Sabtu 28 Jan 2017 10:18 WIB
Mengenang Sembilan Tahun Wafatnya Soeharto

Kisah Empat Jam Melayat ke Cendana

Suharto di Papua, 27 september 1969
Foto: Gahetna.nl
Suharto di Papua, 27 september 1969

Oleh Abdullah Sammy

Tayangan televisi siang itu mendadak membuat saya terpaku. Bait demi bait kata dari si pembawa acara membuat saya tersentak.

"Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rooji'un. Indonesia berduka. Presiden kedua Haji Muhammad Soeharto menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit Pertamina sekitar pukul 13.10 WIB," begitu ucapan seorang pembawa acara Breaking News yang mendadak menghentikan sebuah tayangan acara hiburan di salah satu televisi swasta.

Kala itu waktu menunjukkan hari Ahad 27 Januari 2008. Terlintas dalam pikiran saya yang masih berstatus mahasiswa jurusan Sejarah bahwa hari itu adalah salah satu hari paling bersejarah bagi Indonesia.

Sebab ini adalah saat melepas salah satu tokoh terpenting dalam sejarah bangsa ini. Suka atau tidak suka, Pak Harto adalah orang yang terlibat dalam sejumlah peristiwa krusial pada perjalanan sejarah bangsa kita. Mulai dari era perjuangan kemerdekaan, Serangan Umum 1 Maret, peristiwa G30SPKI, Supersemar, Malari, hingga reformasi.

Pikiran saya tak terjebak dalam framming kesalahan atau jasa dari Pak Harto semasa hidupnya. Kala itu yang ada di pikiran saya adalah keinginan untuk menjadi saksi sejarah atas peristiwa wafatnya tokoh besar dalam Republik ini.

Karena itu, beberapa saat setelah mendengar kabar wafatnya Pak Harto, yang ada di kepala saya hanya kata, 'Cendana.' Ya, saya harus segera berangkat ke Cendana untuk melihat, mengamati, sekaligus melepas berpulangnya tokoh penting dalam sejarah. Sebab saya sadar, kisah ini bisa saya tulis kelak sebagai kesaksian mengenai bab akhir seorang Soeharto.

Kini setelah peristiwa itu berlalu delapan tahun, saya berkesempatan menuliskan kesaksian itu.

Setelah menyaksikan tayangan di televisi mengenai kabar meninggalkan Pak Harto, saya segera mengambil ponsel. Ponsel itu langsung menghubungkan saya dengan kawan bernama Ivan Aulia Ahsan

Saya tahu, kawan saya itu sejak kecil adalah pengagum seorang Soeharto. Bahkan saat pertama kali masuk sebagai mahasiswa baru jurusan Sejarah, Ivan secara lantang mengungkapkan bahwa salah satu tokoh yang paling dia kagumi adalah Pak Harto.

Singkat cerita, saya pun mengatur rencana dengan Ivan untuk datang langsung ke Cendana. Dengan sepeda motor, saya langsung memacu kendaraan dari kawasan Kebayoran Baru menuju Cendana. Saya mengatur janji dengan Ivan untuk berjumpa di depan pintu masuk Jalan Cendana.

Saat memasuki kawasan Menteng, mobil militer maupun auman sirine mulai nyaring terdengar. Memang, kala itu, jenazah Pak Harto baru beberapa saat sampai di rumah yang selama ini jadi simbol kekuasaannya.

Laju motor saya berhenti 100 meter sebelum kediaman Pak Harto. Sebab tentara sudah berjaga dan tak mengizinkan lagi kendaraan masuk lebih dekat. Akhirnya motor saya parkir di trotoar jalan Tanjung, sekitar 100 meter dari rumah duka.

Beberapa saat setelah memarkir, saya mendapati penampakan wajah Ivan. Saya datang dengan kopiah putih plus baju koko. Sedangkan Ivan juga meakai baju muslim tapi minus kopiah.

Langkah kami berdua segera menuju ke gerbang rumah sang presiden kedua Republik Indonesia. Tapi langkah kami ternyata tertahan tepat di gerbang.

Sebab ternyata antusiasme warga dan masyarakat yang ingin melayat teramat besar. Waktu saat itu menunjukkan sekitar pukul 18.00 WIB.

Selama 15 menit, saya dan Ivan membaur bersama warga yang berdesakan di gerbang Cendana. Saat itu, harapan untuk masuk dan melihat langsung jenazah sang presiden Kedua mulai meluntur.

Di dalam hati saya berkata, mungkin memang nasib saya dan Ivan hanya bisa sampai di depan gerbang. Tapi momen berikutnya sungguh tak disangka. Momen yang kemudian mengantarkan saya dan Ivan menjadi saksi detik-detik bersejarah.

Dan, di tengah harapan yang mulai menipis untuk bisa malayat langsung ke dalam rumah Pak Harto, tiba-tiba seorang Paspampres menarik saya masuk. Penyebabnya, saya memakai baju muslim lengkap dan kopiah putih.

"Hanya yang pakai peci dan baju koko yang boleh masuk," kata sang Paspampres dengan postur tinggi tegap. Mendadak saya mengacugkan tangan di tengah kerumunan. Tangan saya pun langsung ditarik pria berbaju militer itu.

Saya pun mengajak Ivan yang juga mengenakan pakaian muslim. Tapi hanya saya yang diperbolehkan masuk saat itu. Sementara Ivan tertahan untuk sesaat di depan gerbang karena belum diperkenankan oleh Paspampres.

Saat kaki saya masuk ke perkarangan halaman depan Cendana, rasa lega bercampur penasaran mulai terasa. Sebab inilah kali pertama dalam hidup saya masuk langsung ke rumah yang salama 32 tahun menjadi simbol kekuasaan di Indonesia.

Di sisi lain, ada sedikit rasa gugup untuk berhadapan muka dengan Pak Harto. Selama hidup, saya hanya menyaksikan wajah dan suara presiden kedua ini via layar kaca.

Tak terbayangkan bagi saya untuk bertemu pertama kalinya. Walau pertemuan itu terjadi saat tubuh Pak Harto sudah menjadi jenazah. Hal itu semakin membuat saya sedikit gugup.

Tanpa terasa, langkah saya diarahkan secara cepat oleh sejumlah petugas untuk segera masuk ke ruang tengah Cendana. Permadani merah nan empuk terasa di kaki begitu melangkah masuk ke ruang tamu.

Tanpa terasa, saya sudah berada di ruang tengah. Di hadapan kedua mata saya, jenazah sang presiden kedua sedang disemayamkan dengan ditutupi kain kafan putih. Di samping jenazah Pak Harto, ada seorang pria yang sedang duduk dengan kepala tertunduk. Saya tak begitu melihat secara jelas siapakah sosok itu.

Sejenak, suasana khidmat saya rasakan. Selama beberapa saat, saya hanya terpaku mengamati suasana, tanpa tahu saya harus melakukan apa.

Tiba-tiba, orang di belakang menepuk pundak saya. Dari pakaiannya, dia tampak seperti seorang ulama. Turut datang bersamanya beberapa pria berbaju batik.

Dia meminta saya untuk sedikit mundur karena ingin melakukan salat jenazah. Saya pun melangkah mundur, mempersilakannya untuk jadi imam salat. Saya lantas turut menjadi makmumnya.

Hanya selama semenit salat pun usai. Usai salat, pandangan saya teralihkan melihat sosok anak prempuan Pak Harto, Siti Hutami Endang Adiningsih, atau Mamiek Soeharto yang tengah berjalan mendekat ke arah jenazah. Mata putri bungsu Pak Harto itu tampak sembab. Segera saya menyalami Mamiek.

Saat itu, saya akhirnya baru melihat secara jelas sosok yang sejak awal duduk tertunduk di dekat jenazah presiden kedua Indonesia itu. Dia tak lain adalah sang anak bungsu, Tommy Soeharto.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement