Rabu 22 Mar 2017 11:58 WIB

NU, Abah Hasyim, dan Kontekstualisasi Moderasi Islam

KH Hasyim Muzadi
Foto: Antara/Syaiful Arif
KH Hasyim Muzadi

Oleh: Khariri Makmun*

Sebelum diminta melaksanakan ICIS IV di UIN Malang, saya diajak berdiskusi dengan Abah Hasyim, begitu kami memanggil KH A Hasyim Muzadi, di kantor Wantimpres. 

Beliau tiba-tiba bicara mengenai konsep Islam moderat yang selama ini hanya ditafsirkan pada sikap atau prilaku keagamaan yang toleran, melindungi minoritas, menjaga perbedaan serta tidak kekiri atau kekanan, tetapi berada di tengah (tawassuth).

Pemahaman moderasi seperti ini oleh Abah Hasyim sudah dirasa sempit dan tidak longgar. menurut Abah Hasyim, jika moderasi dimaknai terlalu sempit, maka tidak cukup untuk bisa mengatasi persoalan bangsa. 

Moderasi bukan hanya diterapkan pada doktrin keagamaan atau toleransi lintas agama, tapi harus ditarik kepada persoalan ekonomi, sosial, budaya, dan peradaban.

Perbincangan dengan Abah hasyim semakin menarik ketika kopi hangat dan kue  ringan disuguhkan.

Abah Hasyim melanjutkan lagi pembicaraannya, selama ini NU telah menempatkan pada posisi yang tepat sebagai pennjaga NKRI  dan memperkuat konsep kebangsaan melalui sikapnya yang tasamuh (toleran), tawassuth (moderat), dan tawazun (seimbang). 

Konsep ini secara teori sudah tepat untuk menjaga kebinekaan dan menjaga kehidupan bernegara yang ada di negeri tercinta. Namun, dalam praktiknya teori tersebut sering dipahami secara sempit. 

Menurut Abah Hasyim, konsep tasamuh, tawasuth, dan tawazun cenderung hanya dibatasi penggunaannya pada persoalan kebangsaan yang menyangkut kebinekaan dan keragaman kehidupan berbangsa, termasuk melindungi minoritas. 

Konsep-konsep mendasar aswaja tersebut belum dioptimalkan untuk mengurai problematika  ekonomi bangsa yang kian rumit. Kesenjangan yang melebar, pengangguran yang terus bertambah, praktik kapitalisme yang semkin menjadi-jadi. Ini semua butuh kontekstualisasi konsep Aswaja yang cerdas.

Abah Hasyim cukup gelisah melihat kondisi ekonomi masyarakat kecil,  karena itu beliau dalam berbagai forum kiai dan ulama diberbagai daerah, mendorong agar NU mencari formula merumuskan konsep-konsep Aswaja pada tataran aplikatif sebagai panduan mensikapi dinamika politik, ekonomi, sosial budaya dan ideologi. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement