Oleh: M Amien Rais*
"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," demikian bunyi pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
Pasal ini sudah demikian jelas, demikian terang benderang, tidak ber-wayuh arti dan interpretasi bahwa seluruh kekayaan alam (natural resources) yang berada dalam perut bumi, di berbagai bukit dan gunung-gunung, di atas tanah yang berupa hutan dan di dalam air yang berupa hasil-hasil sungai, danau, dan lautan di seluruh Indonesia harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sejak awal Orde Baru kita semua sudah bertekad untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Murni berarti bahwa kita memegang teguh jiwa dan aksara pasal demi pasal UUD 1945 serta melaksanakannya dengan segenap kemampuan. Konsekuen berarti bahwa setiap rintangan dan halangan yang mengadang pelaksanaan konstitusi harus kita atasi secara tegas. Demikian juga tidak boleh kita menutup-tutupi kebenaran dengan kebatilan dan menyembunyikan kebenaran dari mata rakyat, sementara kita mengetahui apa yang sedang kita perbuat.
Penjelasan atas pasal 33 itu, antara lain, menyatakan "kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang". Kata-kata "bukan kemakmuran orang-seorang" itu ditulis dengan huruf tebal. Juga diuraikan dalam penjelasan UUD 1945 itu bahwa negara harus menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menentukan hidup orang banyak. "Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasnya."
Karena itu, ketika saya membaca berita di koran bahwa ladang emas di Busang, Kalimantan Timur, oleh pemerintah diserahkan kepada dua perusahaan Kanada dengan penguasaan saham sebesar 90 persen, perasaan keadilan saya benar-benar memberontak. Pemerintah Indonesia sendiri merasa cukup dengan 10 persen pemilikan saham. Sejak kapan konstitusi kita menyuruh kita mempersilakan pihak asing untuk mengeruk kekayaan bangsa dengan menyisakan sepersepuluh hasil buat kita sendiri? Di pasal apa dan ayat mana kita diamanati konstitusi untuk berbuat seperti itu?
Bila kita belum punya modal dan keahlian untuk menambang emas, perak, tembaga, nikel, baja, timah, dan seterusnya, mengapa tidak kita biarkan dahulu kekayaan kita itu tetap tinggal di perut bumi dan di gunung-gunung Indonesia? Apa artinya sepersepuluh bagian untuk kita, sementara kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh pertambangan juga sangat berat dengan biaya sosial (social cost) yang kelewat mahal?
Apa urgensi kita mendesak-desak dua perusahaan Kanada untuk segera menyelesaikan 'sengketa' mereka dan supaya segera mereka dapat menguliti dan mengelupasi dalam-dalam kekayaan alam kita? Kekayaan yang semestinya untuk anak cucu kita di abad 21 nanti? Marilah kitarenungkan dalam-dalam masalah ini. Bukankah sikap kita yang aneh itu bertentangan dengan amanat konstitusi kita? Dus, inkonstitusional dan bahkan antikonstitusional?
Bisakah kita mengambil pelajaran dari PT Freeport Indonesia di Irian Jaya? Perusahaan tambang Amerika ini sejak 1973 telah menambang emas, perak, dan tembaga di Irian Jaya. Sekarang ini setiap hari, secara harfiah setiap hari, 125 ribu ton bijih tambang diruntuhkan dari gunung-gunung di Pegunungan Jaya Wijaya. Dari jumlah bijih tambang sekian itu, diperoleh konsentrat sekitar 6.000 ton. Setiap ton konsentrat mengandung 300 kilogram tembaga, 60 gram perak, dan 30 gram emas.
Walhasil, selama seperempat abad, kekayaan bangsa yagn sudah digotong ke luar negeri kurang lebih 1.620 ton emas, 3.240 ton perak, dan 162 juta ton tembaga. Sekian ton emas itu, kalau dirupiahkan dengan harga sekarang, bernilai lebih dari Rp 400 triliun. Belum nilai perak dan tembaganya yang tentu lebih besar lagi. Tahun 1991, Freeport sudah mengantongi izin penambangan lagi untuk masa 30 tahun ditambah dua kali sepuluh tahun (dus, setengah abad) dengan wilayah eksploitasi yang lebih luas lagi. Masya Allah!
Mau dibawa ke manakah Indonesia yang kita cintai bersama? Barang kali kita dapat mengambil satu sisi positif dari Orde Lama yang kita kutukitu. Seingat saya, dahulu Bung Karno dan Chairul Saleh pernah mencoba mendorong keluarnya sebuah perundang-undangan yang cukup patriotik. Seingat saya, undang-undang itu menetapkan barang tambang menjadi milik negara. Bila kita terpaksa menggunakan pihak asing, pihak asing itu kita ikat dengan kontrak kerja. Pihak asing itu, sebagai kontraktor, memperoleh maksimal 15 persen dari hasil tambang kita.
Produk undang-undang di zaman Orde Lama itu agaknya lebih bagus buat kepentingan bangsa. Saya bermimpi semoga pemerintah kita hasil SU MPR 1998 nanti dapat meninjau kembali seluruh izin yang sekarang ini kita berikan kepada pihak asing untuk memompa keluar kekayaan bangsa secara amiensemena-mena. Mari kita laksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
* Resonansi ini terbit pada Kamis 9 Januari 1997 di Harian Republika. Redaksi sudah meminta izin Amien Rais untuk pemuatan ulangnya hari ini. Redaksi berpendapat isi resonansi ini, walaupun sudah berumur 20 tahun, masih amat relevan dan penting.