Jumat 31 Mar 2017 01:00 WIB

Sekulerisme Akar Negara Terpuruk

Husain Yatmono
Foto: dok.Pribadi
Husain Yatmono

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Husain Yatmono *)

Diskursus seputar agama dan politik kini muncul kembali. Hal ini berawal dari pernyataan Presiden Joko Widodo saat berada di Tugu Titik Nol Pusat Peradaban Islam Nusantara, Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Jum’at 24 Maret 2017. Beliau berpesan: “Masyarakat harus selalu menjaga kerukunan. Jangan sampai antarsuku, antaragama ada pertikaian. Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai macam suku dan agama, ras. Suku saja ada 714 suku,” tambahnya.

Jokowi pun menegaskan persoalan politik dan agama harus dipisah, tidak boleh disatukan. "Inilah yang harus kita hindarkan. Jangan sampai dicampuradukkan antara politik dan agama, dipisah betul, sehingga rakyat tahu mana yang agama, mana yang politik," katanya. Jokowi meminta kepada para ulama Islam agar menyebarkan ajaran Islam yang rahmatan lil alalmin. (http://news.detik.com,  24/3/2017)

   

Menurut penulis, justru agamalah yang telah menjadi perekat kebinekaan bangsa Indonesia selama ini. Agama telah menginspirasi warga negara untuk hidup rukun, berdampingan, meski berbeda suku, keyakinan dan ras. Keberagaman budaya, agama, dan ras adalah sesuatu yang wajar dan bisa diterima, karena hal tersebut adalah keyakinan masing-masing individu. Secara historis dan sosiologis kemerdekaan negeri ini tak lepas dari peran pejuang yang terinspirasi perintah agama untuk mengusir penjajah.

Pemisahan agama dari kehidupan politik, sekulerisme, justru yang menjadi penyebab negara terpuruk dan munculnya konflik horizontal. Ini bisa dipahami karena manusia menggurus kehidupan dengan aturan produk mereka sendiri. Artinya, mereka yang dominan merumuskan aturan sesuai dengan kepentingan mereka, dengan mengesampingkan peran agama.

Dalam pandangan sekuler, peran agama hanya dibatasi dalam masalah ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan saja. Oleh karena itu, seorang rohaniawan (kiai), peran mereka adalah di tempat ibadah, mengurusi masalah ibadah. Tidak dibenarkan seorang ahli agama (kiai) turut campur menggurusi negara, kalau pun mereka diminta pendapatnya hanya sebatas saran atau himbauan saja. Sementara dalam urusan kehidupan sehari-hari, menggurus negara, menggurus ekonomi dan perdagangan adalah urusan para birokrat, ekonom dan pengusaha.

 

Imam Al Ghozali mengatakan: “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi dan kekuasaan adalah penjaganya. Sesuatu tanpa pondasi akan runtuh dan sesuatu tanpa penjaga pasti akan hilang.” (Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, Abu Hamid al-Ghazali, hal. 255-256)

Jelas bahwa agama adalah dasar (pondasi), sementara untuk menjaganya dibutuhkan kekuasaan. Pemimpin (pemegang kekuasaan) bertugas menjaga, memastikan agar aturan agama tersebut dilaksanakan dengan baik, karena tanpa ada penjagaan dari pemimpin, maka aturan agama tersebut akan tidak bisa dilaksanakan.

Perlu dipahami disini adalah makna politik. Dalam terminologi barat, politik berarti menghalalkan segala cara untuk meraih sebuah tujuan. (Principe - Sang Penguasa, Machiavelli). Karenanya manfaat adalah asas mereka dalam meraih kekuasaan, selama bisa mengantarkan mencapai kekuasaan, apapun akan dikerjakan. Inilah yang terjadi dalam menggelola negara sekarang ini. Meski sudah berganti pemimpin sebanyak empat kali semenjak reformasi 1998, hingga kini krisis multi dimensi yang menimpa negeri ini tak kunjung selesai.

Bahkan, gerakan reformasi untuk melawan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dengan sasaran Presiden Suharto waktu itu, kini tidak memiliki taring lagi. Justru korupsi semakin menggurita hingga ke semua sektor, dengan melibatkan oknum aparat penegak hukum dan pejabat. Sudah berapa kali kasus korupsi terbongkar dan menyeret sejumlah nama dari kalangan politisi, pejabat serta penegak hukum. Kasus terakhir yang ramai menghiasi media adalah kasus korupsi Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik, dimana uang mengalir sampai jauh.

Mengapa hal ini bisa terjadi, karena persoalan pokoknya adalah sistem sekulerisme yang diterapkan dalam menggelola negeri ini. Ibaratnya, casing terus gonta-ganti, namun smartphone usang dan penyakitan dibiarkan saja, maka tetap saja krisis multi dimensi tak kunjungi selesai. Sekulerisme telah gagal menggantarkan negeri ini tumbuh maju dan memberikan kesejahteraan kepada warganya.

Saatnya memikirkan sistem alternatif yang akan mampu menyelesaikan persoalan mendasar ini dan memberikan pelayanan yang lebih manusia kepada warga negara. Karenanya, hanya sistem yang berbasis pada agama yang akan mampu mewujudkan hal itu. Agama harus dijadikan sebagai pondasi dalam membangun negeri ini, baik dalam masalah kehidupan, ekonomi, politik dan bernegara.

Dalam termonilogi Islam, politik bermakna, ri’ayah, pengaturan urusan umat baik dalam urusan dalam negeri maupun urusan luar negeri. Dalam urusan dalam negeri, politik dilaksanakan negara (Kepala Negara) dan diawasi warga negara. Artinya Kepala Negara (pemimpin) memiliki kewajiban untuk melaksanakan pengaturan urusan warga negara secara praktis berdasarkan aturan Islam, sedangkan warga negara memberikan kontrol (mengawasi) pengaturan urusan rakyat ini. (Mafahim Siyasiyah, An Nabhani hal 7, 1969). Sementara dalam urusan luar negeri negara mengadakan hubungan dengan negara lain serta menyerbarkan ideologi negara ke seluruh dunia. 

Di tangan Kepala Negara (kekuasaan) semua aturan agama bisa terlaksana dengan baik, semua keputusan politik berada di tangan Kepala Negara. Dengan dilaksanakannya aturan Islam untuk menggelola kehidupan berbangsa dan bernegara, maka Islam rahmatan lil alalmin, sebagai mana yang diharapkan Presiden Joko Widodo bisa terwujud. Karena jika aturan Islam dilaksanakan secara sempurna, bisa mencegah kemungkaran dan terlaksananya kebaikkan, sehingga agama Islam menjadi rahmat bagi semua manusia. Sebaliknya, menjauhkan agama dan urusan politik, justru akan membuat negeri ini terpuruk dan terpecah belah.

*) Pemerhati Pendidikan dan Sosial Politik

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement