Oleh: Muhammad Fakhruddin*
Di pengujung malam pergantian tahun saya berkesempatan mendengarkan obrolan ringan Kiai Ma'ruf Amin di ruang VVIP Masjid at-Tiin, sebelum ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat ini naik mimbar memberi tausiyah di acara zikir akhir tahun yang digelar Harian Umum Republika. Saya yang kebetulan hadir di situ ikut penasaran ingin mendengarkan cerita-cerita di balik layar yang dialami Kiai Ma'ruf akhir-akhir ini.
Apalagi, Kiai Ma'ruf termasuk sosok yang jarang tampil langsung di layar kaca maupun di hadapan publik sejak bergulir kasus dugaan penistaan agama oleh terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Kecuali, saat konferensi pers resmi di MUI, Kiai Ma'ruf tidak turun ke jalan memimpin langsung aksi damai bela Islam 411 maupun 212.
Padahal, bisa dibilang Kiai Ma'ruf sebagai ketum MUI Pusat merupakan tokoh utama dikeluarkannya pernyataan sikap MUI terkait pidato Ahok di Pulau Seribu yang dianggap menistakan Alquran dan ulama. Sampai-sampai saya berpikir kalau aksi-aksi ini tidak mendapat restu Kiai Ma'ruf.
Kiai Ma'ruf pun cenderung diam ketika MUI menghadapi 'serangan', hujatan, dan makian yang bertubi-tubi di sosial media setelah dikeluarkannya surat pernyataan tersebut. Bahkan, ketika 'serangan' tersebut dialamatkan langsung kepadanya untuk membunuh karakternya dan kredibilitas lembaga yang dia pimpin. Kiai juga seperti tidak meladeni pernyataan-pernyataan pedas dari pejabat maupun aparat terkait fatwa MUI.
Namun, Kiai Ma'ruf ternyata tidak tinggal diam di tengah perjuangan umat mengawal Fatwa MUI. Kiai Ma'ruf juga membuka ruang dialog bagi siapa saja terkait sikap lembaga yang dipimpinnya, baik itu pejabat, aparat, hingga presiden. Bahkan, Kiai Ma'ruf beberapa kali menjadi penengah antara pengawal fatwa dengan aparat. Misalnya, menjelang aksi damai 212. Bahkan, dengan tangan terbuka Kiai Ma'ruf menerima ajakan Kapolri Tito Karnavian untuk menggelar konferensi pers bersama. Seolah ikut arus tapi tak terbawa arus. Malah, menurut dia, aparat justru membantu menyosialisasikan fatwa-fatwa MUI.
Kiai Ma'ruf menghadapi dengan tenang resistansi sejumlah pejabat dan aparat hingga sekelompok orang yang menaruh curiga dengan aksi-aksi superdamai bela Islam, yang menganggap aksi tersebut sebagai bentuk intoleransi, antikebinekaan, dan melawan NKRI. Cicit Syekh Nawawi al-Banteni ini tetap tersenyum menanggapi tudingan yang ahistoris tersebut.
Di antara banyak cerita blak-blakannya kiai malam itu, yang masih terngiang jelas di telinga saya hingga saat ini ketika kiai berpendapat aksi-aksi superdamai ini, sebagai momentum kebangkitan kedua ulama. Lho, kok sudah yang kedua saja, kapan yang pertamanya Kiai? Yang pertama, menurut dia, kebangkitan para ulama dahulu melawan kekejaman penjajah, yang kemudian diklaim sebagai kebangkitan nasional.
Ketika kebangkitan pertama ulama dahulu lebih menitikberatkan pada perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan penjajah, maka menurut dia, kebangkitan kedua ulama kali ini menitikberatkan pada sektor ekonomi. Kendati hari mulai larut malam saat itu, Kiai Ma'ruf masih semangat mengungkapkan rencana-rencana pada 2017 untuk penguatan ekonomi umat. Antara lain, mewujudkan sentra-sentra pemberdayaan ekonomi umat berbasis pesantren.
Lantas, ketika kiai kembali dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan dirinya selama sekitar tujuh jam di persidangan dugaan penistaan agama kemarin, tapi kemudian di luar persidangan Kiai Ma'ruf cenderung diam, kini saya mulai paham. Ketika kiai sudah memaafkan Ahok bahkan sebelum Ahok minta maaf, saya tambah paham.
Tampaknya, kiai masih menaruh harapan pada proses persidangan hingga keluar keputusan yang adil dan tidak ingin membuang-buang energi untuk meladeni mereka dengan bersilat lidah di luar persidangan. Kiai lebih memilih fokus memikirkan agenda kedepan untuk kemaslahatan umat dan bangsa yang lebih penting lagi. Tetapi kalau haters dan hoaxers terus nyiyir terhadap perjuangan Kiai, di situ saya gagal paham.
Jadi, bila dahulu kakek buyutnya menggerakkan kebangkitan ulama pada awal abad ke-20, selang sekitar seratus tahun kemudian sang cicit kini meneruskan jejaknya. Estafet dan panji kebangkitan ulama kini digenggam kiai pengasuh pondok pesantren dari Tanara, Banten.
Karamah Syekh Nawawi Al-Bantani kini menurun kepadanya…!
*Muhammad Fakhruddin, Jurnalis Republika