REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Suwendi *)
Kondisi Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) di sekolah (SD, SMP, SMA, dan SMK) dalam perkembangan mutakhir tampaknya perlu mendapat perhatian bersama, tidak hanya pemerintah pusat tetapi juga pemerintah daerah, tak terkecuali masyarakat pengelola pendidikan itu sendiri. Pasalnya, terdapat sejumlah persoalan krusial yang perlu mendapatkan penyelesaian secara tepat dan cepat.
Setidaknya ada dua persoalan mendesak yang harus segera diberikan alternatif penyelesaian, yakni terkait dengan kebutuhan GPAI dan pembayaran tunjangan untuk GPAI.
Pertama, kebutuhan GPAI secara nasional menunjukkan angka yang cukup fantastis. Berdasarkan data EMIS 2015/2016, jumlah siswa muslim yang belajar di sekolah (SD, SMP, SMK dan SMK) secara total sebanyak 37.655.118 jiwa. Sementara, jumlah GPAI yang tersedia sebanyak 182.696 orang. Jumlah GPAI secara ideal untuk menangani jumlah siswa muslim itu semestinya berjumlah 217.738 GPAI. Artinya, kita masih memiliki kekurangan GPAI sekitar 35.042 jiwa.
Kekurangan ini akan semakin bertambah di tahun 2017 yang menurut data sementara diperkirakan ada sekitar 20-an ribu GPAI yang akan memasuki purnabhakti atau pensiun. Di samping itu, menurut informasi yang beredar, terdapat sejumlah GPAI senior yang sedang mengusulkan mutasi dan beralih menjadi pengawas GPAI. Tentu saja, pensiun dan usulan mutasi ke pengawas ini akan semakin menambah jumlah kebutuhan GPAI, yang diperkirakan kita membutuhkan lebih dari 55 ribu GPAI.
Kita semua patut menduga jika kekurangan GPAI ini dibiarkan terbengkalai, maka berimplikasi pada kualitas dan penyelenggaraan PAI pada sekolah sangat terganggu. Guru yang tidak memiliki kompetensi keilmuan di bidang agama, yang bisa jadi hanya semata-mata mengandalkan modal “ghirah keagamaan”, akan mengajar mata pelajaran PAI.
Bahkan, bisa jadi lebih daripada itu. Tentu, kualitas PAI semakin menurun yang pada gilirannya menambah problem serius yang tidak kalah penting, seperti radikalisasi agama tumbuh subur di sekolah, demoralisasi di kalangan pelajar semakin tinggi, pengamalam agama yang sangat kering, dan lain-lain.
Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan disebutkan bahwa persoalan pendidikan agama, tentunya termasuk Islam di dalamnya, menjadi kewenangan Kementerian Agama. Kementerian Agama merupakan lembaga yang paling otoritatif dalam penyelenggaraan PAI ini. Namun demikian, di dalam PP itu juga, terutama pada pasal 6 ayat (1), Pemerintah Daerah memungkinkan untuk membantu dalam penyelenggaraan pendidikan agama, termasuk dalam pengangkatan dan pendanaannya.
Oleh karenanya, posisi existing GPAI saat ini setidaknya diangkat oleh 4 (empat) pihak:, yakni diangkat oleh Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pemerintah Daerah, dan masyarakat, dalam hal ini yayasan atau sekolah itu sendiri.
Agak disayangkan, sejauh ini, belum ada regulasi yang mengatur tentang bagaimana syarat atas kompetensi calon GPAI, mekanisme pengangkatan, hak dan kewajiban GPAI serta relasi antar pihak dalam pengangkatan GPAI ini. Tidak sedikit yang menimpakan semua masalah GPAI ini kepada Kementerian Agama. Lagi-lagi, Kementerian Agama menjadi korban.
Untuk itu, menurut hemat penulis, dalam konteks penanganan problem pertama ini, Kementerian Agama sebaiknya melakukan upaya komunikasi dan menyosialisasikannya kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negera, Kementerian Keuangan, Bappenas, dan Kementerian Dalam Negeri yang kemudian diteruskan kepada seluruh Pemerintah Daerah. Komunikasi dan sosialisasi ditargetkan dapat menghasilkan solusi yang terbaik, yakni (1) Kementerian Agama merupakan lembaga yang paling otoritatif dalam mengatur GPAI, (2) ada afirmasi kebijakan untuk menambah formasi pengangkatan ASN bagi GPAI, (3) menambah alokasi anggaran untuk pembiayaan GPAI, dan (4) mengatur syarat kompetensi GPAI dan mekanisme pengangkatan GPAI oleh Pemerintah Daerah. Semuanya harus dalam satu pintu, yakni Kementerian Agama.
Kedua, pembayaran tunjangan GPAI. Jika tidak salah, tunjangan profesi guru yang menjadi beban Kementerian Agama untuk semua guru dan pengawas akumulasi tahun 2008-2012 sebesar Rp. 3,1 Triliyun dan akumulasi 2014-2015 sekitar Rp 2,6 triliun, sehingga total setidaknya butuh biaya Rp 5,7 triliun. Dari jumlah Rp 5,7 triliun itu diperkirakan sekitar Rp 1,5 triliun-nya untuk GPAI dan pengawas PAI.
Beban hutang yang demikian besar perlu untuk direspons, tidak hanya oleh Kementerian Agama semata, tetapi yang lebih penting lagi adalah oleh Menko PMK, Bappenas, dan Kementerian Keuangan. Sebab, alokasi yang demikian besar mesti melibatkan Kementerian/Lembaga yang lebih luas.
Persoalan tunjangan untuk GPAI ini semakin tambah runyam terutama setelah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Permendikbud Nomor 17 Tahun 2016 tentang Juknis Penyaluran Tunjangan Profesi Guru dan Tambahan Penghasilan bagi Pegawai Negeri Sipil Daerah. Di dalam kriteria, guru Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) yang berhak penerima tunjangan profesi dan tambahan penghasilan adalah guru PNSD yang mengajar pada satuan pendidikan di bawah binaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kecuali guru pendidikan agama.
Artinya, GPAI tidak mendapatkan jatah dari APBD itu. Meskipun diangkat oleh pemerintah daerah atau Kemendikbud, pemerintah daerah tidak boleh memberikan alokasi anggaran atau pembayaran tunjangan profesi dan tambahan penghasilan bagi GPAI. Semua pembiayaan tunjangan profesi dan tambahan penghasilan bagi GPAI, berdasarkan Permendikbud ini, menjadi tanggung jawab Kementerian Agama.
Menurut hemat penulis, Permendikbud Nomor 17 Tahun 2016 ini mengandung ketidakadilan dalam pembiayaan pendidikan, terutama bagi GPAI di daerah. Kemendikbud dan pemerintah daerah yang mengangkat GPAI sebagai PNSD lalu melepas tanggung jawabnya dalam pembiayaan, dalam hal ini tunjangan profesi dan tambahan penghasilan.
Hal ini diibaratkan seorang “ayah tiri” yang kemudian memiliki anak, lalu anak tirinya itu tidak dipelihara. Kondisi inilah sebagai gambaran yang dalam beberapa bulan terakhir, begitu ramai pemberitaan dan unjuk nonsimpatik menyikapi Permendikbud ini.
Di sisi lain, Permendikbud Nomor 17 Tahun 2016 cenderung tidak mempertimbangkan pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat. Undang-undang ini mengatur secara rinci tentang pembagian alokasi APBN. Pada bagian ketiga dalam UU itu diatur mengenai tentang Dana Alokasi Umum yang pada pasal 27 ayat (1), misalnya,disebutkan secara jelas bahwa “Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26 persen (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN”.
Angka 26 persen dari APBN untuk dibagi ke Pemda jelas ini mengurangi secara signifikan atas pembiayaan pendidikan terutama yang bersifat sentralistik. Patokan prosentase ini berimplikasi atas semakin besarnya anggaran untuk Pemda, di satu sisi, dan semakin mengecilnya bagi Kementerian/Lembaga di Pemerintahan Pusat di sisi lain, yang pada gilirannya anggaran untuk Kemenag, sebagai lembaga yang bersifat sentralistik, mendapatkan alokasi anggaran yang sangat kecil. Pemda yang telah mendapatkan alokasi 26 persen itu baru dari alokasi DAU.
Belum lagi, Pemda dengan sendirinya mendapatkan alokasi 20 persen dari anggaran pendidikan dari PAD (Pendapatan Asli Daerah)-nya, sehingga Pemda mendapatkan alokasi anggaran pendidikan setidaknya 46 persen. Lebih dari itu, Pemda mendapatkan anggaran dari alokasi pendidikan dari DBH (Dana Bagi Hasil) DAK (Dana Alokasi Khusus) dan dana-dana lainnya.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 ini berimplikasi pada pembagian anggaran pendidikan, yang menurut penulis, sangat tidak proporsional. Mengacu pada implementasi anggaran tahun 2015, diperoleh data bahwa dari APBN sebesar Rp. 1.994,89 T itu digunakan untuk anggaran pendidikan sebesar 20.46 persen atau senilai Rp 408,09 triliun. Anggaran itu dibagi untuk belanja pemerintah pusat melalui sejumlah Kementerian/Lembaga dan belanja pemda melalui pemda provinsi dan kabupaten.
Untuk pemerintah pusat, alokasi anggaran pendidikan sebesar 37,5 persen dari Rp 408,09 triliun atau senilai Rp 153.199,5 triliun. Itu diperuntukkan kepada 1) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebesar Rp 53.278,5 trilin, 2) Kementerian Riset dan Teknologi serta Pendidikan Tinggi sebesar Rp 41.507,7 triliun, 3) Kemenag sebesar Rp 49.409,9 triliun dan 4) Kementerian/Lembaga lainnya sebesar Rp 9.003,4 triiun. Dari alokasi Kemenag itu, dialokasikan untuk Ditjen Pendis sebesar Rp 46.398,9 triliun.
Untuk Pemda, alokasi anggaran sebesar 62,5 persen dari Rp 408,09 triliun atau senilai Rp 254.895,5 triliun. Itu diperuntukkan untuk 1) Anggaran Pendidikan dalam DBH sebesar Rp 1.337,7 triliun, 2) DAK Pendidikan sebesar Rp 10.041,3 triliun, 3) Anggaran Pendidikan dalam DAU sebesar Rp 134.970,3 triliun, 4) Dana Tambahan Penghasilan PNSD sebesar Rp 1.096,0 triliun, 5) Tunjangan Profesi Guru sebesar Rp 70.252,7 triliun, 6) Anggaran Pendidikan dalam OTSUS sebesar Rp 4.234,7 triliun, 7) Dana Insentif Daerah sebesar Rp 1.664,5 triliun, dan 8) Bantuan Operasioal Sekolah (BOS) sebesar Rp 31.298,3 triliun.
Untuk alokasi anggaran pada Pemda tentu lebih diarahkan pada layanan-layanan pendidikan yang didesentralisasi, yakni layanan pendidikan Sekolah (TK, SD, SMP, SMA, dan SMK). Sementara, anggaran untuk lembaga pendidikan dengan nomenklatur Sekolah itu juga telah disediakan anggarannya pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan demikian, Sekolah mendapatkan 2 (dua) sumber pendanaan, yakni dari Pemda dan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Anggaran pada Ditjen Pendis yang sebesar Rp 46.398,9 triliun. Itu diperuntukkan pada semua layanan pendidikan secara akumulatif jumlah lembaga sebanyak 533.264 dengan pendidik sebanyak 2.844.149 orang dan peserta didik sebanyak 61.905.936 jiwa. Layanan pendidikan dimaksud meliputi sebagai berikut.
Pertama, jenis pendidikan umum yang berciri khas Islam pada jalur formal jenjang pendidikan dasar dan menengah, berupa RA, MI, MTs, dan MA yang secara keseluruhan berjumlah 77.336 lembaga, 820.835 guru, dan 9.252.437 siswa.
Kedua, jenis pendidikan keagamaan Islam pada jalur formal jenjang pendidikan dasar dan menengah. Untuk jenis pendidikan ini terdiri atas SPM (Satuan Pendidikan Muadalah) dan PDF (Pendidikan Diniyah Formal) yang berjumlah 112 lembaga, 2.240 ustad dan 48.913 santri.
Ketiga, jenis pendidikan keagamaan Islam pada jalur formal jenjang pendidikan tinggi yang berjumlah 712 lembaga, 440,142 dosen, dan 747,686 mahasiswa. Keempat, jenis pendidikan keagamaan Islam pada jalur non-formal yang terdiri atas MDT (Madrasah Diniyah Takmiliyah), pendidikan Alquran dan pondok pesantren, yang secara akumulasi sebanyak 240.387 lembaga, 1.386.426 ustad, dan 17.385.552 santri.
Kelima, pendidikan agama Islam pada sekolah. Penyelenggaran mata pelajaran PAI (Pendidkan Agama Islam) untuk semua sekolah (TK, SD, SMP, SMA, SMK). Dalam konteks ini, sebenarnya Kemenag telah memberikan subsidi yang begitu besar untuk Pemda. Keenam, pendidikan kesetaraan pada Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar melalui pondok pesantren, yang berjumlah 1.461 lembaga, 8.970 ustad dan 99.727 santri.
Implikasi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 sangat tidak adil bagi Kementerian Agama. Sebagai perbandingan, total alokasi anggaran Ditjen Pendis yang sebesar 46.398,9 T itu jauh lebih kecil dibanding dengan hanya 1 (satu) alokasi anggaran untuk tunjangan profesi guru pada sekolah (TK, SD, SMP, SMA, SMK) yang berada di pemda sebesar Rp 70.252,7 triliun.
Sementara anggaran Ditjen Pendis yang sebesar Rp 46.398,9 triliun itu, di samping untuk tunjangan profesi guru pada seluruh madrasah, guru PAI pada sekolah, dosen pada perguruan tinggi keagamaan, BOS pada Madrasah, rehab, gaji, untuk pondok pesantren, madrasah diniyah takmiliyah, dan hal-hal lainnya di seluruh Indonesia, baik untuk tingkat pusat maupun untuk daerah.
Terkait dengan pembayaran tunjangan GPAI ini, sebaiknya ada beberapa hal yang peru dilakukan. Pertama, dalam jangka pendek, Permendikbud Nomor 17 Tahun 2016 didesak untuk segera direvisi, terutama pengecualian untuk guru agama itu dihilangkan. Artinya, Pemerintah Daerah dapat memberikan tunjangan profesi dan tambahan penghasilan bagi PNSD yang mengajar pelajaran agama Islam.
Agar tidak terjadi double accounting, GPAI yang diangkat oleh Kemendikbud dan Pemerintah Daerah dibenarkan untuk mendapatkan tunjangan profesi dan tambahan penghasilan dari Pemerintah Daerah sepanjang tidak mendapatkannya dari Kementerian Agama. Bahkan, menurut hemat penulis, ditetapkan saja bahwa pembiayaan tunjangan profesi dan tambahan penghasilan GPAI dibebankan kepada pihak yang mengangkatnya.
Dengan cara ini, setiap instansi yang mengangkat bertanggung jawab dalam hal pembiayaannya. Namun demikian, untuk pembinaannya tetap menjadi kewenangan dan tanggung jawab Kementerian Agama. Untuk itu, komunikasi antara Kemenag dengan Kemendikbud dan Pemerintah Daerah perlu dibangun secara serius.
Kedua, untuk jangka panjang, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 segera dilakukan judical review atau revisi, terutama pada aspek rincian pembagian DAU (Dana Alokasi Umum). Selama undang-undang ini ada, hemat penulis, selama itu pula alokasi anggaran untuk pendidikan Islam sangat rendah, dan tidak ada adil dibanding dengan sekolah.
Melakukan langkah jangka pendek dengan merevisi Permendikbud Nomor 17 Tahun 2016 dan langkah jangka panjang dengan judical review atau revisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 merupakan langkah nyata dalam menyelesaikan problema penganggaran untuk GPAI. Meski demikian, untuk melakukan keduanya, diperlukan sinergisitas, saling pengertian, keseiusan, dan kesabaran. Semoga.
*) Pengamat Pendidikan Islam. Doktor Pendidikan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.