REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Radityo Handrito *)
Perlahan tapi pasti, persaingan angkutan umum offline dan angkutan umum online secara luas mulai terjadi di luar Ibu Kota. Pada pekan lalu, konflik antarmoda transportasi tersebut terjadi di Kota Medan (Sumatra Utara) dan di Kota Malang (Jawa Timur).
Di Kota Malang, para sopir angkutan umum melakukan aksi unjuk rasa dan menghentikan layanan. Imbasnya, calon penumpang terlantar dan dirugikan. Di sisi lain, kekhawatiran para sopir angkot akan menurunnya penghasilan dapat dimaklumi mengingat itu terkait keberlangsungan hidup mereka. Kejadian tersebut tidak boleh terulang dan pemerintah diharapkan segera memberikan solusi bagi semua pihak.
Khusus di Kota Malang, masalah persaingan dalam usaha angkutan umum bukan hanya terjadi kali ini saja. Kejadian serupa tercatat sudah berlangsung dalam tiga dekade terakhir. Tentu kita masing ingat kejadian saat becak digantikan bemo, saat bemo digantikan mikrolet, bemo dan dokar dilarang masuk wilayah kota, ditentangnya perusahaan taksi nasional saat akan beroperasi, mikrolet disaingi oleh sepeda motor, hingga kejadian terakhir kemarin.
Semua kejadian tersebut memiliki kesamaan; pelaku model transportasi lama melakukan protes dan perlahan mengalami kekalahan hingga akhirnya tergantikan dengan model transportasi baru. Perubahan adalah sebuah keniscayaan dan pemenang atas perubahan adalah siapa yang mampu beradaptasi lebih cepat dalam menjawab perubahan. Pola pikir monopolistis para penyedia angkutan umum harus diganti menjadi pola pikir untuk menyediakan layanan terbaik bagi penumpang.
Pemerintah Kota Malang dan para pemilik angkutan umum (taksi maupun mikrolet) harus jujur mengakui bahwa layanannya sudah tidak memenuhi kebutuhan para penumpang. Armada mikrolet yang usang, tempat duduk yang tidak nyaman, waktu pelayanan yang tidak menentu, perilaku ugal-ugalan beberapa oknum sopir, hingga kebiasaan ngetem merupakan rahasia umum yang menjadi alasan utama para calon penumpang mikrolet berpindah ke moda transportasi alternatif.
Pun begitu pula dengan taksi. Meskipun ada bermacam-macam merek taksi, penumpang tidak dapat memilih taksi dengan kualitas terbaik karena pelayanan taksi dilakukan dengan sistem giliran oleh para sopir taksi di pangkalan. Pesan melalui telepon pun tidak memberikan pilihan yang lebih baik. Penumpang yang bertahan banyak dilandasi karena alasan keterpaksaan.
Di berbagai belahan dunia, kondisi buruk sarana angkutan umum secara alami memberikan peluang bagi para pendatang baru untuk menyediakan pilihan angkutan umum yang lebih baik. Hasilnya, muncullah Uber, Grab, Gojek, dan sejenisnya. Apakah transportasi Kota Malang akan mengikuti nasib yang sama?. Saya pikir tidak demikian.
Dalam menyelesaikan permasalahan angkutan umum, kita harus banyak belajar dan mencari inspirasi dari berbagai daerah bahkan sampai ke luar negeri. Sampai saat ini, belum ada satu model transportasi terbaik yang dapat diterapkan di seluruh daerah di Indonesia karena setiap daerah memiliki kondisi lingkungan yang berbeda. Oleh karena itu, setiap pemerintah daerah harus kreatif dalam menyelesaikan masalah angkutan umum di setiap daerahnya.
Kesuksesan pemerintah DKI Jakarta dengan Transjakarta sulit untuk diterapkan di Kota Malang. Aplikasi trem dalam kota juga sudah terlambat untuk diterapkan kembali dalam kondisi tata kota saat ini. Untuk meminimalisir konflik, solusi dapat dimulai dengan mengoptimalkan infrastruktur dan fasilitas yang sudah ada. Konsep utamanya adalah Pemerintah Kota Malang bersama dengan Organda maupun para pemilik angkutan umum harus bersinergi daripada saling bersaing.
Karena faktor penting dalam jasa transportasi umum adalah kenyamanan, keamanan, dan ketepatan waktu, saya menyarankan model bisnis baru dengan pola konsorsium pemilik mikrolet di bawah satu manajemen. Pentingnya pembentukan satu manajemen adalah tercapainya standardisasi layanan mikrolet; jumlah jalur, kondisi armada, kualifikasi sopir, tarif angkutan, ketepatan waktu pelayanan, hingga pencatatan keuangan. Para pemilik angkot dilibatkan sebagai pemilik saham, sopir angkot diberikan pelatihan, pengelola konsorsium terdiri dari berbagai elemen masyarakat, dan Pemerintah Kota Malang bertindak sebagai pengawas dan penjamin.
Standar pelayanan yang harus dipenuhi antara lain: setiap armada harus berhenti tepat waktu di setiap pos pemberhentian di sepanjang jalur operasional, kondisi angkot harus layak, sopir mendapat gaji tetap sehingga tidak saling berebut penumpang, dan tarif terjangkau yang tidak membebani penumpang sekaligus tidak merugikan pemilik saham.
Di sinilah fungsi Pemerintah Kota Malang sebagai penjamin dan diharapkan dapat mengoptimalkan anggaran dan akses keuangan untuk kemasalahatan masyarakat. Model bisnis tersebut akan memberikan peluang yang adil bagi armada taksi karena masih ada wilayah yang tidak dijangkau oleh mikrolet dan keberadaan konsumen kelas menengah atas.
Model bisnis tersebut menawarkan keuntungan; para pemilik angkot tidak akan dirugikan; sopir mikrolet tidak akan kehilangan pekerjaan, mikrolet menjadi pilihan utama, dan kemacetan akan berkurang. Daripada melakukan penolakan melalui cara protes, lebih baik kita jawab dengan pelayanan transportasi yang lebih baik.
Perlu dilakukan kajian terintegrasi dari berbagai pihak untuk menyempurnakan model transportasi tersebut. Saya yakin masyarakat Kota Malang adalah orang-orang yang berani, pejuang sejati, dan mau berubah menjadi lebih baik. Yang harus dimenangkan adalah hati para penumpang, bukan sekadar banyaknya jumlah setoran.
*) Dosen Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya/Mahasiswa Doktoral Maastricht School of Management Belanda.