REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Harri Ash Shiddiqie *)
Hampir seratus tahun yang lalu Charlie Chaplin menyindir, dalam film ia bekerja di pabrik, monoton memindahkan barang dari satu titik ke titik yang lain, berkejar-kejaran dengan mesin ban berjalan. Keluar dari pabrik, tangannya terus saja bergerak seperti ketika di dalam pabrik. Manusia berperilaku mesin.
Meski disindir, tetap ada yang menginginkan seseorang bisa hebat dan sekuat mesin. Bahkan serial TV 40 tahun lalu, “Six Million Dollar Man”, kini sedang dibuat dalam layar lebar. Kabarnya dirilis Desember 2017.
Sekitar 15 tahun setelah sindiran Chaplin, tepatnya 1950, Isaac Asimov menerbitkan novel tentang robot. Di situ melonjak keinginan para ahli masa depan, kebalikan dari sindiran Chaplin: membuat robot humanoid, sosok mesin berperilaku manusia .
***
Sepuluh tahun setelah Asimov menerbitkan novelnya, berkembang studi baru, mekatronika. Di sana ada mekanika, elektronika dan informatika. Hari ini ilmu itu sudah ada di mana-mana, mulai dari smartphone yang berkamera dengan sistem optiknya, sampai pabrik yang memproduksi mobil satu varian sebanyak 500 unit setiap hari.
Pekerjaan itu bisa selesai karena lengan-lengan robot mekatronika yang bekerja lincah, akurat, cepat, serta handal menempelkan potongan logam lalu mengelasnya membentuk pintu. Membuat lubang dengan tepat sehingga tuas masuk, berikutnya pintu bergerak dengan nyaman. Tidak miring, tidak perlu diganjal apalagi harus dipukul dengan palu besar.
Ribuan botol minuman coca cola, green tea, teh Sosro, tidak mungkin diisi dengan gayung yang dituangkan manusia. Meski tidak berupa lengan, sistem mekatronika mengatur agar botol berjalan, lalu diam tepat di tempat yang telah ditentukan, diisi minuman sesuai program. Tak ada yang berisi hanya setengah, dan tidak ada yang berkelebihan lalu tumpah.
Informatika memberi sentuhan lebih hebat. Kecerdasan buatan memungkinkan robot mengolah data yang dimasukkan. Ketika seseorang berbicara di depan robot “Aku sedih sekali”, dan ucapan itu diulang 2 atau 3 kali, komputer robot akan mengolah frekwensinya, intonasi dan amplitudonya, juga mengolah warna suaranya, sampai harmonisa gelombang yang dihasilkan. Data-data itu disimpan dalam memori. Robot lalu di program, bila ia mendengar kata-kata sedemikian, sang robot menitikkan air mata, tanda ikut simpati kepada orang yang mencurahkan perasaannya.
***
Film yang fenomenal tentang robot humanoid adalah Artificial Intelligence (AI) diproduksi tahun 2001, film ini meraup keuntungan lebih dari 100 juta dolar. Sebelumnya Film Bicentennial Man (BM). Memang banyak fiksi ilmiah baik novel maupun film yang telah diluncurkan. Umumnya berupa makhluk planet lain atau petualangan angkasa luar. Tetapi film tentang robot humanoid tetap menjadi obsesi, karena di sana ada janji imajinasi bagaimana merekayasa kehidupan. Bukankah membuat kehidupan berarti mengeliminir kematian yang selalu misterius dan menakutkan?
Pada film BM, robot dibeli untuk melayani dan menemani keluarga di rumah. Di akhir cerita BM, robot humanoid telah belajar menggunakan perasaan, karena ia menemani hidup keluarga yang silih berganti sampai hampir 4 generasi, membuat ia seperti merasa jatuh cinta dengan keluarga. Mengikuti pergantian generasi, karena sebagai mesin ia tidak bisa mati, robot humanoid ini bingung dengan peristiwa kematian, di sana ada tangis dan kesedihan.
AI menceritakan, sebuah keluarga yang putranya terserang virus sintetis, sehingga berada di rumah sakit. Sang ayah menghibur istrinya dengan mendatangkan robot anak. Sistem informatika membuat robot ini seperti anak manusia biasa, bermain, berteriak, bertanya, dan tertawa. Ketika anak yang sesungguhnya telah sembuh dan tidak menyukai “saudaranya”. Robot lalu ditinggalkan sendirian di tengah hutan. Si robot lalu berdoa, berharap bertemu dengan bidadari biru yang punya tongkat ajaib berharap menjadikan dirinya manusia sungguhan.
Tampaknya, semua penulis naskah film fiksi ilmiah selalu terbentur pada fakta, bahwa sehebat apapun sebuah mesin, meski bisa berpikir logis lalu mengambil keputusan berdasarkan logika, robot tetap tidak bisa menjadi manusia. Kalaupun dikisahkan jatuh cinta atau berdoa, itu cuma gambaran terakhir dari pembuat cerita, bahwa robot tetaplah robot, ia mesin yang tak bisa berkeringat dan buang air besar.
Memang robot bisa berdoa, deretan kata yang dicapkan, intonasi memelas yang menyayat hati sampai pada air mata yang menetes, itu keluar berdasar program, berdasar instruksi pabrik pembuatnya. Tidak berasal dari dada yang penuh rindu atau perih karena kenestapaan.
Komputer memang memiliki memori (unit pengingat), juga memiliki algoritma (dari bahasa arab seperti juga al-jabar) yang akan menyelesaian perhitungan, pemrosesan data sampai penalaran otomatis pada bagian Arithmatic Logical Unit (ALU). Sehebat apapun robot dengan mekatronikanya, mereka tidak punya hati.
***
Berbahagialah kita diciptakan menjadi manusia, bisa berpikir logis bahwa 3 ditambah 5 sama dengan 8. Tetapi juga bisa jatuh cinta, punya kemesraan dengan keluarga dan bisa sedih karena kematian dan bergembira ketika ada kelahiran.
Ketika kita muda, menjadi bagian dari sepasang kekasih, suatu saat saling melambaikan tangan karena berpisah, itu duka, di sana berkembang rasa rindu berupa tikaman yang menyiksa, tapi bagi yang pernah jatuh cinta, pasti tahu: Rindu itu indah. Tepat apa yang dikatakan Sheakespeare : Perpisahan adalah duka yang manis. Di sisi ini, mesin robot humanoid tak akan mengalaminya.
Hidup yang kita miliki hari ini adalah anugerah Allah yang tak terkira. Bukan hanya cinta dan rindu, tapi juga kenangan, mesra, harapan..... dan entah apalagi yang kita tak akan pernah bisa menghitungnya apalagi mendisainnya.
Ya, Allah jadikan kami orang-orang yang selalu bersyukur kepada-Mu. Amin.
*) Dosen di Jember.