakangan PP tersebut meniadakan peran DPR dalam konteks PMN pada BUMN kepada BUMN tanpa melalui mekanisme APBN, jelas ini melampaui perintah UU BUMN.
*Ketua PP Pemuda Muhammadiyah
Bidang Hukum, HAM, dan Advokasi Publik.