Jumat 10 Mar 2017 01:00 WIB

Ancaman Ketimpangan

Ketum Pemuda PP Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak
Foto: istimewa
Ketum Pemuda PP Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dahnil Anzar Simanjuntak *)

Bak ibu kandung yang melahirkan anaknya yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Muhammadiyah selalu gelisah ketika si anak tidak tumbuh dengan baik, sakit-sakitan, dan terancam mati. Maka wajar bila ibu terus mengawasi dan cerewet mengingatkan si anak untuk merawat diri dan melawan potensi-potensi penyakit akut yang menyebabkan kematian. Dan, Muhammadiyah melihat gejala penyakit akut itu sudah menyerang Indonesia. Penyakit itu bernama "ketimpangan".

Ketimpangan pembangunan Indonesia memperoleh perhatian khusus Muhammadiyah melalui Tanwir di Ambon pada tanggal 24-26 Februari 2017 lalu, mengusung tema “Kedaulatan dan Keadilan Sosial untuk Indonesia yang Berkemajuan”. Peluncuran Klinik Apung Said Tuhuleley, secara simbolik menebar pesan tentang kegelisahan batin Muhammadiyah terhadap Indonesia yang ikut didirikan oleh para bapak dan ibu bangsa yang juga berasal dari Muhammadiyah.

Klinik Apung Said Tuhuleley -yang saat ini juga sedang dipersiapkan puluhan Klinik Apung serupa yang akan disebar diberbagai pulau di Indonesia-, menebar 'nasihat' bahwa masih banyak anak-anak negeri di berbagai pelosok pulau yang tidak memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. Mereka diperlakukan tidak adil oleh negara, mereka ditinggalkan oleh negara karena Poros Maritim masih sekadar retorika yang masih memerlukan jalan panjang.

Muhammadiyah berusaha 'menasihati' anaknya yang bernama NKRI melalui contoh dan aksi tanpa perlu pidato berbuih-buih tentang “NKRI harga mati”. Karena Mbah Dahlan, pendiri Muhammadiyah, adalah manusia yang berdakwah melalui pesan keteladanan, karena dakwah sejati nan autentik adalah keteladanan. Keteladanan yang menggembirakan dan memajukan peradaban.

Mengutip publikasi hasil penelitian Bank Dunia pada Maret 2016, Indonesia secara statistik sepanjang 1999 sampai dengan 2014, sukses mengurangi angka kemiskinan lebih dari 50 persen, dari 24 persen di 1999 menjadi 11,3 persen di 2014. Penurunan jumlah penduduk miskin tersebut adalah buah dari pertumbuhan ekonomi selama 15 tahun yang juga telah sukses melahirkan kelompok menengah baru.

Namun, pertumbuhan ekonomi selama 15 tahun tersebut, hanya dinikmati oleh 20 persen warga terkaya. Sementara 80 persen populasi sisanya, yakni 205 juta penduduk, tertinggal jauh dibelakang. Sehingga ketimpangan semakin melebar. Dan, ketimpangan Indonesia tersebut dikategorikan yang terburuk di Asia Timur.

Upaya untuk melakukan pemerataan pembangunan dan pemerataan kekayaan mendapat jalan terjal. Indonesia mengalami stagnan dalam upaya pengentasan kemiskinan yang menurut Bank Dunia mendekati nol sejak 2014. Ketimpangan pendapatan meroket dengan cepat, dan hampir sepertiganya berasal dari ketimpangan kesempatan. Anak-anak yang sehat dan terdidik hidup bertetangga dekat dengan anak-anak yang menderita malnutrisi, tidak mampu belajar di sekolah dan putus sekolah. Anak-anak miskin sering kali tidak memperoleh kesempatan awal yang adil dalam hidup, sehingga mengurangi kemampuan mereka untuk sukses di masa yang akan datang.

Masih mengutip penelitian Bank Dunia, Maret 2016. Aurat Ketimpangan antardaerah pun mencolok dipertontonkan. Hanya, enam persen anak di Jakarta yang tidak memiliki akses terhadap sanitasi. Sedangkan di Papua, 98 persen anak tidak memiliki sanitasi layak.

Instrumen fiskal melalui dana alikasi umum (DAU) misalnya, yang diharapkan bisa menjadi instrumen memperkecil kesenjangan antara satu daerah dengan daerah lain (horizontal imbalance), justru gagal menyempitkan kesenjangan tersebut. Yang terjadi malah sebaliknya, DAU tersebut menjadi pemicu kesenjangan antardaerah. Maka, wajar bila Gubernur Maluku Said Assegaf curhat dengan Presiden Joko Widodo dalam pidato pembukaan Tanwir Muhammadiyah lalu, karena formulasi DAU memang tidak adil untuk mereka yang daerahnya dipisah oleh lautan. Belum lagi, masalah akrobat matematika dalam perhitungan DAU melalui lobi-lobi masing-masing kepala daerah kepada DPR dan pemerintah pusat.

Ketimpangan kepemilikan asset dan keuangan pun terasa. Segelintir orang Indonesia meraup keuntungan lewat kepemilikan asset keuangan yang tidak jarang diperoleh dari hasil korupsi, sehingga ikut mendorong ketimpangan semakin meroket.

Proyek besar seperti reklamasi yang telah merampas hak-hak alam, atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, pun ngotot digelar. Padahal, tontonan ketimpangan akan semakin vulgar terlihat. Di mana, hanya mereka yang kaya dapat mengakses dan menikmati kemewahan pulau reklamasi yang dibangun di tengah ancaman ekosistem dan hak ekonomi masa depan anak cucu tersebut.

Di sisi lain, reklamasi teluk Jakarta sekaligus menjadi bukti bahwa pembangunan Indonesia masih sentralistik, seolah Indonesia masih kekurangan lahan untuk dihuni dan dikembangkan. Namun, apa mau dinyana, kekuatan korporasi rakus dan para bandit politik mengabaikan fakta ketimpangan tersebut.

Ketimpangan Indonesia didominasi oleh ketimpangan yang disebabkan di luar kendali individu penduduk. Yakni, ketimpangan yang muncul karena kebijakan pemerintah yang tidak adil dan berkeadilan. Ditambah dengan perilaku hukum yang diskriminatif yang menyebabkan suasana kebatinan publik dipenuhi dengan kemarahan, karena ketidakadilan yang tentu mengganggu produktivitas nasional. Kebijakan yang miskin afirmasi terhadap 80 persen penduduk yang tertinggal oleh 20 persen peduduk yang menikmati 80 persen kue pembangunan ekonomi lebih banyak. Fakta ini adalah ancaman serius bagi Indonesia, karena ketimpangan ini turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bak lagu Bang Haji Rhoma Irama, “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”.

Oleh sebab itu, pesan Resolusi Ambon terkait dengan kedaulatan dan keadilan sosial yang menjadi nasihat bagi Negara menjadi penting diperhatikan pemerintah. Meskipun, bak khatib Jumat menyampaikan pesan ketakwaan, Resolusi Ambon tersebut 'kurang menggigit', masih sangat normatif. Namun, pesan-pesan simbolik dan teladan yang disampaikan Muhammadiyah melalui Tanwir Ambon, agaknya cukup menjadi nasihat bagi pemerintah saat ini untuk segera berhenti menggunakan paradigma pembangunan yang rabun jauh (miopik) untuk menghentikan ancaman ketimpangan yang bisa membuat NKRI tinggal sejarah. Karena banyak negara berpecah dan bubar karena ketidakadilan dan ketimpangan yang akut.

Maka, pemerintah harus memulai paradigma pembangunan jangka panjang untuk memenuhi hak-hak peradaban berkemajuan generasi berikutnya. Jangan sampai, generasi kini tetap memberikan tumpukan masalah kekeliruan agenda pembangunan masa lalu, yang membuat negeri ini menjadi negeri yang saling kutuk dari generasi ke generasi. 

*) Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement