Selasa 07 Mar 2017 10:37 WIB
Kebangkitan Umat (8)

Richard The Lionheart dan Peristiwa Sidoarjo

Salahuddin al Ayubi (Ilustrasi)
Foto: moviemakers
Salahuddin al Ayubi (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Rudi Agung *)

Nama besar Salahuddin Al Ayubi selalu terpatri harum mewangi. Baik dalam catatan sejarah Muslim maupun non Muslim.

Salah satu yang membuat dirinya dikenang lantaran kemuliaan akhlaknya. Dalam Perang Salib, beliau menunjukan keindahan akhlak itu. Bahkan akhlaknya disajikan di hadapan musuh bebuyutannya, Richard The Lionheart: pemimpin Crusader. Ditunjukan di medang perang.

Di antaranya, ketika perang, kuda yang ditunggangi Richard kelelahan. Sebelumnya, ia memimpin kavaleri tombak, pasukan berkuda elit pasukan Salib. Ketika Salahuddin melihat kuda Richard tak sanggup berdiri, beliau menunda peperangan dan mengutus pasukan mengirimkan dua kuda terbaik untuk Richard.

Dalam kesempatan lain, saat Richard terbaring sakit, Salahuddin menjenguknya. Membawakan buah, obat, dan dokter terbaik untuk menyembuhkan Richard. Di versi lain, Salahuddin menyamar menjadi dokter untuk mengobatinya.

Aduhai, betapa menggetarkan hati pesona akhklaknya. Beliau mahir betul mengadopsi akhlak mulia yang dicontohkan Rasulullah. Saat Fattu Makkah, Rasul bersabda pada orang-orang Musyrk: “Wahai penduduk Makkah! Hari ini tidak ada pembalasan terhadap kalian, laa tatsriiba ‘alaikum hadzayaum.” Kalian bebas!

Rasul tidak dendam, tak membalas walau memegang kendali di Makkah. Kepada musuh pun kemuliaan akhlak selalu ditunjukan. Beliau mengajarkan tawadhu, menghapus dendam, manusiawi berdakwah. Tetap beradab menjawab tantangan musuh Islam dengan perilaku yang beretika dan elegan.

Dalam catatan sejarah, para pendahulu mewariskan pelbagai strategi dan akhlak. Meski terhadap musuh, meski di medan perang. Agama adalah akhlak. Begitu yang diwariskan Rasulullah. Dakwah menyentuh hati yang dicontohkan Rasul, mampu menjadikan Islam sebagai lentera dunia. Benar-benar rahmatan lil alamin.

Kita bersedih, dikejutkan peristiwa di Sidoarjo. Klarifikasi mengemuka. Begitu pun pernyataan resmi dari kepolisian setempat. Tersua kabar, sebelum pengajian sudah ada  dialog dari kedua belah pihak.

Polres setempat menyarankan agar Ustaz Khalid Basamalah tidak berceramah dulu. Sebab, situasi sosial kurang kondusif. Tapi ceramah dipaksakan panitia. Lantas beredar cepat, pengajian itu dibubarkan dengan kekerasan.

Klarifikasi datang lagi: tak ada pembubaran pengajian. Melainkan hanya meminta panitia mengganti sang penceramah. Sebab dinilai menyakiti amaliah masyarakat setempat. Yang bersangkutan pernah pula ditolak di pelbagai tempat.

Selaiknya dengan penolakan untuk berceramah beberapa kali di pelbagai tempat, cukup menjadi bahan muhasabah. Ada apa dan kenapa ditolak? Saya jadi teringat penolakan terhadap Ustaz Firanda di Samarinda. Yah, cukup Ahok saja yang nekat. Sudah ditolak tetap mendatangi. Warga pun menggeruduknya.

Di Sidoarjo, apa iya, segitu pentingnya ceramah saat itu hingga teramat sulit ditunda sampai menanti situasi sosial membaik? Entah kenapa tetap dipaksakan hingga timbul kegaduhan.

Umat jadi bingung: klaimnya selalu mengajak kembali pada Quran dan Sunnah, lalu umat, dan Ulama-ulama terdahulu kembali kemana? Masa ke Cina?

Apa iya, Rasulullah, Sahabat, Tabiin, Tabiut Tabiin, Salafus Saleh: selalu berteriak lantang kembali ke Quran dan Sunnah. Bukankah semua langsung ditunjukan dalam keindahan akhlak mereka. Tanpa klaim sepihak. Tanpa mengkerdilkan yang tak sepaham, kemudian mengumandangkan pengakuan.

Bukankah tak ada pejuang yang mengklaim dirinya pejuang. Begitu pula pahlawan, Ulama dan orang-orang berpengaruh yang mampu menggerakan.

Apa iya, Ustaz Basamalah ceramahnya pernah menyinggung amaliah kelompok lain? Ini perlu klarifikasi. Jika ya, kenapa dan untuk apa? Masa iya, mau diprotes umat lagi seperti protesnya masyarakat Aceh hingga Ustaz Basamalah akhirnya meminta maaf, lewat Youtube. Kalau sudah minta maaf di Aceh, masa sih mau mengulang lagi dengan menyinggung umat di Sidoarjo?

Umat pun terlanjur terpancing. Beredar cepat video ceramah Ustaz Basamalah ihwal masuk nerakanya orangtua Rasulullah. Video lawas itu diiringi bantahan Habib Rizieq terhadap argumen orangtua Rasulullah. Dibantah tegas Habib dengan kajian Quran, Hadits, dan Kitab. Lengkap dengan takwil dan asbabun nuzulnya.

Umat terpolarisasi lagi. Di sosmed, bantah-bantahan lagi. Caci maki lagi. Betapa mengerikannya akhir zaman. Ini mengingatkan kita pada era 80-90 an, ketika berbeda: Taraweh 11 atau 23 rakaat. Saat shalat, Al Fatihahnya diheningkan atau dikeraskan. Subuh, pakai qunut atau tidak. Usai shalat, doa bersama atau sendiri. Ziarah, boleh atau tidak. Shalat Jumat, adzan sekali atau dua kali.

Perbedaan itu pernah terjadi antara dua kelompok besar: massa Muhammadiyah dan NU. Tapi, tidak pernah ada dari dua pihak yang mudah melontarkan cacian, tuduhan sesat, kafir, bidah, musryk. Tidak pernah menyinggung orangtua Rasulullah, tidak pernah menyinggung Wali Songo.

Akhirnya mencapai titik temu. Perbedaan adalah rahmat. Umat guyub lagi, ajeg kembali, rukun bersatu. Benar-benar indah. Sangat indah. Fiqih bisa berbeda, tapi aqidah sama. Ukhuwah wajib dijaga.

Nah di saat situasi umat dilecehkan, Ulama dikriminalisasi, penista agama dilindungi: kok kaset lama perbedaan umat yang sudah selesai, tahu-tahu diputar lagi. Bahkan perbedaan itu diperuncing gangguan amaliah kelompok lain.

Kenapa ceramah tetap dipaksakan? Apa iya, perlu menyinggung amaliah yang diyakini banyak orang? Segenting apa hingga ceramah tak bisa ditunda? Sepenting apa menggaungkan kembali ke Quran dan Sunnah hingga mencipta kesan dikotomi Ulama terdahulu mengajak kembali ke hal lainnya.

Kenapa pula, kelompok lain menggeruduk dengan massa? Kenapa ada kabar beredar pengajian dibubarkan, sedangkan gereja dijaga? Kenapa ada angggapan NU dan Banser makin berubah? Lalu, kemana perginya nilai-nilai yang luhur dulu?

Muslim Indonesia baru saja memperoleh decak kagum dunia dalam persatuan di 212. Betapa indah seluruh kelompok Islam bersatu padu, tak membedakan A atau B. Tak mempermasalahkan amaliah B atau C. Semua menunjukan pesona akhlak yang aduhai begitu gemulainya. Betapa indahnya. Betapa gembiranya.

Sampai-sampai tidak ada teori di dunia ini yang bisa menjelaskan bagaimana cara umat bersatu kala itu? Selain Allah yang menggerakan seluruh hati. Tidak ada satu event organizer di dunia, yang bisa mengorganisir massa sebanyak itu dengan akhlak yang gemulai. Selain pertolongan dari tangan-tangan Allah, Ya Gharatallah.

Tapi, kenapa tetiba kita diguncangkan peristiwa Sidoarjo? Apakah 212 hanya persatuan kamuflase? Atau peristiwa Sidoarjo sinyal kuat adanya api dalam sekam yang terjadi di tubuh umat. Atau tidak suka umat bersatu? Apa ada aroma rupiah?

Apapun itu: semoga umat tidak lagi terpancing upaya apapun yang mengarah adu domba. Semoga para alim Ulama segera memfasilitasi kedua belah pihak untuk dialog terbuka. Dialog yang dilandasi kasih sayang dan ukhuwah. Bukan mencari siapa benar, siapa salah, siapa menang, siapa salah.

Tak malu kah kita pada Richard yang menerima akhlak mulia di medan perang? Bagaimana Salahuddin Al Ayubi menunjukan keindahan akhlaknya, tapi kita sesama umat malah mempertontonkan sebaliknya: hanya ikhtilaf dalam praktik beragama muncul konflik sesama. Di tengah kehadiran ulama dunia di Indonesia. 

Mengakhiri tulisan ini, mohon dibukakan pintu maaf bila ada penuturan yang kurang berkenan. Bersatulah umat. Semua sedih atas peristiwa Sidoarjo.

Sudah cukup energi dihabiskan kasus penistaan agama dan kriminalisasi Ulama. Kenapa kita malah menista sesama umat. Jauh lebih baik, gigih berusaha dan berdoa agar Allah memperbaiki akhlak dan ukhuwah kita, sembari terus sayangi anak-anak yatim di sekitar. Shalaallahu alaa Muhammad.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement