Oleh: Teguh Setiawan
Bertemu seorang ibu yang sekian lama tinggal di London, ibu kota Inggris. Dia cerita banyak hal yang tidak saya ketahui.
"Orang kaya di London itu jika tidak Yahudi, ya keturunan imigran, dan imigran dari Ukriana, Rusia, dan Timur Tengah," katanya.
Saya hanya ingin mendengar, tidak berusaha meresponsnya dengan cepat.
"Orang London-nya, miskin-miskin.Berdesakan di apartemen murah dan kumuh," lanjutnya.
Kali ini saya angkat bicara. "Jakarta sedang menuju ke sana," saya memulai.
"Orang miskin Jakarta sedang berusaha 'diangkat ke atas', alias dipindahkan dari permukiman kumuh di bantaran kali, kolong-kolong jembatan, dan urat nadi Jakarta, ke apartemen," saya melanjutkan.
Si ibu berusaha menyimak. Ia manggut-manggut. Hanya sesekali menimpali pernyataan saya.
"Orang-orang miskin yang dipindahkan ke apartemen tidak akan pernah disejahterakan.
Mereka akan tetap menjadi nenek moyang buruh murah bagi Jakarta masa depan," kata saya lagi.
"Penghuni Jakarta masa depan adalah mereka yang mampu membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) sebesar gaji buruh murah satu tahun. Mereka bukan pribumi Jakarta, tapi warga keturunan dan (mungkin) imigran," lanjut saya.
"Arahnya memang ke situ," Si Ibu merespons cepat.
"Jakarta masa depan adalah kota tanpa orang miskin yang berserak di jalan-jalan, pinggir sungai, sisi rel kereta api. Jakarta masa depan adalah kota modern dengan orang miskin yang disembunyikan, tanpa disejahterakan karena berfungsi sebagai penyedia buruh murah, pekerja kasar dan kotor yang melayani orang-orang kaya kota," saya berorasi.
Tak terasa waktu kian sore. Si Ibu meminta diri seraya berkata; "Semoga kita bertemu lagi untuk lebih banyak berbicara."
*Teguh Setiawan, Jurnalis Senior