REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Husain Yatmono *)
Pendidikan merupakan hak asasi setiap manusia. Setiap warga negara berhak mendapatkan pelayanan ini tanpa ada pembatasan, baik dalam akses mereka memperoleh pendidikan maupun tingkat pendidikan yang akan mereka ikuti. Negara wajib membiayai pendidikan bagi semua warga negara dengan gratis.
Hal ini dijelaskan dalam pasal 31 UUD 1945 amandemen mengatakan: “(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Berdasarkan pasal 31 ini, negara memiliki dua kewajiban yaitu: menyelenggarakan pendidikan bagi setiap warga negara, dan membiayai pendidikan bagi warga negara.
Menyelenggarakan pendidikan berarti negara harus menyediakan tempat/sekolah, pendidik, sarana dan prasarana sehingga kegiatan belajar mengajar tersebut bisa berjalan. Membiayai pendidikan artinya negara harus menyediakan dana/anggaran agar kegiatan belajar-mengajar yang melibatkan pendidik, sekolah, sarana dan prasana bisa teralisir.
Menyelenggarakan pendidikan merupakan salah satu pelayanan negara kepada wargannya (public service obligation), yang bertujuan untuk mencerdaskan mereka. Karena pendidikan merupakan hak asasi, maka tidak diperbolehkan adanya pembatasan kepada setiap warga negara untuk mendapatkannya. Tidak ada diskriminasi apakah warga itu tinggal di kota atau di pedalaman, apakah mereka orang miskin atau orang mampu, negara wajib menyediakan layanan pendidikan ini.
Pendidikan merupakan hal penting yang harus diperhatikan negara. Pendidikan merupakan cara formal yang dilakukan negara untuk mencerdaskan warga, sehingga akan dihasilkan sumber daya manusia yang memiliki daya saing. Dari proses pendidikan akan lahir para intelektual, politisi, ilmuwan, negarawan, guru dan profesi lainnya. Oleh sebab itu, warga harus diberikan akses bisa mendapatkan pendidikan gratis hingga perguruan tinggi. Jika dengan kuliah di perguruan tinggi akan dihasilkan kader-kader yang berkualitas untuk kemajuan negaranya.
Menjadi kewajiban negara untuk mengalokasikan anggaran guna bisa terselenggaranya amanah tersebut dengan baik. Bagaimana bisa negara membiayai dana pendidikan? Tentu saja dari dana yang diperoleh dari sumber daya alam yang dimiliki oleh negeri ini. Dengan sumber daya alam yang ada, baik itu yang berada di daratan seperti tambang, maupun sumber daya laut, yang ikannya melimpah, hingga dicuri negara lain, lebih dari cukup untuk membiayai pendidikan dengan gratis. Tentu saja jika semua sumber daya alam tersebut dikelola dan miliki oleh negara sendiri.
Karena itu mendidik warganya menjadi cerdas, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan investasi negara. Sehingga nagara akan memiliki sumber daya manusia yang berkualitas untuk mengeksplorasi sumber daya alam yang ada. Tidak perlu lagi mengundang negara asing untuk mengeksplorasi sumber daya alam yang ada.
Karena mereka akan menggambil sumber daya alam kita, dan mereka hanya membayar pajaknya. Sebagai contoh PT Freeport Indonesia, perusahaan asal Amerika Serikat ini, telah mengeksplorasi tambang tembaga, emas, yang ada di Papua, sejak tahun1967. Menurut juru Bicara Freeport Indonesia Riza Pratama mengatakan, “PT Smelting Gresik yang beroperasi sejak 1997 mampu memurnikan 1 juta konsentrat tembaga per tahun”.
Tetapi, kapasitasnya belum cukup untuk memurnikan seluruh hasil produksi konsentrat, maka sisanya diekspor ke Jepang, Tiongkok, Korea Selatan dan Spanyol.(http://bisnis.liputan6.com, 9/03/2017). Ini baru hasil dari satu tambang saja, sementara ada ribuan tambang di Indonesia dengan aneka produk, sayangnya perusahaan asinglah menguasai mayoritas. Ini artinya apa? Negara memiliki dana yang cukup untuk menyediakan anggaran pendidikan, yang merupakan investasi untuk menghasilkan kader-kader terbaik bangsa.
Sementara anggaran pendidikan dalam RAPBN 2016 sebesar Rp. 39.823 triliun. Anggaran ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan anggaran tahun 2016 yang mencapai angka Rp 49,232 triliun. Alokasi anggaran ini untuk Program Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Program Peningkatan Kualitas Sumber Daya Iptek dan Perguruan Tinggi, Program Penguatan Riset dan Pengembanga, dan Program Penguatan Inovasi. (http://setkab.go.id, 18/08/2017)
Penggurangan anggaran ini sangat disayangkan, karena dengan sendirinya akan mengurangi belanja pada sektor lain. Sementara kondisi pendidikan di Indonesia masih membutuhkan penopang dari negara dengan maksimal karena ini merupakan amanah Undang-undang sebagai kewajiban negara untuk mencerdaskan warganya.
Memang telah dilakukan upaya untuk mengurangi peran negara (pemerintah pusat) dalam mengurusi masalah pendidikan. Paradigma ini terjadi sejak kelahiran UU nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan UU ini, hampir semua urusan pemerintahan di negeri ini telah diserahkan sepenuhnya kepada pemerintahan daerah kabupaten/kota, kecuali tiga urusan, yakni urusan politik luar negeri, keuangan dan agama. Bidang pendidikan termasuk salah satu urusan yang pengelolaannya diserahkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota.
Sebab itu, agar pendidikan di daerah bisa dilaksanakan dengan baik harus melibatkan semua komponen masyarakat. Mereka harus diajak bicara tentang pendidikan di daerah, termasuk membahas masalah pendanaan pendidikan. Lahirnya Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madarasah di pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota merupakan upaya pengalihan tanggung jawab pendidikan tersebut kepada masyarakat. Merekalah nantinya yang akan menjalankan, menggelola dan mengawasi pendidikan di daerahnya.
Penulis berpendapat, kebijakan ini sejatinya upaya negara melepaskan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan, dan menyerahkan kepada swasta. Ini merupakan bentuk liberalisasi pendidikan yang berbahaya, karena akan ada diskriminasi dalam memperoleh hak asasi ini. Hanya mereka yang mampu membayar, yang bisa memperoleh pendidikan sampai level tinggi, sementara yang tidak mampu harus menerima keadaan.
Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). MK menilai inkonstitusional menjadikan pendidikan nasional diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar tanpa ada perlindungan dari negara.
Lebih lanjut MK menilai, UU BHP telah mengalihkan tugas dan tanggung Pemerintah dalam bidang pendidikan. “Dengan adanya UU BHP misi pendidikan formal yang menjadi tugas pemerintah di Indonesia akan dilaksanakan oleh Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP) dan Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah (BHPPD).” Padahal UUD 1945 memberikan ketentuan yang jelas bahwa tanggung jawab utama pendidikan ada di negara.
Untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan bagi semua warga, negara harus menggelola dan menyediakan anggaran pendidikan. Anggaran tersebut dialokasikan untuk melakukan pemerataan pendidikan, peningkatan kompetensi guru dan perbaikan mutu. Pendidikan merupakan proses yang penting bagi sebuah negara dalam rangka memajukan diri dalam kancah peradaban dunia, terlebih dalam era globalisasi ini.
Pendidikan harus dimaknai sebagai kawah condro dimuko (tempat menempa generasi) agar menjadi generasi yang siap memajukan negara dalam dunia global. Ketersediaan sekolah dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi yang bisa diakses oleh semua warga negara menjadi kewajiban negara sebagai bentuk pelayanan kepada warga negara untuk mencetak generasi unggul.
Menyerahkan urusan pendidikan kepada pihak lain (masyarakat), negara berlepas dari tanggung jawab mencerdaskan warganya merupakan kesalahan, bertentangan dengan undang-undang. Inilah bahaya liberalisasi dunia pendidikan yang tercantum dalam undang-undang BHP. Tepat sekali MK telah membatalkan undang-undang BHP.
*) Pemerhati Pendidikan dan Sosial Politik