REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syukri Wahid *)
Indonesia adalah cerita panjang tentang polarisasi budaya, kesamaan beban sejarah, gerakan agama dan ideologi. Berangkat dari kemajemukan bangsa saat itu, membuat para pendiri bangsa berpikir kritis ihwal alasan apa yang paling bisa mengikat keberagaman itu, apa yang bisa mengikat seluruh gugusan pulau, suku, budaya, agama dan aliran yang ada menjadi satu keluarga besar bernama Indonesia.
Itulah karya terbesar dari pendiri bangsa ini, yaitu menyatukaan perbedaan semua dalam wadah besar bernama Indonesia.
Mereka merumuskan Pancasila sebagai nilai pengikat dasar keragaman, karenanya dia menjadi unsur perekat dan falsafah dasar negara ini. Sudah barang tentu kita tidak bisa begitu saja menghapus rekam jejak sejarah bangsa ini, saat elit bangsa berdebat dalam sidang-sidang Majelis Konstituante yang seluruh anggotanya juga mewakili wajah Indonesia yang majemuk, semua aliran politik ada disana.
Melalui pemilu perdana tahun 1955 rakyat Indonesia telah memilih perwakilan mereka yang duduk di lembaga DPR dan menjadi anggota konstituante, sebab Soekarno meyakinkan para anggota PPKI bahwa, “Biarlah kita merdeka terlebih dahulu dan UUD 45 ini sebagai konstitusi sementara dan akan kita revisi melalui hasil pemilu nanti.”
Akhirnya lewat dekritnya tahun 1959, Presiden Soekarno memerintahkan untuk kembali kepada UUD 1945, karena melihat alotnya perdebatan dan deadlock pembahasan mengenai dasar negara kala itu. Suara ummat Islam lebih menginginkan agar Piagam Jakarta masuk dalam UUD 1945 seperti awal.
Bagi politisi Islam kala itu adalah kesempatan legal memperjuangkannya kembali. Dekrit tersebut telah memupus harapan mereka untuk memperjuangkan Piagam Jakarta. Tak pelak beberapa tokoh Islam mulai bermusuhan dengan Bung Karno karena dianggap melanggar komitmennya saat mengawali kemerdekaan dahulu.
Tahun 1945, Bung Hatta sebagai anggota tim 9 membawa hasil lobi atas nama perwakilan golongan Nasionalis dan perwakilan suara Indonesia Timur dengan membawa empat poin perubahan. Di antaranya menghilangkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta dan bisa diterima perwakilan tokoh Islam saat itu. Jadi sejak dahulu isu relasai agama dan negara sudah masuk ranah sensitif di negeri ini.
Beberapa sejarawan menyebut, itulah “pajak politik” yang dibayar umat Islam lewat kekuatan politiknya kala itu untuk menerima bahwa biarlah Pancasila menjadi wadah bersama yang menampung seluruh Kebhinekaan Indonesia. Biarlah Pancasila menjadi taman besar Indonesia, tempat seluruh komponen anak bangsa dengan keberagaman warnanya menghiasi taman Indonesia menjadi tempat tinggal bersama dan rukun di dalamnya.
Agama dan kenih keindonesiaan
Gerakan agama lebih dahulu masuk ke bumi Nusantara sebelum kita menjadi Indonesia, bahkan saham besar terbentuknya Indonesia ini karena peranan Agama Islam dan penganutnya. Nusantara ini telah berabad-abad berjaya dengan Kerajaannya masing-masing. Agama datang ke Nusantara dengan pelbagai caranya, namun intinya dia masuk secara damai.
Tidak ada satu agama yang masuk kemudian menindas agama yang lain. Islam datang dengan pendekatan dakwah yang humanis oleh para Da’i , membuat para Raja dan penguasa kala itu berpindah keyakinan menjadi Muslim dan diikuti rakyatnya. Semua masuk secara aman dan damai tanpa pertumpahan darah, dan jadilah Islam sebagai agama mayoritas di Nusantara.
Cerita panjang Agama di Nusantara menjadi saksi bahwa sejatinya Indonesia adalah tanah subur untuk menanam benih keimanan semua agama. Nusantara memikul beban sejarah yang sama, bahwa dijajah dan ditindas oleh bangsa lain itu tidak ada yang enak. Bukan saja negeri ini di eksploitasi kolonial, tapi membuat wajah bangsa ini menjadi terhina dan berpecah belah.
Lantas apakah faktor dominan yang membuat seluruh Nusantara bisa mengangkat senjata melawan penjajah ketika itu? Siapakah yang memimpin gerakan perlawanan tersebut? Jawabannya adalah agama. Ya dari agama, kita diajarkan membela tanah yang kita pijak. Dari agama kita diajarkan mempertahankannya, dan itu semua terjadi sebelum kita menjadi Indonesia.
Kenalilah para pahlawan masa pra kemerdekaan, mereka semua lahir dari masjid-masjid, dari surau-surau, juga muncul dari Gereja-gereja. Tempat Ibadah melahirkan mereka semua, sekaligus bukti agama telah mengambil peran pentingnya melahirkan spirit kemerdekaan.
Mereka yang lahir dari rumah Ibadah tersebut sekaligus memimpin perjuangan mengusir para penjajah. Janganlah kita memperkosa sejarah Indonesia ini dengan cara “mencoba-coba” mengkerdilkan peranan agama atau bahkan menghilangkannya. Bahkan saat SMA dulu ada mata pelajaran PSPB atau Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, sebuah cover buku tersebut dengan melukiskan Pangeran Dipenogoro sedang di atas Kuda mempimpin perang dengan membawa bendera Merah Putih.
Padahal itu tahun 1825, beliau sendiri belum tahu ada Negara Indonesia, apalagi benderanya. Maksud saya, kita harus jujur bahwa dulu nilai apa yang mendasari beliau berjuang kala itu, pasti untuk Agama. Kesamaan sejarah dijajah sekian lama oleh penjajah yang sama telah membuat ikatan emosional bangsa di Nusantara ini menjadi sama.
Merasakan pahit yang sama, ditindas bersama, suka duka bersama. Bahkan kendati tidak ada media sosial kala itu, namun cerita perlawanan di pelbagai pulau di Nusantara ini telah merajut benih-benih keindonesiaan mereka.
Generasi berganti namun sejarah terwariskan dalam relung hati mereka untuk membangkitkan kesadaran bersatu melawan musuh dengan satu ikatan yang lebih luas, lebih besar lagi, yang bisa menyatukan seluruh ego kedaerahan atau bahkan agama, yaitu semangat Keindonesiaan.
Kita sudah melampaui semua era dalam ujian bernegara dan semua jenis ujian telah bangsa ini lalui. Semua negara secara Sunnatullah akan melalui titik-titik krusial dalam ujian menjaga integritas negaranya, apalagi kemajemukan adalah salah satu potensi adanya disintegrasi itu sendiri.
Kita telah memilih demokrasi sebagai jalan politik mengelola kedaulatan negeri ini. Kekuasaan dapat berpindah tangan dari satu kepada yang lain secara legal melalui demokrasi. Prinsipnya demokrasi adalah pasar bebas bagi semua aliran politik untuk mencari legalitas rakyat secara konstitusional. Demokrasi sudah melalui banyak era di negeri ini dan diterjemahkan oleh rezim yang ada.
Kita sudah meninggalkan era demokrasi orde baru yang hanya menjadikan lips service, suara aspirasi rakyat sebagai hak asasi manusia dikerangkeng, negara atas nama demokrasi mengatur ketat warganya. Isu SARA dimainkan agar negara bisa menertibkan , pokoknya hanya negara yang memiliki tafsir tunggal tentang berbicara, berkelempok, keadilan, dsb.
Generasi Indonesia baru yang hidup di era reformasi kini tetap saja memiliki pijakan ailran ideologi yang pernah ada di Bumi Pertiwi ini. Jika memang kita tak menyebutkannya dengan sama. Pasar demokrasi selalu ramai dengan memberi kesempatan yang sama, tak ada yang melarang pelbagai partai politik dari pelbagai latar belakang ideologinya.
Indonesia masa kini adalah Indonesia yang tidak melupakan akar sejarah kelahirannya, keberagaman yang menyatu, perbadaaan yang harmoni. Nilai-nilai luhur bangsa ini harus terwariskan kepada generasi, kita adalah jembatan untuk mereka. Demokrasi yang menghargai perbedaan, tidak kasar dan tidak menyakiti atas nama keberagaman untuk mengambil manfaat.
Sistem demokrasi sekarang tidaklah mungkin mengkerdilkan simpul-simpul ideologi hanya menjadi satu atau dua, karena itu belum mewakili keindonesiaan kita. Namun kita juga bukan penganut demokrasi liberal, karena terlalu banyak, maka tidak efektif mengelola negara.
Politik aliran sampai sekarang masih diyakini keberadaanya, secara kasar semua kekuatan politik di Indonesia bisa disederhanakan menjadi Nasionalis, Islam dan Marxisme (Soekarno, 1964) atau seperti yang dikutip dalam buku Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Bahwa ada lima aliran politik Indonesia: (1) Nasionalisme radikal, (2) Tradisionalisme, (3) Islam, (4) Sosialisme demokratis dan (5) Komunisme, (Feith dan Castles 1988,LIV).
Kita bahkan bisa melihat sejarah Pemilu Presiden 2014, ketika kontalasi politik saat itu memaksa negeri hanya menjadi dua blok saja, semua politik aliran akan memilih muaranya. Kubu Islam sebagian besar lebih memilih Prabowo. Kini terulang dalam Pilkada Ibu Kota 2017. Umat Islam memilih pasangan Anies.
Seharusnya, sekarang bukan lagi era membentur-benturkan ideologi tersebut, kembali mempersoalkan korelasi nasionalisme dan Islam, karena kita mendiami bumi yang sama. Bahkan partai yang paling kiri sudah cenderung masuk ke tengah dan sebaliknya. Jika nasionalisme menyebut “rakyat”, maka kubu Islam menyebut “Ummat”. Padahal membela rakyat sama saja membela ummat.
Dulu teriakan yang lantang di Surabaya adalah kalimat “Allahu Akbar dan Merdeka!” tidak mereka dikotomikan kalimat itu karena saling menguatkan. Adalah satu kekerdilan kita, jika hanya memandang Indonesia dengan kacamata tunggal, sehingga tidak menganggap adanya komponen politik yang sudah kokoh di negeri ini.
Adalah cermin kedangkalan hati dalam melihat perilaku pemilih di Indonesia, dimana agama adalah satu variabel yang secara ilmu elektoral menjadi pasar. Wajar jika ada yang menginginkannya. Itu sebabnya jika mendekati pemilu apapun simbol-simbol untuk menarik simpati ummat Islam selalu menggoda.
Ummat Islam sejak awal sudah mengambil kiprahnya di Nusantara ini sampai pada akhirnya menjelma menjadi kekuatan politik di Indonesia. Saya pikir mengesampingkan Islam dari sudut ini, sama saja Anda tidak utuh memandang Indonesia itu sendiri.
*) Pengamat Sosial Politik Kaltim