REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Danang Aziz Akbarona *)
Tidak salah dan berlebihan jika banyak tokoh yang menobatkan almarhum KH Hasyim Muzadi sebagai perekat umat dan bangsa. Semasa hidupnya, Kiai Hasyim memiliki kepedulian yang penuh (tidak separuh-separuh) terhadap permasalahan keumatan dan kebangsaan. Kepeduliannya tidak hanya nampak dari sumbangsih pemikirannya yang jernih dan solutif, tapi lebih dari itu berwujud dalam akhlak yang kuat sebagai ulama, tokoh masyarakat, dan intelektual muslim yang karismatik.
Penulis menjadi saksi, pada hari pemakamannya di kampung Kukusan Depok, pekan lalu, mulai dari tokoh ormas maupun politik, pejabat negara, duta besar negara sahabat, hingga rakyat biasa datang berduyun-duyun memberikan penghormatan terakhir kepada Abah Yai. Bahkan, untuk mengamankan dan menertibkan lokasi, dengan tanpa komando, Banser, Front Pembela Islam (FPI), Polri hingga TNI tampak begitu padu berjaga di sekitar Pondok Pesantren Al-Hikam. Sebuah pemandangan tersendiri betapa persatuan itu indah dan bisa diwujudkan.
Kiai Hasyim wafat pada Kamis, 16 Maret 2017 dalam usia 72 tahun. Wafatnya beliau meninggalkan kesan yang mendalam bagi khalayak bahwasanya bangsa ini harus dijaga dari perilaku yang memecah belah, menceraiberai, dan meluluhlantak. Dan itu bisa terwujud jika kita punya niat yang tulus, rela berkorban, bersedia membuka diri, berdialog, dan bertoleransi dengan sesama elemen bangsa.
Rekan penulis, seorang sosiolog Universitas Indonesia, yang kebetulan juga hadir bertakziyah mengatakan, sulit menemukan tokoh (ulama/intelektual) seperti Kiai Hasyim. Kalau tokoh intelektual yang pintar banyak, tapi yang membuka diri untuk berdialog sangat sedikit. Dan, karakter itu ada pada diri Kiai Hasyim.
Kelebihan terakhir inilah kiranya yang menjadikan sebagian besar bangsa ini kehilangan figur yang mampu menjadi perekat kebangsaan ketika mendengar kabar Kiai Hasyim wafat. Satu kesadaran penting bahwa Indonesia yang binneka ini hanya dapat dirawat dan ditumbuhkembangkan oleh orang-orang yang bersedia membuka diri, berdialog, dan bertoleransi. Tanpa harus merasa paling NKRI, paling binneka, sambil menyalahkan atau menuduh yang lain antikebinnekaan, anti-NKRI, dan lain-lain.
Teladan itu benar-benar dicontohkan oleh beliau bahkan di tengah kondisi sakitnya. Di tengah isu kebangsaan yang sempat memanas beberapa waktu lalu, Kiai Hasyim yang berada dalam masa perawatan di Rumah Sakit Lavalette Malang masih sempat menitipkan pesan agar TNI/Polri dan ulama bersatu dalam kemanunggalan. Kiai Hasyim juga menekankan pentingnya menjembatani ekstrem kiri dan ekstrem kanan di Tanah Air. Untuk itu ia meminta agar aparat penegak hukum dan ulama bersatu menjaga keutuhan bangsa.
Di lain waktu, Kiai Hasyim mengajak untuk berjuang demi kemaslahatan umat. Kata-katanya yang banyak dikutip media dan mengilhami santri-santrinya: "Orang yang tidak berbuat apapun untuk kemaslahatan umat, justru akan dililit oleh permasalahannya sendiri."
Warisan berharga
Hal itu beliau buktikan sendiri dengan dengan kiprahnya yang tidak pernah berjarak dari dinamika dan permasalahan umat, mulai dari Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Presiden Konferensi Dunia Untuk Agama dan Perdamaian (ICRP), Sekjen Konferensi Internasional Para Ilmuwan Islam (ICIS), hingga terakhir menjadi Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Bahkan, di lapangan masyarakat beliau konsisten mensyiarkan Islam dan memperbaiki kualitas umat dengan mendirikan Pesantren Al-Hikam di Malang dan Depok dengan jumlah santri ribuan orang.
Pesantren Al-Hikam di Depok meski belum lama didirikan (tahun 2002) terbukti mampu menjadi berkah sendiri bagi lingkungan Depok bahkan mampu menggairahkan semangat pembelajaran Islam khususnya dalam rangka menghafal Alquran. Maka tidak salah jika Wali Kota Depok KH Idris Abdul Shomad, merasa harus berterima kasih kepada Kiai Hasyim karena kegiatan-kegiatan pembinaan mahasiswa di Pesantren Al-Hikam memberikan nuansa citra positif dan keberkahan para penghafal Alquran kepada Kota Depok. Kiai Hasyim sengaja mendirikan pesantren di lingkungan kampus (UI, Gunadarma, LP3I, dll) bukan tanpa maksud tujuan, yaitu agar para mahasiwa penuntut ilmu pengetahuan juga mendapat ilmu agama dan punya tempat belajar dan beraktivitas keislaman yang representatif.
Pesantren Al-Hikam juga aktif melakukan pembinaan dan pengajaran agama di lingkungan Depok khususnya di kelurahan sekitar pesantren. Cara pendekatan pesantren/santri ke masyarakat juga dilakukan dengan sangat elegan, bukan saja diutus secara resmi oleh pesantren tapi juga dengan pendekatan dan izin dari kepala-kepala lingkungan. Alhasil dengan pendekatan yang baik pesantren Al-Hikam bisa berkembang dan mendapatkan dukungan dan simpati warga masyarakat. Santri-santri Al-Hikam kerap mengisi pengajian/arisan rutin RT/RW di kampung Kukusan serta menjadi imam di mushola dan masjid sekitar dengan bacaan Alquran yang merdu. Pesantren/masjid Al-Hikam juga terbuka untuk masyarakat dan setiap hari selalu semarak dengan kegiatan-kegiatan pengajian, taklim, TPA, dll.
Sampai di sini penulis menyimpulkan bahwa kekuatan Kiai Hasyim bukan hanya pada pemikiran atau bashiroh-nya yang jernih atas permasalahan bangsa, tapi hal itu diikuti oleh akhlaknya yang luhur dalam menyelesaikan masalah dan beraktivitas sosial. Sehingga siapapun—bahkan pihak-pihak yang berseteru—menjadi nyaman, hangat, dan dekat dengan beliau. Inilah kapasitas Kiai sebagai perekat umat dan bangsa yang sejatinya masih sangat dibutuhkan saat ini. Dan sekali lagi, ini bukan sekadar pantulan ilmu, tapi juga ketinggian akhlak.
Maka benarlah sabda Rasululloh SAW yang menyatakan: “Orang yang paling Aku cintai dan yang paling dekat denganku kedudukannya di surga adalah orang yang paling baik akhlaknya. Orang yang paling aku benci adalah orang-orang yang pongah dan sombong.” Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda, “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya; yang lemah lembut tidak pernah menyakiti orang. Seorang manusia tidak akan mencapai hakikat iman sebelum dia mencintai orang lain seperti ia mencintai dirinya sendiri dan sebelum tetangganya aman dari gangguannya.”
Kiai Hasyim mewariskan pelajaran berharga bagi kita bahwa untuk menjaga dan merawat umat dan bangsa ini diperlukan lebih dari sekadar ilmu yang hebat, akan tetapi juga akhlak yang baik. Dalam sejumlah kesempatan beliau pernah mengatakan, umat ini terlalu banyak paham (aliran) untuk itu jagalah silaturahim. Inilah akhlak itu!
Penulis pun lalu teringat kisah ulama-ulama terdahulu yang menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari akhlak, salah satunya Imam Malik bin Anas. Adalah Abdurrahman bin Qasim, seorang pelayan Imam Malik, yang memberi kesaksian itu: “Tidak kurang dua puluh tahun aku menjadi pelayan Imam Malik. Selama 20 tahun tersebut, aku perhatikan beliau menghabiskan dua tahun untuk mempelajari ilmu dan 18 tahun untuk mempelajari akhlak."
Selamat jalan Kiai Hasyim. Terima kasih telah mengajarkan kami akhlak yang baik. Semoga bangsa ini mampu mewarisi keindahan akhlakmu.
* Pemerhati Masalah Kebangsaan