Sabtu 08 Apr 2017 01:00 WIB

Napas Akhir Tesis Sekularisasi

Harri Ash Shiddiqie
Foto: dok.Istimewa
Harri Ash Shiddiqie

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh : Harri Ash Shiddiqie *)

Menurut kamus, sekularisasi adalah: hal-hal yang membawa ke arah kehidupan yang tidak didasarkan pada ajaran agama. Mencari nafkah, bekerja, berpakaian, berbudaya, berhukum, bernegara sampai urusan nikah tak perlu berhubungan dengan agama.

Sejak tiga abad yang lalu, telah berkembang tesis sekularisasi, juga sering disebut teori sekularisasi. Tesis ini diteguhi Weber, Freud, Marx, Durkheim. Diamini oleh ahli sejarah dan ilmuwan. Tahun 1968, bendera tesis sekularisasi menjulang tinggi, tak terkalahkan, sosiolog dan penulis America  Peter L Berger  mengatakan kepada New York Times , "Abad ke-21, penganut agama meringkuk dalam sekte-sekte kecil, kepayahan melawan budaya sekuler di seluruh dunia."

Tesis sekularisasi menyatakan : Kehidupan modern, adalah kehidupan sekuler yang membuat agama melemah, layu, kerdil, dilupakan. Manusia modern bercirikan rasional, dan itu pasti menendang takhayul, roh, gaib.  Marx menyebut agama adalah candu, Freud bilang ilusi, Nietzsche berkata: Tuhan sudah mati. Weber menyatakan manusia modern tunduk pada penjelasan logis, rasional. Tindakan demikian diterapkan pada matematika, fisika, biologi, kimia, yang menghasilkan prestasi teknologi, makanan sampai kedokteran. Semuanya pasti menghancurkan 'taman ajaib' yang diisi oleh ritual sakral, dominasi kesucian, misterius, dan supranatural.

Ajaib

Di akhir 70-an, para sosiolog memang melihat penurunan jamaah gereja di Eropa maupun Amerika. Tetapi keanehan terjadi. Di Amerika Latin tumbuh pesat Evangelis. Di Amerika Serikat sebagian besar orang masih percaya pada kekuatan gaib. Mereka membutuhkan nilai-nilai rohani, tampak dari pasar yang besar buku-buku agama/spiritual, musik, dan pernik-pernik. Bahkan, agama merupakan faktor yang signifikan dalam pola suara, ideologi kebijakan publik. Fakta itu ditunjukkan kemenangan Jimmy Carter yang bersikap agamis.

Paling menonjol adalah fakta yang terjadi di negeri-negeri muslim. Iran yang sudah disekularisasi bertahun-tahun oleh Shah Reza Pahlevi dengan dukungan Amerika, tak lama kemudian dipaksa terbirit oleh rakyat yang dipimpin Khomeini. Juga Mesir, muncul gerakan militan yang membunuh Anwar Sadat karena bersenyum-senyum dengan Amerika dan Israel. 

Tahun 80-an ditandai menurunnya marxisme, gereja Orthodox Timur mulai berdegup. Sikap religiusitas tumbuh di Rusia seiring agama-agama tradisional Cina.

Tahun 1985 muncul tulisan peneliti Prancis : Ernest Gellner (bukunya pernah diterbitkan Mizan), Islam adalah agama yang tidak kalah oleh sekularisasi. Ia berdiri kokoh dan bahkan tumbuh semakin kuat menentang sekularisasi.

Apa yang kemudian ditulis oleh jagoan tesis sekularisasi 30 tahun kemudian? Peter L Berger menulis di Jurnal The National Interest, 1996.  “Teori sekularisasi yang dijunjung para sejarawan dan ilmuwan sosial, terbukti salah. Meski modernisasi mungkin memiliki beberapa efek sekularisasi di beberapa daerah, tapi menimbulkan kontra-sekularisasi.”

Sosiolog yang lain, Rodney Stark mengusulkan  agar teori sekularisasi : “rest in peace” (RIP).

Di tahun 2008 Peter Berger menegaskan, gerakan Islam bangkit dengan gairah berkembang di seluruh dunia, dari Samudera Atlantik sampai Laut Cina. Itu menantang David Martin, seorang sosiolog Inggris terkemuka yang  menyebutnya sebagai “Revolusi yang tidak seharusnya terjadi.”

Tidak seharusnya terjadi, tetapi Allah SWT menghendaki terjadi. 

Tesis sekularisasi  yang didukung ilmuwan, direalisasikan negara-negara kuat di tahun 60-an, dengan menggelontorkan uang, injeksi isme dan budaya mulai dari model rambut, pakaian pantai sampai film, berharap semua negeri di atas bumi menjadi sekuler, semua gagal. Malah berbalik.

Samuel Huntington dari Harvard, dalam bukunya 'Benturan Peradaban' menulis: “Di akhir abad ke-20 terjadi kebangkitan global agama-agama di seluruh dunia”.

Lihat saja mahasiswi di universitas, berapa orang yang memakai jilbab di tahun 80-an, dan berapa yang tidak memakai jilbab setelah 30 tahun kemudian? Fakta ini tidak hanya di Indonesia, tapi juga Mesir, Maroko, Malaysia. Bahkan negeri-negeri Eropa bingung, bagaimana aturan harus dibuat-buat agar pakaian muslimah tidak berkembang.

Bukan hanya Huntington. Pew Research Center memprediksi bawa jumlah kaum muslimin akan terus naik, dan tahun 2070 Islam menjadi agama terbesar di dunia.

Sejarah tampaknya bergerak meniti garis menuju satu fakta : Islam berjaya. Lantas di mana posisi kita:  Mendorong atau melawannya? Mungkinkah kita memilih diam, menonton?  Tidak mungkin. Islam hanya memberi dua alternatif, surga atau neraka. Di akhirat sana kita bukan penonton, kita pemain.

Ya. Allah jadikan kami bagian dari orang-orang yang selalu menyampaikan dan menegakkan dien-Mu, dien Islam. Amin.

*) Penulis adalah dosen, tinggal di Jember.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement